Abstrak
Riset ini sesungguhnya
membahas tentang kepemimpinan inovatif pada institusi pendidikan sekolah dasar
yang bernuansa Islam di kota Pasuruan Jawa Timur. Model kepemimpinan inovatif
seperti ini tentu sangat dibutuhkan di era penuh perubahan dan tantangan serta
persaingan seperti saat ini. Dalam riset ini peneliti berkepentingan selain untuk
mengungkap kepemimpinan inovatif yang ada, juga berusaha mengetahui model
kepemimpinan inovatif yang dilakukan serta berbagai alasan kepemimpinan
inovatif dilakukan oleh kepala sekolah tersebut.
Selanjutnya peneliti
melakukan pra-riset dan riset secara mendalam. Untuk mendapatkan data-data yang
dibutuhkan peneliti menggunakan
metode interview terstruktur/ wawancara terstandar maksudnya adalah wawancara
dengan menggunakan sejumlah pertanyaan yang terstandar secara baku. Setelah data terkumpul maka peneliti
menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan analisis fungsionalisme dan
analisis kritis.
Hasil penelitian ini nanti dimungkinkan pertama, mendukung teori-teori atau
hasil penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan dalam penyusunan riset
ini; kedua, mengembangkan teori-teori
yang sudah ada atau hasil penelitian terdahulu; ketiga yakni justru menolak/tidak mendukungnya; keempat, menjadi temuan baru.
Penelitian ini menghasilkan
temuan-temuan yakni kepemimpinan inovatif dilakukan kepala SD
Darul Ulum Pasuruan, model pelaksanaan kepemimpinan inovatif yang dilakukan di
institusi ini menggunakan model evolusioner dan atau revolusioner sekaligus.
Adapun berbagai alasan pelaksanaan kepemimpinan inovatif yang dilakukan kepala
sekolah yakni dalam rangka merubah dan memperbaiki keadaan sekolah yang belum mapan agar menjadi lebih mapan, yang tidak baik menjadi lebih
baik, yang tidak berkualitas menjadi lebih berkualitas dan merubah stigma
negative sekolah bernuansa Islam menjadi memiliki stigma positif.
Kata Kunci: inovasi
kepemimpinan, model pelaksanaan, alasan pelaksanaan
* Penulis: Dosen
STAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo & Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya
A.
Pendahuluan
Dalam kehidupan
di muka bumi ini perubahan tampaknya tidak bisa dihindari lagi. Lebih-lebih
dalam kehidupan di era globalisasi saat ini. Hal ini karena berbagai informasi yang berkembang dan terjadi di
belahan negara mana pun di dunia ini mudah diketahui. Informasi dan pengetahuan
yang diperoleh dari situasi dan kondisi yang mudah diakses ini, menjadi
penyebab masyarakat berfikir. Selanjutnya jika dirasakan cocok untuk ditiru dan
dimiliki maka pada akhirnya mereka melakukan usaha untuk melakukan perubahan.
Sehingga keadaan masa depan yang lebih baik dari yang diinginkan menjadi
terwujud.
Menyikapi semua
ini maka Nur Nasution menyatakan bahwa, perubahan berarti bahwa kita harus
mengubah dalam cara mengerjakan atau berfikir tentang sesuatu. Dengan demikian,
perubahan membuat sesuatu menjadi berbeda. Perubahan merupakan pergeseran dari
keadaan sekarang (suatu organisasi), menuju pada keadaan yang diinginkan di
masa depan. Perubahan tersebut dapat terjadi pada struktur organisasi, proses
mekanisme kerja, sumber daya manusia (SDM) dan budaya,[1]
serta sektor-sektor lain yang ada.
Perubahan yang
serba cepat dalam kehidupan di masyarakat, akibat dari perkembangan ilmu dan
teknologi seperti yang telah disinggung dalam uraian di atas dan berbagai
tuntutan kebutuhan dari berbagai sektor sejatinya sangat berpengaruh terhadap
perkembangan setiap organisasi, termasuk dalam hal ini lembaga pendidikan/sekolah.
Sekolah sebagai sistem terbuka, sistem social dan agen perubahan, bukan hanya
harus peka dalam penyesuaian diri, melainkan seharusnya juga dapat
mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang akan terjadi dalam kurun waktu
tertentu.
