Jumat, 25 Januari 2013

HIKMAH DI BALIK IDUL QURBAN Oleh: Dr. Djoko Hartono, S. Ag, M.Ag, MM


Setiap tahun kita sebagai umat Islam senantiasa memperingati hari raya Idul Adha yang sering pula disebut hari raya haji, hari raya besar, dan hari raya qurban. Namun demikian sudahkah kita sebagai umat Islam mampu mengambil hikmah dibalik semua itu, atau kita hanya merayakannya sebatas ritual lahiriyah tanpa menyentuh subtansi dan hikmah dari kejadian besar yang dikenang dan dirayakan umat Islam sepanjang zaman ini.
Sedikitnya ada 4 hikmah yang bisa kita ambil pelajaran yang selanjutnya diharapkan mampu merubah sikap, perilaku dan kompetensi kita sebagai umat Islam dalam kehidupan ini. Bertitik tolak dari semua ini maka umat Islam akan menjadi manusia ideal, sempurna yang tidak termarginalkan, bermartabat tinggi yang mampu memberikan kontribusi serta  manfaat besar pada zamannya. Bukankah sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi sesamanya.
Adapun 4 hikmah yang bisa kita petik dalam hari raya Qurban ini yaitu:
Pertama, Pengekangan/pengendalian nafsu
Memperingati hari raya qurban ini mengingatkan kita kepada peristiwa besar yang terjadi dan menimpa pada tiga sosok manusia pilihan Allah yang patut dijadikan figure untuk diteladanani. Hal ini sangat beralasan karena anak turun manusia pilihan Allah ini, dikemudian hari banyak yang  menjadi Nabi dan Rasul Allah. Selain itu syariat ajarannya banyak pula dilakukan dan dilanggengkan Nabi Muhammad Saw, salah satu di antaranya yakni ritual ibadah haji dan penyembelihan hewan qurban seperti pada hari raya kali ini.
Tatkala penyembelihan hewan qurban ini dilakukan sudahkah kita merenung sambil bertakbir, bertahlil, bertahmid apa yang bisa kita ambil hikmah darinya. Paling tidak kita seharusnya merenungkan diri, sesungguhnya kita ini adalah manusia yang juga memiliki sifat hewaniyah. Hanya yang membedakan kita dari pada hewan itu adalah manusia diberi akal fikiran oleh Allah. Kalaulah akal kita tidak kita fungsikan dengan baik tentu kita akan seperti hewan itu juga. Untuk itu ahli mantiq mengatakan, al-insanu hayawanun nathiqun. Manusia adalah hewan yang berakal.
Bertitik tolak dari peristiwa besar ini maka kita hendaknya menyadari sifat hewaniyah yang ada dalam diri kita hendaknya mampu kita kekang, kendalikan bahkan disembelih. Karena kalau kita tidak mampu melakukannya, sifat tersebut akan berubah menjadi hawa nafsu, selanjutnya menggerakkan seseorang menjadi senang melakukan syahwat dan ghodhob. Dalam kondisi seperti ini maka menyebabkan diri seseorang menjadi jauh dari Allah. Bukankan Allah telah mengingatkan kita melalui statement Nabi Yusuf yang diabadikan dalam QS. Yusuf: 53. Artinya, “Dan aku tidak membiarkan nafsuku. Sesungguhnya nafsu itu akan mengajak berbuat keburukan, kecuali jika mendapat rahmat dari Tuhanku…” Nafsu inilah kemudian dinamakan nafsu amarah bissu’.
Menyimak firman Allah di atas, sesungguhnya ada beberapa hal yang bisa kita ambil pelajaran yakni dalam diri manusia ada dua potensi baik dan buruk; Allah memberi kebebasan pada manusia untuk memilih baik atau buruk; nafsu harus dikendalikan; untuk mengendalikan nafsu ini harus ada upaya dari manusia itu sendiri disertai memohon kekuatan dan pertolongan dari Allah.
Untuk itu dalam kitab “Ajaibul Qulub” Al-Ghozali menerangkan bahwa tatkala seseorang mampu mengendalikan hawa nafsunya hingga hatinya bersih dari segala sesuatu selain Allah maka syahwat-nya berubah menjadi daya kemauan (irodah) dan ghodhob-nya berubah menjadi daya kemampuan (qudroh). Dalam kondisi seperti ini maka seseorang menjadi memiliki kekuatan dan menjadi termotivasi serta mampu untuk melakukan kebaikan dalam kehidupan di dunia ini yang semata-mata hanya mengharap keridhoan Allah. Orang-orang seperti ini merupakan kelompok yang mendapat rahmat dari Allah. Mereka ini menurut Ibnu Khaldun menjadi mampu mencapai tingkat ketuhanan, dekat dan makrifat kepada Allah sebab daya-daya yang muncul dalam dirinya tidak berakhir pada tingkat kemanusian saja. Dengan energy (Nur)-NYa kelompok ini menjadi sholih social dan ruhaninya melambung hingga bertemu dengan Allah.
Dengan demikian tidak salah kalau Allah memerintah Ibrahim As agar menyembelih anaknya. Suatu ujian yang amat berat dan besar tentunya. Hal ini karena Allah ingin menguji kecintaan Ibrahim As antara cinta kepada anak atau Tuhannya. Allah tidak ingin hati Ibrahim As Khalilullah yang semula hanya diperuntukkan Allah, menjadi bergeser kepada anaknya dan kemudian menjadi melupakan serta jauh dari Allah.

Kedua, Pendidikan anak dalam keluarga
Nabi Ibrahim As, putranya Ismail As dan Hajar sebagai istri Nabi Ibrahim As dan Ibu Ismail As mereka sejatinya sosok figur manusia yang dipilih Allah untuk dijadikan teladan. Mengapa tidak, Ibrahim As dan Ibu Hajar ternyata telah sukses melakukan pendidikan dalam keluarga. Mereka berdua mampu menghantarkan putranya Ismail As menjadi anak sholih dan Nabi serta Rasulullah. Sebuah derajat yang mulia baik di hadapan Allah maupun manusia.
Keberhasilan Ibrahim As dan Istrinya dalam mendidik anaknya dapat dilihat dari indikator yang ditunjukkan Ismail kecil waktu itu yakni ketaatannya kepada orang tuanya,  kedewasaan dalam bersikap dan memiliki kesabaran yang luar biasa dalam menerima ketentuan Allah. Hal ini bisa kita lihat dalam firman Allah QS. Ash-Shafat: 102.
Artinya, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu. Ia (Ismail) menjawab, Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Apa sebenarnya yang dilakukan Ibrahim As hingga dikarunia anak yang membanggakan ini. Kalau kita lihat dalam QS. Ash-Shaffat: 100, ternyata Nabi Ibrahim As tidak meninggalkan berdoa kepada Allah agar dikarunia anak yang shalih dan itu dilakukan bertahun-tahun tidak pernah putuh asa. Selanjutnya terwujudnya anak yang shalih ini karena tidak lepas dari pendidikan yang dikembangkan orang tua. Seorang ibu sangat besar andilnya dalam pendidikan anak dalam keluarga. Seorang anak yang lebih dekat dan banyak bersentuhan dengan ibunya, sangat efektif digunakan seorang ibu menanamkan nilai-nilai yang baik hingga terbentuklah dalam diri anak sikap dan kepribadian yang luhur serta karakter yang mulia. Itulah yang dilakukan Ibu Hajar tatkala ditinggal Ibrahim berdakwa dalam waktu yang lama.
Selain itu lingkungan sangat berpengaruh terhadap pembentukkan karakter anak agar menjadi pribadi yang membanggakan. Di tengah padang pasir yang gersang nan panas Ismail berada, dididik dan dibesarkan. LIngkungan seperti ini tentu akan menjadi faktor yang turun membentuk karakter anak hingga memiliki kepribadian yang independen, dewasa dan sabar. Bung Hatta mengatakan bahwa anak yang tumbuh dalam lingkungan yang sulit akan berpengaruh terhadap kecepatan tingkat kedewasaannya. Imam Syafi’I juga mengatakan tidak ada yang lebih menandingi kebahagian seseorang yang berhasil belajar tatkala ia dalam keadaan kesusahan dan kekurangan.
Demikian pula ketika kita cermati QS. Ash-Shafat: 102 ternyata Ibrahim AS dalam mendidik putranya menempatkan sebagai subjek pendidikan bukan sebaliknya sebagai objek. Ismail di posisikan sejajar dengan orang tuanya, dimintai pendapat, diajak dialog dan diskusi serta dirangsang kreativitas berfikirnya. Suatu model pendekatan pembelajaran dalam keluarga yang patut kita contoh lebih-lebih bagi kita yang hidup di era keterbukaan ini.
Itulah sebenarnya yang dilakukan Ibrahim As dan Istrinya dalam mendidik putranya Ismail hingga kemudian menjadi putra yang shalih. Putra yang tidak menyebabkan orang tua menjadi lupa mengingat Allah, putra yang tidak menjadi musuh dan fitnah bagi orang tuanya. Bukankah Allah telah berfirman:
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi”. (Qs. Munafiqun: 9)
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. At-Taghobun: 14)
Artinya, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan/fitnah (bagimu), di sisi Allah-lah pahala yang besar”. (Qs. At-Taghobun: 15)



Ketiga, Peningkatan ekonomi untuk ibadah
Nabi Ibrahim As yang menjadi subjek kajian kali ini cukup menjadi tauladan umat Islam yang sedang merayakan hari raya qurban. Ibrahim As ternyata merupakan sosok figure yang kaya tetapi tidak menjadi orang yang hanya menumpuk-numpuk hartanya. Tatkala ia berqurban tidak hanya cukup dengan seekor kambing. Ibrahim As dalam menyembelih hewan qurban hingga mencapai 1000 ekor kambing, 300 kerbau/sapi, 100 onta. Harta kekayaannya tidak menghalangi dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan memang seperti itulah yang diharapkan. Ibrahim As senantiasa membersihkan hatinya dari segala sesuatu selain Allah. Sebagai bentuk kecintaannya kepada Allah, sampai-sampai Ibrahim As sempat mengucapkan sesuatu (nadzar) tatkala melaksanakan penyembelihan hewan qurban. Jangankan hewan sebanyak itu jika Allah mengarunianya anak dan anak itu diperintahkan untuk menyembelih maka perintah itu akan ia lakukan. Hingga pada akhirnya apa yang ia nadzarkan itu menjadi kenyataan, sebagai ujian yang besar dan nyata dalam kehidupan Ibrahim As seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Dalam rangka menteladani Ibrahim As,  pada hari raya qurban yang kita rayakan setiap tahun ini cukup menjadi inspirasi sekaligus menuntut agar umat Islam menata ulang dan memperbaiki diri agar memiliki tingkat perekonomian yang mapan. Mengapa tidak, hal ini karena untuk bisa menjadi muslim yang mampu menyembelih hewan qurban maka kita harus menyiapkan sebagaian harta dari hasil pekerjaan yang kita lakukan selama ini. Merekalah orang yang memiliki tingkat ekonomi yang baik.
Bukankah Allah telah mengingatkan agar umat Islam mencari bekal akhirat dengan tidak melupakan kehidupan di dunia ini. Untuk itu kita dituntut menjadi muslim yang giat bekerja guna mendapatkan rizki. Selanjutnya harta yang kita miliki itu hendaknya dapat kita jadikan  sebagai bekal untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan memiliki rizki yang cukup maka seorang muslim akan mampu membeli hewan qurban yang kemudian disembelih karena semata-mata menjalankan ketentuan Allah.
Dalam hal menyembeli hewan qurban ini Sayyidina Ali karramallah wajhah pernah mengatakan bahwa, tatkala seorang muslim keluar rumah hendak beli hewan qurban maka ia mendapat 10 pahala dari Allah, dapat menebus 10 dosa dan tiap langkahnya mengangkat 10 derajat. Saat ia melakukan tawar menawar maka ucapannya menjadi tasbih. Ketika ia membayar maka setiap rupiahnya Allah membalas dengan 700 pahala. Tatkala ia meletakkan hewan qurban untuk disembelih maka beristighfarlah semua makhluk hingga lapisan bumi ketujuh. Setiap suap daging yang dimakan setelah dibagikan menyebabkan Allah memberikan pahala bagi orang yang qurban seperti memerdekakan hamba. Selanjutnya Nabi Saw juga bersabda bahwa setiap darah yang menetes dari hewan qurban yang disembelih menyebabkan Allah mengampuni dosa orang yang berqurban. Dalam riwayat yang lain beliau juga menjelaskan bahwa tiap binatang qurban nantinya akan menjadi kendaraan di sorga. (Azh-zhiimuu dhohaayaakum fa innahaa alaa ash-shiroothi mathooyaakum).

Keempat, Kepedulian social
Allah menciptakan manusia sesungguhnya mempunyai tujuan yakni agar mengabdi kepada-Nya dan menjadi khalifah di muka bumi ini. Untuk itu selain sebagai makhluk religious, manusia juga disebut makhluk social. Hal ini karena dalam hidup di muka bumi ini, manusia tidak bisa hidup tanpa interaksi dengan yang lain. Tatkala kita melakukan interaksi dengan sesama dalam rangka menjalankan perintah Allah maka di sini ada nilai ibadah. Sebagai seorang muslim seperti disinggung dalam uraian di atas, kita dituntut untuk menjadi muslim yang tidak hanya shalih secara individu. Dalam kehidupan di muka bumi ini Islam mengajarkan agar kita juga menjadi muslim yang shalih secara social.
Kenyataan ini bisa kita lihat bahwa Islam mengajarkan agar mereka yang diberi kelebihan oleh Allah dengan rizki agar mau membeli hewan qurban untuk disembelih dan selanjutnya dibagi-bagikan kepada sesamanya. Jika di antara kita diberi kemampuan akan tetapi tidak mau melakukan hal tersebut maka Rasulullah Saw membencinya. Secara eksplisit beliau membenci kelompok ini agar tidak mendekati tempat shalatnya.
Untuk itu hikmah yang bisa kita petik dari hari raya qurban ini sejatinya mengajarkan umat Islam agar menjadi perduli akan kehidupan social kemasyarakatan, melarang menjadi umat yang egois dan menumpuk-numpuk harta kekayaan yang hanya untuk kepentingan pribadi. Bukankah Allah telah mengingatkan dalam firmannya bahwa, semua akan dipertanyakan oleh Allah untuk apa kenikmatan yang telah diberikan-Nya di dunia ini. (At-Takatsur: 8). Allah juga mengingatkan bagi mereka yang suka menumpuk-numpuk harta dan menghitung-hitung harta kekayaannya itu. Pada hal harta bendanya itu tidak bisa mengekalkannya. Bahkan bisa melemparkan dirinya ke dalam api neraka. (Qs. Al-Humazah: 1-9).
Semoga seklumit uraian hikmah idul qurban ini disertai hidayah Allah dan kita dapat mengambil hikmah dari padanya serta mampu mengamalkan dan mewujudkannya dalam kehidupan di muka bumi ini. Senjutnya kita menjadi hamba Allah yang mampu mengekang/mengendalikan hawa nafsu kita, menjadi orang tua yang bijak dalam mendidik anak-anak dan menjadi anak-anak yang shalih, menjadi umat Islam yang mampu memperbaiki ekonomi dan tidak menumpuk-numpuk harta kekayaan saja serta menjadi umat Islam yang tidak hanya shalih secara individual tetapi juga shalih secara social.


Penulis:
Dr. Djoko Hartono, S.Ag, M.Ag, MM
Dosen STAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo


read more

Kamis, 24 Januari 2013

PENGARUH SPIRITUALITAS TERHADAP KEBERHASILAN KEPEMIMPINAN Oleh : Dr. Djoko Hartono, S.Ag, M.Ag, M.M.