Untuk
itu dari uraian di atas sejatinya dapat dipahami bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan itu bisa terjadi karena faktor internal dan eksternal
suatu organisasi. Oleh karenanya, proses perubahan perlu dikelola dengan baik. Ini menuntut semua
elemen yang ada dalam sekolah untuk ikut serta dalam mewujudkan perubahan,
sehingga perubahan menjadi lebih baik bisa terwujud. Hal ini seperti yang dikemukakan Nur Nasution
pula, bahwa “pada dasarnya perubahan memerlukan komitmen bersama”.[2]
Komitmen
bersama untuk melakukan perubahan sesungguhnya sangat penting. Namun demikian
segala sesuatu gerakan yang di arahkan
menuju perubahan dalam suatu lembaga pendidikan/sekolah perlu pula figure
sentral yang mampu menjadi komandan, acuan dan panutan serta penggerak semua
unsur yang ada.
Salah
satu figure yang memiliki kekuatan efektif dalam pengelolaan sekolah yang
berperan dan bertanggung jawab menghadapi perubahan adalah kepala sekolah.
Untuk itu kepala sekolah dituntut agar dapat menjalankan kepemimpinnya dengan
baik. Karena dalam menjalankan kepemimpinannya ia berada dalam lembaga
pendidikan maka esensi kepemimpinan kepala sekolah sejatinya adalah
kepemimpinan pengajaran/pendidikan.
Dalam
suatu sekolah ini maka eksistensi kepala sekolah hendaknya dapat memprakarsai
pemikiran baru untuk melakukan perubahan, baik dalam hal proses interaksi di
lingkungan sekolah, penyesuaian tujuan sasaran, konfigurasi, prosedur, input,
proses atau output dari suatu sekolah sesuai dengan tuntutan perkembangan.
Untuk
itu dalam rangka mewujudkan perubahan di sekolah maka sudah barang tentu kepala
sekolah dituntut agar mampu menjadi seorang pemimpin yang inovatif dan memiliki
kualitas kepemimpinan yang baik. Jika kepala sekolah memiliki kualifikasi
sedemikian rupa yakni daya inovatif yang tinggi dan kualitas kepemimpinan yang
baik tentu akan menjadi kunci keberhasilan sebuah sekolah yang dipimpinnya.
Menurut
Robbins seperti yang dikutib Aan Komariah dan Cepi Triatna menyatakan bahwa
inovasi sebagai suatu gagasan baru yang diterapkan untuk memprakarsai atau
memperbaiki suatu produk, proses dan jasa. Seorang pemimpin inovatif sejatinya
figure yang mampu mengimplementasikan ide-ide baru dengan mengubah konsep
kreatif menjadi suatu kenyataan. Adapun bentuk-bentuk inovasi itu bisa jadi
berupa suatu gagasan, barang, kejadian, teknik/metode, praktik yang diamati,
disadari, dirasakan dan diterima sebagai hal yang baru oleh seseorang atau
kelompok (masyarakat), baik sebagai hasil discovery
maupun penemuan (invention).[3]
Untuk
itu kepala sekolah sebagai inovator dituntut dapat melakukan peran dan
fungsinya sebagai figure yang mampu melakukan perubahan. Dalam posisi seperti
ini maka ia harus memiliki strategi yang tepat untuk menjalin hubungan yang
harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan baru, mengintegrasikan setiap
kegiatan, memberikan keteladanan kepada seluruh tenaga kependidikan di sekolah,
dan mengembangkan model-model pembelajaran yang inovatif. Dengan demikian eksistensi
kepala sekolah yang inovatif seperti dalam uraian di atas sesungguhnya akan
mampu menjadi penggerak terwujudnya perubahan yang efektif.