Abstrak
Disertasi ini membahas tentang pengaruh spiritualitas terhadap keberhasilan kepemimpinan dengan studi kasus para kepala SMP Islam favorit di Surabaya. Spiritualitas yang dijadikan variabel independen dalam penelitian ini memiliki indikator menyangkut salat tahajud, duha, hajat dan puasa senin kamis. Sedangkan keberhasilan kepemimpinan yang menjadi variabel dependen dalam penelitan ini memiliki indikator yang diambil dari teori yang dikemukakan Abdul Azis Wahab yakni pertama, apa yang diperoleh organisasi (organizational achievement) menyangkut: produksi sekolah meningkat, produk sekolah berkualitas, keuntungan dana meningkat dan program inovatif terwujud; kedua, pembinaan organisasi (organizational maintenance) menyangkut: bawahan puas/sejahtera, bawahan termotivasi dan bawahan semangat bekerja.
Penelitian ini termasuk penelitian eksplanatori, yaitu suatu penelitian di samping menggambarkan fenomena sosial yang ditemui, juga berupaya menjelaskan atau menerangkan hubungan variabel-variabel pokok yang ada dan dilakukan pengujian hipotesis (testing of hyphoteses). Selain itu penelitian ini merupakan penelitian survey yang merupakan penelitian populasi. Untuk mendapat data yang diinginkan peneliti menggunakan metode dengan memberikan kuesioner tertutup (angket) dan wawancara terstruktur. Data tersebut dikelola dan dianalisis dengan menggunakan cara statistik, dengan teknik analisis deskriptif menggunakan persentase. Untuk mengetahui pengaruh spiritualitas terhadap keberhasilan kepemimpinan maka digunakan teknik analisis Chi Kuadrat. Untuk mengetahui keeratan pengaruhnya digunakan koefiisen kontingensi yang dibandingkan dengan C maks dengan program SPSS 15.0.
Setelah diuji dengan teknik analisis di atas maka dapat diketahui bahwa para Kepala SMP Islam favorit di Surabaya ternyata melakukan upaya spiritualitas ketika menjalankan kepemimpinannya; para Kepala SMP Islam favorit di Surabaya mengalami keberhasilan kepemimpinan dan spiritualitas berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan kepemimpinan para Kepala SMP Islam favorit di Surabaya.


Kata Kunci: Spiritualitas dan Kepemimpinan


A.    Pendahuluan
Persoalan yang menyangkut spiritualitas, sesungguhnya dapat dijumpai dalam semua agama, tak terkecuali dalam Islam. Pada penganut agama selain Islam secara empirik terbukti mereka juga melakukannya. Bahkan dalam penelitian yang dikorelasikan dengan keberhasilan kepemimpinan terbukti berpengaruh positif/signifikan. Mereka yang semakin menghayati dan khusyuk melakukan spiritulitas baik yang non muslim ataupun muslim maka korelasinya semakin baik.[1]
Perilaku spiritualitas ini ternyata tidak saja dilakukan di lingkungan organisasi/perusahaan jasa seperti institusi pendidikan di atas. Pada organisasi/perusahaan manufaktur para karyawan ternyata juga melakukan spiritualitas. Namun dalam penelitian Wibisono ini, ketika spiritual dikorelasikan dengan kinerja karyawan, maka spiritual berpengaruh negatif, sedang objeknya adalah karyawan penganut agama Islam dan variabel spiritual tersebut menyangkut doa, salat lima waktu dan puasa ramadan.[2] 
Menurut M. Amin Abdullah, di dalam Islam terkandung ajaran yang tidak hanya menyangkut lahiriyah semata. Hal-hal yang menyangkut spiritualitas mendapat perhatian pula. Ada tiga konsep ajaran Islam yakni Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga komponen itu tercampur menjadi satu dan mengejawanta secara utuh dalam tindakan ibadah kepada Allah dan hubungan dengan manusia. Pola-pola hubungan dengan Allah ini di antaranya dengan melakukan salat dan puasa di samping yang lain, dan ini merupakan metode yang sebenarnya sarat dengan muatan nilai spiritualitas.[3] Menurut Harun Nasution, spiritualitas yang dilakukan seseorang mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan. Intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan.[4]
Mengacu pada konsep ajaran Islam tersebut, maka seorang muslim yang baik sudah barang tentu tidak akan meninggalkan spiritualitas. Ajaran ini justru merupakan jawaban akan kebutuhan manusia sebagai makhluk yang memiliki dimensi batin di balik unsur jasmaniyah. Hal ini karena menurut Viktor Frankle, eksistensi manusia ditandai oleh tiga faktor, yakni kerohanian (spirituality), kebebasan (freedom) dan tanggung jawab (responsibility).[5]
Abraham Maslow, salah seorang pemuka psikologi humanistik yang berusaha memahami segi esoterik (rohani) manusia menyatakan bahwa kebutuhan manusia memiliki kebutuhan yang bertingkat dari yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling puncak. Terpenuhinya kebutuhan puncak yang transenden oleh Maslow disebut peakers. Peakers memiliki berbagai pengalaman puncak yang memberikan wawasan yang jelas tentang diri mereka dan dunianya. Kelompok ini cenderung menjadi lebih spiritualis dan saleh.[6] Sebagai kebutuhan asasi seseorang, spiritualitas dalam kehidupan saat ini bisa dikembangkan dalam kehidupan pribadi pemimpin organisasi bila menginginkan keberhasilan,[7] demikian pula menurut Abdul Azis Wahab.[8]
Pengabaian akan spiritualitas maka berefek seperti yang dijelaskan Morgan Mc.Call & Michael Lombardo seperti yang dikutib Safaria bahwa:  “Banyak pemimpin yang gagal dalam menjalankan kepemimpinannya sebenarnya merupakan orang-orang yang cerdas, ahli di bidangnya masing-masing, seorang pekerja keras dan diharapkan maju dengan cepat. Akan tetapi sebelum mereka sampai di puncak organisasi, mereka dipecat atau dipaksa untuk pensiun / mengundurkan diri.”[9]
Dalam reformasi pendidikan atau krisis global saat ini sebagai  pemimpin    di lingkungan pendidikan, tentu dihadapkan dengan berbagai persoalan dan perubahan yang menuntut paradigma baru bagi seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya. Paradigma ini akan menentukan pola dan gaya kepemimpinan seorang pemimpin sehari-hari, selama pemimpin mengarahkan organisasi menuju kesuksesan di masa depan.[10]
Berbagai persoalan yang komplek, tentunya bisa membuat para pemimpin kehilangan keseimbangan dan kalau tidak tahan goncangan maka akan berpengaruh  pada keberhasilan kepemimpinan. Untuk itu seorang pemimpin seyogyanya  perlu mengembangkan aset yang berupa spiritualitas di samping yang lainnya. Hal ini karena telah dicontohkan Nabi Muhammad Saw sebagai panutan umat Islam. Muhammad Saw sebagai pembawa ajaran agama Islam, ternyata merupakan figur pemimpin dunia yang dikagumi akan keberhasilannya. Beliau ternyata tidak meninggalkan dimensi spiritualitas. Muhammad Saw meraih hasil luar  biasa melalui sebab yang  tidak  bisa lepas dari keberadaan dan praktek spiritualitas.[11]
Penjelasan tentang spiritualitas dan kepemimpinan di atas akan sangat menarik untuk diteliti ketika dihadapkan pada realita empirik para kepala SMP Islam Favorit di Surabaya. Hal ini karena kepemimpinan mereka berada di Kota Metropolitan yang notabene sangat mengedepankan rasionalitas, skills, pengalaman, kapasitas keilmuan dari pendidikan formal tanpa mempertimbangkan tingkat spiritualitas yang baik atau sebaliknya, mereka diambilkan dari para pelaku spiritulitas yang salah persepsi dalam memahami ajaran Islam, sehingga pelaksanaanya menjadi bersifat ritual tanpa dihayati dan menyentuh esensinya. Ini tentu akan menjadi pemicu dan faktor yang menghambat kemajuan organisasi. [12]
Sangat menariknya penelitian disertasi ini selain di atas, karena penelitian secara spesifik tentang spiritualitas yang menyangkut salat tahajud, duha, hajat dan puasa Senin Kamis terhadap keberhasilan kepemimpinan dan objeknya organisasi/perusahaan jasa seperti institusi pendidikan yang bernuansa Islam ternyata belum ada. Untuk itu penulis menjadi tertarik meneliti spiritualitas dan pengaruhnya terhadap keberhasilan kepemimpinan.
Ada beberapa persoalan yang diajukan dalam penelitian ini pertama, apakah para kepala SMP Islam favorit melakukan usaha spiritualitas dalam proses kepemimpinannya?; kedua, bagaimana keberhasilan kepemimpinan para kepala SMP Islam favorit yang ada saat ini ?; ketiga, seberapa besar pengaruh spiritualitas terhadap keberhasilan kepemimpinan para kepala SMP Islam favorit di Surabaya ?
B.     Pembahasan Hasil Penelitian
Pembahasan ini merupakan implikasi dan interpretasi dari analisis hasil penelitian yang didukung dengan temuan teoritis maupun empiris dari penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. Pembahasan ini dilakukan untuk mengetahui hubungan dua variabel yang diteliti sebagai pembuktian dari hipotesis dalam penelitian ini. Untuk itu tentu akan terdapat dua kemungkinan yakni menerima hipotesis yang diajukan atau sebaliknya menolaknya.
Untuk menguji hipotesis kepala SMP Islam favorit di Kota Surabaya melakukan upaya spiritualitas ketika menjalankan kepemimpinannya dan spiritualitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan kepemimpinan digunakan analisis chi kuadrat dengan menggunakan bantuan porgram SPSS 15.0. Selain itu argumen menggunakan analisis chi kuadrat adalah skala jawaban kuesioner yang digunakan spiritualitas dan keberhasilan kepemimpinan adalah ordinal.[13]  Adapun untuk mengetahui besaran pengaruh spiritualitas terhadap keberhasilan kepemimpinan yakni dengan membandingkan nilai koefisien kontingensi dengan nilai C maks. Nilai koefisien kontiakngensi ini dapat diperoleh dengan bantuan program SPSS 15.0.
Untuk itu menurut Peter Hagul, Chris Manning dan  Masri Singarimbun, usaha untuk mencari hubungan antara variabel sesungguhnya mempunyai tujuan akhir untuk melihat kaitan pengaruh antara variabel.[14]  Adapun jenis hubungan dalam penelitan ini merupakan hubungan asimetris. Hal ini karena inti pokok analisis-analisis sosial terdapat dalam hubungan asimestris, di mana satu variabel mempengaruhi variabel yang lainnya.[15] Sedangkan hubungannya bertipe kausal. Hal ini disebabkan dalam  analisis ilmu sosial, hubungan kausal biasanya digunakan untuk mengetahui pengaruh,[16]
Baik secara teoritik atau empirik/penelitian terdahulu, hasil penelitian disertasi ini nanti dimungkinkan pertama, mendukung teori-teori atau hasil penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan dalam penyusunan disertasi ini; kedua, mengembangkan teori-teori yang sudah ada atau hasil penelitian terdahulu; ketiga yakni justru menolak/tidak mendukungnya; bahkan dimungkin hasil penelitian disertasi ini akan menemukan teori-teori baru khususnya dalam hal spiritualitas Islam dan kepemimpinan di institusi pendidkan Islam. Untuk itu pendeskripsian pembahasan ini bisa kita ikuti sebagai berikut.
Pertama, para kepala SMP Islam favorit di Surabaya sesungguhnya orang-orang yang spiritualis. (Lihat tabel 5.21, lampiran disertasi, hal. vii). Namun demikian dari 30 orang kepala sekolah, kebanyakan di antara mereka yang sering hingga sering sekali melakukan spiritualitas (salat tahajud, duha, hajat dan puasa Senin Kamis) adalah kepala sekolah alumni pondok pesantren, kecuali pada salat hajat yang bukan alumni pondok pesantren lebih menonjol. Pada salat tahajud, duha dan puasa Senin Kamis walaupun yang lebih banyak dilakukan mereka yang alumni pondok pesantren akan tetapi yang bukan alumni pondok pesantren ternyata kesadaran melakukan spiritualitas tersebut hampir mengimbangi mereka yang alumni pondok pesantren.
Temuan dalam penelitian ini sesungguhnya menunjukkan bahwa walaupun para kepala SMP Islam favorit berpendidikan formal S1 bahkan ada yang S2 dan S3 serta hidup di kota Metropolis Surabaya yang notabene orang-orang rasional tetapi mereka melakukan upaya spiritualitas dalam kepemimpinannya. Upaya spiritualitas yang dianggap oleh sebagian kalangan tidak rasional jika dilihat dari hasil temuan penelitian ini ternyata dilakukan para kepala SMP Islam favorit tidak hanya dari alumni pesantren. Mereka yang bukan alumni pesantren pun juga melakukan spiritualitas.
Untuk itu temuan penelitian ini kehadirannya menjadi temuan baru, mendukung, mengembangkan bahkan menolak teori-teori yang sudah ada dan temuan dari studi empirik sebelumnya. Dikatakan temuan baru karena para peneliti yang meneliti spritualitas Islam ini dengan keberhasilan kepemimpinan secara spesifik belum ada. Dikatakan mendukung dan mengembangkan karena baik secara teori dan studi empirik telah ditemukan teori-teori yang berkaitan dengan spiritualitas dan kepemimpinan ataupun yang lain, namun sifatnya masih umum. Dikatakan menolak karena temuan ini berseberangan dengan teori-teori dan studi empirik yang telah ada.