Hal
ini seperti yang dikemukakan Winardi bahwa, inovasi merupakan suatu proses di
mana organisasi-organisasi memanfaatkan keterampilan-keterampilan dan
sumber-sumber daya mereka untuk mengembangkan barang-barang dan jasa-jasa baru,
atau untuk mengembangkan produk baru dan sistem-sistem pengoperasian baru
hingga lebih baik dan dapat bereaksi memenuhi kebutuhan pelanggan.[4]
Inovasi
kepemimpinan dilakukan oleh kepala sekolah bersama-sama dengan para guru dan
staf sekolah setelah melakukan identifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk
mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Berdasarkan hasil analisis tersebut,
sekolah merumuskan program-program yang mengacu pada visi dan misi sekolah, karena visi-misi sekolah
merupakan target yang akan dicapai dalam satu periode akademik, di mana dalam
pelaksanaannya tercermin dalam bentuk program-program sekolah.
Secara
umum, istilah inovasi sering diterjemahkan sebagai pembaharuan yang selalu
dirangkaikan dengan penemuan (invention)
sehingga pengertian inovasi merupakan penemuan baru akibat adanya perubahan.
Kata “inovasi” dalam khazanah bahasa Indonesia dimaknai sebagai suatu ide,
barang, kejadian metode yang dirasakan atau diamati sebagai sesuatu yang baru
bagi seseorang atau bagi masyarakat luas yang sedang membangun kepentingan
dengan inovasi, baik berupa gagasan, tindakan atau barang-barang baru.[5]
Agar
proses inovasi di sekolah berjalan dengan baik, kepala sekolah perlu dan harus
bertindak sebagai pemimpin (leader)
dan bukan bertindak sebagai Bos. Oleh karena itu, seyogyanya kepemimpinan
kepala sekolah harus menghindari terciptanya pola hubungan dengan guru yang
hanya mengandalkan kekuasaan, dan sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama
fungsional. Kepala sekolah harus menghindarkan diri dari one man show, sebaliknya harus menekankan pada kerja sama
kesejawatan, menghindari terciptanya suasana kerja yang serba menakutkan, dan
sebaliknya perlu menciptakan keadaan yang membuat semua guru percaya diri.
Kepala
sekolah sebagai innovator ini akan tercermin dari cara-cara ia melakukan
pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional,
obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, adaptable dan fleksibel.[6]
Pada
dasarnya, pengelolaan pendidikan atau manajemen sekolah tidak dapat dipisahkan
dari model pelaksanaan kepemimpinan yang dilakukan kepala sekolah. Untuk itu
dalam menjalankan perannya sebagai seorang “leader” maka kepala sekolah
hendaknya menjadi sosok figur yang mampu mempengaruhi orang lain, selain melakukan keputusan inovatif.
Inovasi
harus dimulai dari yang kecil, karena tidak semua inovasi dimulai dengan
ide-ide yang sangat tidak terjangkau oleh kehidupan nyata dalam lingkungan
pendidikan. Dari keinginan yang kecil untuk memperbaiki suatu kondisi atau
suatu kebutuhan hidup nyata, bisa jadi
kelak mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap kehidupan umat
manusia selanjutnya.[7]
Diamati
dari sifatnya, maka inovasi dapat dikategorikan sebagai perubahan yang sedikit
demi sedikit atau sebagian komponen sampai kepada perubahan atau inovasi yang
drastis dan perubahan yang menyeluruh atau total terhadap semua komponen di
dalam sistem yang ada baik fisik maupun non fisik. Hal ini sangat beralasan
karena menurut Gareth R Jones seperti yang dikutip Djoko Hartono mengungkapkan
bahwa, perubahan ini bisa dilakukan dengan cara evolusioner dan atau revolusioner.[8]
Untuk
itu berbagai strategi dan implementasi perubahan dalam rangka melakukan inovasi
harus dilakukan seorang pemimpin pada kurun waktu tertentu. Pemimpin yang
inovatif hendaknya dapat mengembangkan segenap potensi sumber daya yang ada
menuju pada peningkatan mutu proses dan produk yang lebih efektif, efisien dan
relevan.
Upaya
melakukan perubahan guna mewujudkan inovasi dari segala aspeknya seperti di
atas tentu harus tetap menimbulkan kondisi yang lebih baik, sebab tidak semua
perubahan yang terjadi akan menimbulkan kondisi yang lebih baik.