Temuan dalam penelitian ini sesungguhnya hadir mendukung dan mengembangkan teori yang dikemukakan Geertz secara empirik dan yang lainnya. Hal ini karena dari hasil penelitian Geertz di Indonesia menjelaskan bahwa soal kebatinan, kepercayaan, simbolisme slametan, praktek keagamaan, berbagai kejadian, perhitungan hari, dan hal-hal yang sejenis sangat kental mewarnai perilaku masyarakat.[17]. Demikian pula hasil penelitian Simuh secara empirik menyebutkan tidak hanya rakyat kecil dan masyarakat pedesaan saja, mereka yang hidup di metropolis, bisnismen bahkan pejabat seringkali melakukan upaya spiritualitas. Misalnya ketika pemilihan lurah, bupati/walikota, gubernur, bahkan presiden hingga ketika memimpin dan menduduki jabatan itu mereka tidak bisa lepas dari upaya ini demi kesuksesan usaha dan pekerjaannya. [18]
Selanjutnya  penemun ini secara empirik hadir menolak teori-teori yang sudah ada, seperti teori yang dikemukakan Alasdair MacIntyre ahli psikologi yang mengatakan bahwa pengalaman ketuhanan itu mustahil.[19] Bagi para kepala SMP Islam favorit di Surabaya pengalaman ketuhanan (spiritualitas) tentu tidak mustahil. Hal ini terbukti mereka walaupun orang-orang yang rasional dengan berpendidikan formal (sarjana S1, S2, S3) tetapi melakukan spiritualitas. Untuk itu menurut John Hick, bahwa pengalaman spiritualitas bagi yang mengalaminya sendiri adalah rasional namun bagi mereka yang tidak mengalami mungkin dianggap irrasional dan jauh dari objektivitas.[20]
Para kepala SMP Islam favorit di atas dari hasil penelitian, sebelum dan ketika mereka menjadi kepala sekolah maka dapat diklasifikasi menjadi tiga yakni mereka yang melakukan spiritualitas (salat tahajud, salat duha, salat hajat dan puasa Senin Kamis) ada yang dengan istiqamah, ada yang mengalami peningkatan intensitas dan ada yang mengalami penurunan. (Lihat tabel 5.22 - 5.25, lampiran viii-x). Dengan pengklasifikasian ini maka ditemukan bahwa kebanyakan di antara kepala SMP Islam favorit di Surabaya ternyata dalam upaya spiritualitasnya dilakukan dengan istiqamah. Mereka yang istiqamah ini ada sebesar 63%, dan 25% di antara mereka yang mengalami peningkatan dalam melakukan spiritualitas ketika menjabat serta hanya ada sedikit saja 12% yang mengalami penurunan. (Lihat tabel 5.26, lampiran disertasi, hal. x).
Menurut Shaikh Ibnu Ata’illah bahwa  keberadaan istiqamah merupakan perintah yang memang berat, sampai-sampai ketika Rasulullah Saw menerima ayat yang berhubungan dengan istiqamah seperti dalam al-Qur’an, 11 (Hud) : 112, menyebabkan beliau menjadi termenung dalam sekali guna merenungkan arti yang sangat penting dari ayat tersebut, sehingga Nabi Saw menjadi kelihat seperti cepat sekali bertambah umurnya lantaran rambut kepala beliau beruban.[21] Walaupun istiqamah itu sangat berat ternyata dalam realita empirik para kepala SMP Islam favorit Surabaya melakukan spiritualitas Islam yang ada dengan istiqamah, di samping ada yang meningkatkan dan mengalami penurunan dalam pelaksanaanya ketika menjabat.
Dengan adanya sebagian kepala sekolah yang mengalami peningkatan dalam spiritualitasnya ini (25%) menunjukkan bahwa mereka ternyata ada juga yang ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sebab menurut Shah Wali Allah al-Dihlawi bahwa salat yang merupakan induk amal ternyata menjadi media untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah.[22] Demikian pula pada mereka yang meningkatkan puasa Senin Kamis, menunjukkan bahwa adanya keinginan lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sebab menurut Shaikh Abdul Qodir al-Jailani bahwa puasanya orang hakikat, mereka melampaui kenikmatan puasanya orang awam. Mereka merasakan kenikmatan dapat melihat dan bertemu Allah dengan mata hatinya.[23] Mereka ini berpuasa karena mencari Allah dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya.[24]
Adapun bagi mereka yang mengalami penurunan ini, disebabkan karena dalam pelaksanaanya belum sepenuhnya khusyuk[25] dan ikhlas karena Allah.[26] Demikian pula bagi orang yang mengalami penurunan dalam puasa Senin Kamis. Mereka ini karena belum merasakan kenikmatan dalam berpuasa kecuali hanya merasakan lapar dan dahaga. Untuk itu al-Ghazali dalam hal ini mengatakan bahwa adapun puasanya orang umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menunaikan kebutuhan.[27]
Adapun jika dilihat dari motivasinya di antara kepala SMP Islam favorit di Surabaya tersebut dalam melakukan spiritualitas dari hasil penelitian maka dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni mereka yang melakukan dengan motivasi hanya semata-mata mencari rida Allah dan ada yang di samping karena Allah juga berharap mendapatkan kesuksesan. Dengan pengklasifikasian ini maka dapat diketahui bahwa kebanyakan mereka dalam melakukan spiritualitas 53% ternyata hanya karena mencari rida Allah dan sisinya 47% melakukannya selain karena Allah juga berharap mendapatkan kesuksesan. (Lihat tabel 5.27a, lampiran disertasi, hal. x).
Temuan di atas ini secara empirik menjadi temuan yang mendukung dan mengembangkan teori yang sudah ada. Dalam pandangan Rudolf Otto seperti yang dikutib Jalaluddin dan Ramayulis bahwa spiritualitas seseorang timbul karena adanya dorongan dari diri sebagai faktor dalam. Dalam perkembangan selanjutnya spiritualitas itu dipengaruhi pula oleh pengalaman spiritualitasnya. Dengan kata lain dorongan spiritualitas itu berperan sejalan dengan kebutuhan manusia.[28] Untuk itu dari sini maka timbullah motivasi-motivasi dari mereka yang melakukan spiritualitas ini.
Keikhlasan seseorang dalam beribadah bukan berarti ia tidak boleh mengharap sesuatu (berdo’a) kepada-Nya dengan ibadahnya tersebut. Hal ini disebabkan mengharap sesuatu kepada Allah adalah perintah Allah sendiri sehingga memiliki nilai ibadah pula. Karena itu melaksanakan ibadah lebih utama daripada meninggalkannya. Sedang berdo’a adalah hak Allah yang harus dipenuhi. Akan tetapi di antara ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama, mengharap sesuatu (berdo’a) ataukah diam dengan rida ketika seseorang melakukan ibadah tersebut. Pendapat kedua mengatakan bahwa diam dan pasrah terhadap keputusan Allah lebih sempurna.[29]
Menyikapi dua pendapat ini, maka seorang mukmin harus bisa bersikap bijak. Hal ini seperti yang dikatakan al-Qushairy, dalam kondisi tertentu berharap (do’a) akan lebih utama daripada diam. Hal ini termasuk tatakrama. Dalam kondisi lain diam  lebih utama daripada berharap sesuatu  (berdo’a). Hal ini juga termasuk etika. Jika hatinya merasa bahwa berharap sesuatu  (berdo’a) itu lebih baik, maka berharap sesuatu  (berdo’a) pada saat itu lebih utama. Jika hatinya merasa diam itu lebih baik, maka tidak berharap (berdo’a) adalah lebih sempurna. Untuk itu seseorang harus memperhatikan kondisinya.[30]
Selain mencari rida Allah, ada juga di antara mereka yang ketika melakukan spiritualitas memiliki motivasi-motivasi lain seperti mengharap kepada Allah diberikan kesuksesan ketika memimpin. Untuk itu Shah Wali dalam hal ini mengatakan berdasar pada motivasinya maka dapat diidentifikasi sebagai berikut bahwa orang melakukan spiritualitas ada kalanya untuk mematuhi akal hingga memperoleh yang diinginkan, untuk menghindari cinta duniawi menuju cinta Allah, untuk mencapai Zat Ilahi.[31]
Kedua, secara empirik dari hasil penelitian ini ditemukan, ternyata di SMP Islam favorit Surabaya jumlah siswanya mengalami peningkatan (ada 23 sekolah) 76,7%, para siswanya lulus dalam ujian nasional baik lulus langsung atau harus melalui ujian ulang (ada 25 sekolah / 83,3%), keuntungan dana mengalami peningkatan (ada 23 sekolah / 76,7%), kebanyakan program-program inovasinya terwujud (ada 25 sekolah / 83,3%), dan semua bawahan puas dengan gaji (ada 23 sekolah / 76,7%), kebanyakan bawahan tidak protes dengan kebijakan yang dibuat (ada 18 sekolah / 60%), kebanyakan bawahan datang sebelum jam kerja dimulai dan pulang setelah tanggung jawab harian selesai (ada 17 sekolah / 56,7%).
Ini merupakan petunjuk bahwa para Kepala SMP Islam favorit yang ada sesungguhnya berhasil baik dalam menjalankan kepemimpinannya. Adapun keberhasilan kepemimpinan yang lebih besar terletak pada apa yang diperoleh dari organisasi (organizational achievement) daripada organizational maintenance. Hal ini terbukti kebanyakan responden menjawab empat indikator milik organizational  achievement pada poin (b). Sedang pada organizational maintenance yang memiliki tiga indikator kebanyakan responden hanya menjawab dua indikator saja pada poin (b).
Mengetahui keadaan semacam ini memang perlu sekali hal ini seperti yang dikemukakan Nana Sudjana bahwa mengetahui indikator keberhasilan ini sangat penting, sebab dari indikator ini bisa dijadikan tolok ukuran, patokan dalam penilaian akan berhasil tidaknya suatu aktifitas yang dilakukan seseorang, yang dalam pembahasan ini berhubungan dengan keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah.[32]
Ketiga, spiritualitas yang dilakukan para kepala SMP Islam favorit Surabaya ternyata berpengaruh positif terhadap keberhasilan kepemimpinan. Mereka yang melakukan spiritualitas dengan istiqamah dan terus meningkatkan intensitasnya secara empirik ternyata lebih berhasil dalam kepemimpinan, daripada yang mengalami penurunan intensitas. 
Hal ini sangat beralasan karena dengan istiqamah dan terus meningkatkan intensitas dalam melakukan spiritualitas, mereka menjadi lebih dekat dengan Allah. Kedekatan dengan Allah ini membuat mereka senantiasa merasakan ketenangan hati dan kejernihan dalam berpikir.[33] Keadaan personal yang kondusif ini membuat mereka ketika bertutur kata menjadi mantap, berbobot, ketika beraktivitas menjadi terarah[34] dan penuh keoptimisan,[35] serta memunculkan sikap perilaku yang menyenangkan semua pihak. [36] Sehingga para bawahan tidak terasa terpengaruh untuk bersama-sama bergerak dan beraktivitas mewujudkan keberhasilan organisasi yang dipimpin.
Kondisi inilah yang oleh Danah Zohar dan Ian Mashall dikatakan sebagai pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual yang bisa meningkatkan kualitas hidup dan keberadaannya menjadi modal spiritual (spiritual capital) bagi sebuah organisasi.[37] Pada posisi ini kecerdasan spiritual menjadi metode, konsep yang jelas dan pasti mengisi kekosongan batin, jiwa serta konsep universal yang menghantarkan seseorang pemimpin pada predikat memuaskan bagi dirinya sendiri juga sesamanya.[38] Hal ini karena seorang pemimpin spiritulis mengerti makna dan mampu memerankan cinta kasih di mana ia berada.[39]
Selanjutnya dengan kecerdasan spiritual ini maka seorang pemimpin mampu membuat kebaikan, kebenaran, keindahan dan kasih sayang dalam organisasi yang dipimpinnya.[40] Implikasi dari semua ini maka para pemimpin yang spiritualis akan mampu mempengaruhi orang lain dengan cara mengilhami tanpa mengindoktrinasi, menyadarkan tanpa menyakiti, membangkitkan tanpa memaksa dan mengajak tanpa memerintah.[41]
Demikian pula para kepala sekolah yang dalam melaksanakan spiritualitas di samping mencari rida Allah juga berharap sukses, ternyata mengalami keberhasilan kepemimpinan lebih baik dari pada yang melakukan dengan hanya mencari rido Allah saja. Hal ini sangat beralasan, karena mereka yang melakukan spiritualitas di samping mencari rida Allah, juga berharap sukses ini, ternyata memiliki nilai tambah (plus). Nilai tambahnya yakni meraka juga melakukan perintah Allah untuk berdo’a dan berharap kepada-Nya. Harapan dan do’anya ini tentu akan diwujudkan Allah sesuai dengan janji-Nya.
Harapan dan do’a ini menimbulkan sikap optimis dan motivasi dalam diri. [42] Sehingga dari sini maka bisa dilihat bahwa mereka yang berharap kepada Allah tampak lebih optimis dan memiliki motivasi lebih besar daripada yang tidak berharap. Keoptimisan dan motivasi yang lebih besar ini menjadi sebab mereka bangkit dan tergerak melangkah dengan mantap, terarah untuk meraih serta mewujudkan kesuksesan kepemimpinannya. Inilah cara Allah mewujudkan harapan dan do’a mereka seperti yang dijanjikan kepada hamba-Nya jika berharap dan berdo’a kepada-Nya.
Selanjutnya diketahui pula setelah diuji dengan teknik analisis chi kuadrat dan nilai koefisien kontingensi yang ada dibandingkan dengan C maks dengan program SPSS 15.0.maka spiritualitas (salat tahajud, salat duha, salat hajat, puasa Senin Kamis) ternyata berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan kepemimpinan dengan keeratan pengaruhnya rata-rata sebesar 72,73%.
Selain itu alasan diterimanya hipotesis itu adalah jika dilihat dari 4 spiritualitas masing-masing harus mempengaruhi 7 indikator keberhasilan kepemimpinan maka spiritualitas harus mempengaruhi 28 indikator yang ada, sedang dari 28 indikator yang harus dipengaruhi, ternyata yang tidak berpengaruh hanya ada 5 (17,9%) indikator saja dan sisinya ada 23 (82,1%) indikator yang dapat dipengaruhi spiritualitas.
Untuk itu hipotesis yang berbunyi bahwa spiritualitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan kepemimpinan para kepala SMP Islam favorit di Surabaya diterima, kecuali pada beberapa indikator keberhasilan kepemimpinan, salat duha, salat hajat, dan puasa Senin Kamis pengaruhnya terhadap kepuasan gaji yang diterima para bawahan rendah (tidak berpengaruh) dan salat duha pengaruhnya terhadap kebijakan yang diterima bawahan rendah (tidak berpengaruh), salat hajat pengaruhnya terhadap disiplin kerja juga rendah (tidak berpengaruh).
Rendahnya (tidak adanya) pengaruh tersebut karena ada faktor lain yang mempengaruhinya yakni eksternal. Faktor eksternal ini di antaranya kebijakan yayasan/pemerintah bagi PNS DPK dalam menetapkan gaji dan yayasan telah menempatkan para guru, karyawan pada sekolah tersebut sesuai dengan kebutuhan, dan tingkat kompetensinya. Hal ini seperti yang dikemukakan Moeheriono, apabila pihak pengelola (yayasan) menempatkan karyawan dan (guru) sesuai dengan kompetensi yang berkualitas baik dan optimal maka dipastikan akan tercipta sistem personalia yang memiliki kinerja terpadu dan terarah.[43] Selanjutnya Moeheriono menjelaskan bahwa kompetensi seseorang termasuk dalam kategori tinggi atau baik nantinya akan dibuktikan dan ditunjukkan apabila ia sudah melakukan pekerjaan”.[44] Faktor eksternal ini, disebut variabel pengganggu (distorter variable). Hal ini karena keberadaannya dapat menyebabkan pengaruh variabel independen terhadap sebagian indikator keberhasilan kepemimpinan di atas menjadi mengecil. [45]
Adapun faktor internal yang turut mempengaruhi rendahnya pengaruh di atas yakni tingkat emosional, kekhusyukan, keikhlasan, keistiqamahan, atau peningkatan dan pengharapan sukses para kepala sekolah ketika melakukan spiritualitas. Faktor internal ini sesungguhnya menjadi variabel antara (intervening variable). Hal ini karena apabila variabel tersebut dimasukkan, hubungan statistik yang semula nampak antara dua variabel menjadi lemah atau bahkan lenyap. [46]
C.    Implikasi Teoritik
Hasil temuan dalam penelitian ini jika dikaitkan dengan teori dan temuan sebelumnya maka mengandung implikasi mendukung, mengembangkan dan menolak bahkan menjadi temuan baru khususnya dalam hal spiritualitas Islam dan kepemimpinan di institusi pendidkan Islam. Dengan ditemukan bahwa spiritualitas (salat tahajud, duha, hajat dan puasa Senin Kamis) berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan kepemimpinan maka mengandung implikasi sebagai berikut.
Hasil penelitian ini mendukung teori yang dikemukakan Gay Hendricks dan Kate Goodeman yang mengatakan bahwa pada pasar global nanti akan ditemukan orang-orang suci, mistikus atau sufi di dalam perusahaan-perusahaan besar atau organisasi-organisasi modern bukan hanya di tempat-tempat ibadah saja.[47] Mendukung teorinya Paul Stange pakar mistisisme dari Murdoch University Australia yang mengatakan, bahwa “unsur spiritual benar-benar mewarnai kesuksesan para pemimpin Indonesia dalam menjalankan kekuasaannya.” [48] Temuan ini juga mendukung teori William James seorang pakar mistisisme yang mengatakan bahwa: “…pengalaman spiritual merupakan satu-satunya gerbang menuju kehidupan yang lebih bahagia.”[49] Sedang bagi para kepala sekolah akan menjadi bahagia jika berhasil dalam kepimimpinannya. Ruslan Abdulgani juga mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan dalam proses kepemimpinan yakni mempunyai kelebihan dalam hal menggunakan pikiran, rohani (spiritualitas), jasmani.[50]
Temuan dalam penelitian ini juga mengembangkan temuan-temuan lain yang telah ada, seperti temuan: Moh. Sholeh dari sisi medis bahwa salat tahajud ternyata berpengaruh terhadap peningkatan respons ketahanan tubuh imunologik.[51] Wibisono membuktikan dari hasil penelitiannya bahwa motivasi spiritual (aqidah dan muamalat) berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.[52] Muafi membuktikan bahwa motivasi spiritualitas (aqidah, ibadah, muamalah) berpengaruh positif terhadap kinerja.[53]
Tobroni dari hasil penelitiannya menemukan, bahwa kepemimpinan spiritual dapat menciptakan noble industry yang efektif, yakni budaya organisasi yang kondusif, proses organisasi yang efektif dan inovasi-inovasi dalam organisasi. Kepemimpinan spiritual terbukti dapat mengembangkan organisasi.[54] Fred. R. David dari sisi manajemen mengemukakan bahwa para spiritualis yang mempunyai pengalaman yang bersifat metafisik, akan memiliki kekuatan yang lembut untuk menggerakkan aktivitas menuju kesuksesan.[55] Popper dari sisi filsafat mengemukakan bahwa “pengalaman spiritualitas yang bersifat metafisika bukan saja dapat bermakna, tetapi dapat benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah kalau sudah teruji dan dites (falsifiabilitas).[56] Temuan dalam penelitian ini setelah diuji dengan metode ilmiah maka ternyata spiritualitas berpengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan yang kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan.
Temuan dalam penelitian ini juga menolak temuan dan teori yang dikemukakan oleh Chablullah Wibisono, walaupun tidak berkaitan dengan kepemimpinan hasil temuannya secara realita empirik menyatakan bahwa motivasi spiritual ternyata berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan. Ini memiliki implikasi, apabila motivasi spiritual (salat lima waktu, puasa ramadan) karyawan meningkat, maka kinerja mereka akan menurun.[57] Penolakan terhadap temuan Wibisono ini karena spiritualitas berpengaruh positif pada keberhasilan kepemimpinan yang ada. Sedang Wibisono, motivasi spiritual ternyata berpengaruh negatif tetapi pada kinerja karyawan dan bukan pada kepemimpinan.
C. Stephen Evans, yang menyatakan bahwa pengalaman spiritualitas ini kurang bisa diuji secara publik/intersubjektif.[58] Penolakan terhadap teori ini karena spiritualitas ternyata dapat diuji secara publik yang hasilnya berpengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan. Simuh yang menyatakan bahwa spiritualitas keberadaannya akan menjadi penghambat kemajuan dan menimbulkan kemunduran selama berabad-abad.[59] Namun dari hasil penelitian ini bukan menimbulkan kemunduran tapi justru kemajuan karena membawa kepemimpinan menjadi sukses.
D. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan dan pembahasan di atas maka penelitan ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
  1. Kepala SMP Islam favorit di Surabaya sesungguhnya melakukan upaya spiritualitas dalam kepemimpinannya. Dari 30 respoden yang ada, ternyata ada 63% yang melakukan spiritualitas dengan istiqamah, ada 25% yang meningkatkan intensitasnya, dan hanya ada 12% yang mengalami penurunan intensitas. Dalam melakukan spiritualitas di atas, para kepala SMP Islam favorit di Surabaya kebanyakan (53%) karena  mencari rida Allah dan sisinya (47%) melakukannya selain karena Allah juga berharap kesuksesan.
  2. Para Kepala SMP Islam favorit yang ada sesungguhnya berhasil baik dalam menjalankan kepemimpinannya. Adapun keberhasilan kepemimpinan yang lebih besar terletak pada apa yang diperoleh dari organisasi (organizational achievement) daripada organizational maintenance.
  3. Spiritualitas yang dilakukan para kepala SMP Islam favorit Surabaya ternyata berpengaruh positif terhadap keberhasilan kepemimpinan dengan keeratan pengaruhnya rata-rata sebesar 72,73%. Mereka yang melakukan spiritualitas dengan istiqamah dan terus meningkatkan intensitasnya secara empirik ternyata lebih berhasil dalam kepemimpinan, daripada yang mengalami penurunan intensitas. Demikian pula para kepala sekolah yang dalam melaksanakan spiritualitas di samping mencari rida Allah juga berharap sukses, ternyata mengalami keberhasilan kepemimpinan lebih baik dari pada yang melakukan dengan hanya mencari rido Allah saja.

Daftar Kepustakaan


Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. Jakarta: Arga, 2001.
Ancok, Djamaluddin. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Archer B.D, John Clark. Dimensi Mistis dalam Diri Muhammad. Terj. Ahmad Asnawi. Yogyakarta: Diglossia, 2007.
Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Berten, K. Filsafat Barat Kontemporer. Atmajaya. Jakarta: Gramedia, 2003.
Burhani, Ahmad Najib. Sufisme Kota: Berpikir Jernih Menemukan Spiritualitas Positif. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001.
David, Fred. R. Menejemen Strategis. Terj. Alexander  Sindoro. Jakarta: Prenhallindo, 2002.
al-Dihlawi, Shah Wali Allah. Hujjah Allah al-Balighah: Argumen Puncak Allah, Kearifan dan Dimensi Batin Syariat. Terj. Nuruddin Hidayat & C. Romli Bihar Anwar. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Evans, C. Stephen. Philosophy of Religion. Downers Grove, Illinois, USA: InterVarsity Press, 1982.
Fattah, Nanang. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
al-Ghazali. Ihya' Ulumuddin. Jilid 2. Terj. Moh. Zuhri. Semarang: As-Syifa', 2003.
Hammond, Jeff. Kepemimpinan Yang Sukses. Jakarta: Yayasan MediaBuana Indonesia, 2002.
Hartono, Djoko. “Hubungan Motivasi Mistik terhadap Keberhasilan Kepemimpinan (Studi Kasus di SMP Hang Tuah Surabaya), Tesis, Universitas Bhayangkara, Surabaya, 2004.
Hick, John. An Interpretation of Religion, Human Responses to the Transcendent. New Haven and London: Yale University Press, 1989.
al-Jailani, Abdul Qadir. Rahasia Sufi. Terj. Abdul Majid. Yogyakarta: Futuh, 2002.
Jalaluddin dan Ramayulis. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam Mulia, 1993.
James, William. The Varieties of Religious Experience: Pengalaman-pengalaman Religius. Terj. Luthfi Anshari. Yogyakarta: Jendela, 2003.
Kielson, Daniel C. Leadership: Creating a New Reality. Journal of Leadership Studies 3, No.4, 1996.
Levin, Michal. Spiritual Intelligence: Membangkitkan Kekuatan Spiritual dan Intuisi Anda. terj. Andri Kristiawan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
MacIntyre, Alasdair. claims this in his essay “Visions,” in New Essays in Philosophical Theology, ed. Antony Flew and Alasdair MacIntyre. New York: Macmillan, 1964.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000.
Mc.Call, Morgan & Michael Lombardo. “Off the track: Why and How Succesfull Executive Get Gerailed.” Dalam, Triantoro Safaria, Kepemimpinan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004.
Moeheriono. Pengukuran Kenerja Berbasis Kompetensi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.
Muafi. “Pengaruh Motivasi Spiritual Karyawan terhadap Kinerja  Riligius di Kawasan Industri Rungkut Surabaya.” Jurnal Siasat Bisnis. Vol. 1, Nomor 8. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 2003.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Nurdin H.K. Ethics of Religious Relations in Heterogeneous Society, Dalam Ihya Ulum al-Din, Number 1 Vol 1,  International Journal, Published by State Institute for Islamic Studies. Semarang-Indonesia: IAIN Wali Songo, 1999.
Paul. Tabloit, 21.
Peter Hagul, dkk.,. “Penentuan Variabel Penelitian dan Hubungan Antar Variabel” Dalam, Masri Singarimbun dan Sofian (editor). Metode Penelitan Survai. Jakarta: LP3ES, 1989.
Sholeh,  Moh. Terapi Salat Tahajud Menyembuhkan Berbagai Penyakit. Jakarta: Hikmah, 2007.
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju, 2003.
Sudjana, Nana. Penilaian Hasil PBM. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Sudjana. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito, 1996.
al-Sukandari, Shaikh Ibnu Ata’illah. Matnu al-Hikam. Terj. Labib Mz. Surabaya: Tiga Putra, 1996.
Tobroni. Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualitas. Malang: UMM Press, 2008.
Tobroni. The Spiritual Leadership: Pengefektifan Organisasi Noble Industry Melalui Prinsip-prinsip Spiritual Etis. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2005.
Wahab, Abdul Azis. Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan: Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2008.
Wibisono, Chablullah. Pengaruh Spiritual terhadap Kinerja Karyawan Sub Sektor Industri Manufaktur di Batamindo Batam. Ringkasan Disertasi, Universitas Airlangga, 2002.
Zohar, Danah dan Ian Mashall. Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, terj. Helmi Mustofa. Bandung: Mizan, 2005.




[1] Penilitian tesis ini objeknya tidak hanya pada mereka yang beragama dan spiritualitas tertentu, tetapi menyangkut berbagai agama dan motivasi spiritualitas secara umum. Lihat, Djoko Hartono, “Hubungan Motivasi Mistik terhadap Keberhasilan Kepemimpinan (Studi Kasus di SMP Hang Tuah Surabaya), (Tesis, Universitas Bhayangkara, Surabaya, 2004), 95-96.
[2] Chablullah Wibisono, “Pengaruh Spiritual terhadap Kinerja Karyawan Sub Sektor Industri Manufaktur di Batamindo Batam” (Ringkasan Disertasi, Universitas Airlangga, 2002), 45.
[3] M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 149.
[4] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 56.
[5] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 36.
[6] Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994),49, 75.
[7] Jeff Hammond, Kepemimpinan Yang Sukses  (Jakarta: Yayasan MediaBuana Indonesia, 2002), 12.
[8] Abdul Azis Wahab, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan: Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2008), 136.
[9] Morgan Mc.Call & Michael Lombardo, “Off the track: Why and How Succesfull Executive Get Gerailed.” Dalam, Triantoro Safaria, Kepemimpinan (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 14 – 15.
[10] Daniel C. Kielson, “Leadership: Creating a New Reality.” Dalam, Triantoro Safaria, Kepemimpinan (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 6.
[11] John Clark Archer B.D, Dimensi Mistis dalam Diri Muhammad , terj. Ahmad Asnawi (Yogyakarta: Diglossia, 2007),  hal. x.
[12] Chablullah Wibisono, “Pengaruh Spiritual..., 38-39.
[13] Sudjana, Metoda Statistika (Bandung: Tarsito, 1996), 278                                                                  
[14] Peter Hagul, dkk., “Penentuan Variabel Penelitian dan Hubungan Antar Variabel” Dalam, Masri Singarimbun dan Sofian (editor), Metode Penelitan Survai (Jakarta: LP3ES, 1989), 51.
[15] Ibid., 53.
[16] Ibid., 51.
[17] Nurdin H.K, Ethics of Religious Relations in Heterogeneous Society, Dalam Ihya Ulum al-Din, Number 1 Vol 1,  International Journal, Published by State Institute for Islamic Studies (Semarang-Indonesia: IAIN Wali Songo, 1999), 98.
[18] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Jakarta: Teraju, 2003), 132
[19] Alasdair MacIntyre claims this in his essay “Visions,” in New Essays“Visions,” in New Essays in Philosophical Theology, ed. Antony Flew and Alasdair MacIntyre (New York: Macmillan, 1964), 256.
[20] John Hick, An Interpretation of Religion, Human Responses to the Transcendent (New Haven and London: Yale University Press, 1989), 210-229.
[21] Shaikh Ibnu Ata’illah al-Sukandari, Matnu al-Hikam. Terj. Labib Mz (Surabaya: Tiga Putra, 1996), 185.
[22] Shah Wali Allah al-Dihlawi, Hujjah Allah al-Balighah: Argumen Puncak Allah, Kearifan dan Dimensi Batin Syariat. Terj. Nuruddin Hidayat & C. Romli Bihar Anwar (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005),  310.
[23] Shaikh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufi. Terj. Abdul Majid (Yogyakarta: Futuh, 2002), 234-235.
[24] Ibid., 240.
[25] al-Qur’an, 2 (al-Baqarah) : 45.
[26] al-Qur’an, 4 (an-Nisa’) : 142.
[27] al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid 2, terj. Moh. Zuhri (Semarang: As-Syifa', 2003), 98
[28] Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), 71.
[29] al-Qushairy, al-Risalah al-Qushayriyyah, terj. Umar Faruq (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), 391.
[30] Ibid.
[31] Shah Wali Allah al-Dihlawi, Hujjah Allah al-Balighah: Argumen Puncak Allah, Kearifan dan Dimensi Batin Syariat. Terj. Nuruddin Hidayat & C. Romli Bihar Anwar (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), 317 - 319.
[32] Nana Sudjana, Penilaian Hasil PBM  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), 59.
[33] Shaikh Ibnu Ata’illah al-Sukandari, Matnu al-Hikam. Terj. Labib Mz (Surabaya: Tiga Putra, 1996), 185-186
[34] Ibid.
[35] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), 67.
[36] Moh. Sholeh, Terapi Salat Tahajud Menyembuhkan Berbagai Penyakit (Jakarta: Hikmah, 2007), 120.
[37] Danah Zohar dan Ian Mashall, Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, terj. Helmi Mustofa (Bandung: Mizan, 2005), 23.
[38] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ (Jakarta: Arga, 2001),  17.
[39] Michal Levin, Spiritual Intelligence: Membangkitkan Kekuatan Spiritual dan IntuisiAnda, terj. Andri Kristiawan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 4.
[40] Danah Zohar dan Ian Mashall, Spiritual Capital: Memberdayakan …, 25.
[41] Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualitas (Malang: UMM Press, 2008), 166.
[42] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban ..., 67.
[43] Moeheriono, Pengukuran Kenerja Berbasis Kompetensi (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), 11.
[44] Ibid., 13.
[45] Peter Hagul,dkk.,  ”Penentuan Variabel Penelitian ..., 61-62.
[46] Ibid., 64-65.
[47] Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota: Berpikir Jernih Menemukan Spiritualitas Positif (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 63.
[48] Paul. Tabloit, 21.
[49] William James, The Varieties of Religious Experience: Pengalaman-pengalaman Religius. Terj. Luthfi Anshari (Yogyakarta: Jendela, 2003), 504-507.
[50] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), 89.
[51]. Moh. Sholeh, Terapi Shalat Tahajud …, 172
[52] Chablullah Wibisono, Pengaruh Motivasi Spiritual..., 37, 40.
[53] Muafi,, “Pengaruh Motivasi Spiritual Karyawan terhadap Kinerja  Riligius di Kawasan Industri Rungkut Surabaya.” Jurnal Siasat Bisnis. Vol. 1, Nomor 8 (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 2003), 11.
[54] Tobroni, The Spiritual Leadership: Pengefektifan Organisasi Noble Industry Melalui Prinsip-prinsip Spiritual Etis (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2005), 239-240
[55] Fred. R. David, Menejemen Strategis. Terj. Alexander  Sindoro (Jakarta: Prenhallindo, 2002), 145.
[56] Berten, K. Filsafat Barat Kontemporer. Atmajaya (Jakarta: Gramedia, 2003), 81
[57] Chablullah Wibisono, “Pengaruh Spiritual terhadap Kinerja Karyawan..., 45.         
[58] C. Stephen Evans, Philosophy of Religion. Downers Grove, Illinois (USA: InterVarsity Press, 1982), 81-92.
[59] Simuh, Islam …, 136.


read more