Hal
ini seperti yang dikemukakan Djoko Hartono bahwa, “perubahan yang tidak
direncanakan, spontan, acak tentu akan menimbulkan kondisi yang tidak
diinginkan dan bisa bersifat merusak (destruktif)”.[9]
Sedang
menurut Winardi bahwa, “perubahan hendaknya senantiasa mengandung makna beralih
dari keadaan sebelumnya (the before
condition) belum mapan, tidak baik, tidak berkualitas, memiliki stigma
negatif menjadi berubah kepada keadaan setelahnya (the after condition) yang sebaliknya”.[10]
Untuk
itu kepemimpinan inovatif ini jika dicermati dari penjelasan di atas sejatinya
dalam rangka merubah dan memperbaiki suatu kondisi yang belum mapan, tidak
baik, tidak berkualitas dan memiliki stigma negative menjadi berubah lebih baik
dari sebelumnya.
Penjelasan tentang kepemimpinan inovatif di atas
akan sangat menarik untuk diteliti ketika dihadapkan pada realita empirik pada
kepala sekolah dasar Darul Ulum di Pasuruan. Hal ini karena kepemimpinan mereka
berada di desa kabupaten Pasuruan. Keberadaan sekolah yang berada di luar kota
metropolitan atau di pedesaan lebih-lebih pada sebuah lembaga pendidikan Islam
seringkali distigmakan negative akibat
tidak/kurang inovatifnya akan manajemen kepemimpinan yang dimilikinya.dan notabene
sangat mengedepankan konservatifitas sehingga terkesan tidak/kurang
berkualitas.
Hal ini seperti yang dikemukakan A. Syafi’i bahwa,
“perkembangan pendidikan Islam di Indonesia belum menunjukkan hasil yang
optimal. Dibanding dengan perkembangan jenis pendidikan lainnya, pendidikan
Islam jelas menunjukkan kualitas yang relative lebih rendah.[11] Selanjutnya
menurut Syafi’i factor yang menyebabkan kondisi ini terjadi karena lembaga
pendidikan Islam tersebut tidak dikelola dengan manajemen modern (yang baik),
rendahnya sumberdaya kependidikan yang dimiliki semisal kepala sekolah, guru,
karyawan.[12]
Dari uraian di atas maka penulis menjadi tertarik
meneliti tentang kepemimpinan inovatif yang ada di SD Darul Ulum Pasuruan. Ada beberapa persoalan yang peneliti ajukan dalam
penelitian ini Pertama, Apakah kepala SD Darul Ulum Pasuruan
telah melakukan kepemimpinan inovatif ?; Kedua, Bagaimanakah model
kepemimpinan inovatif yang dilakukan oleh kepala SD Darul Ulum Pasuruan ?; Ketiga,
Mengapa kepemimpinan inovatif dilakukan oleh kepala SD Darul Ulum Pasuruan ?
B.
Pembahasan Hasil Penelitian
Pembahasan ini merupakan implikasi dan interpretasi
dari analisis hasil penelitian yang didukung dengan temuan teoritis maupun
empiris dari penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang
dilakukan. Pembahasan ini dilakukan untuk mengetahui kepala SD Darul Ulum
Pasuruan telah melakukan kepemimpinan inovatif atau tidak, untuk mengetahui
model kepemimpinan inovatif yang dilakukan kepala SD Darul Ulum Pasuruan dan
untuk mengetahui berbagai alasan urgensinya kepemimpinan inovatif dilakukan
oleh kepala SD Darul Ulum Pasuruan.
Untuk mengetahui jawaban dari permasalahan yang diajukan
peneliti di atas maka peneliti sebelumnya melakukan pra-riset dan riset secara
mendalam dengan menggunakan metode interview terstruktur guna mendapatkan
data-data yang diharapkan. Metode sesungguhnya merupakan cara untuk pengumpulan
data atau informasi melalui tatap muka antara pihak penanya (interviewer)
dengan pihak yang ditanya atau penjawab (interviewer).[13]
Wawancara ini efektif dilakukan untuk menjaring data/informasi dari banyak
orang. [14] Wawancara
terstruktur ini disebut juga dengan wawancara terstandar maksudnya adalah wawancara
dengan menggunakan sejumlah pertanyaan yang terstandar secara baku.[15]
Untuk mendapatkan data primer peneliti mengajukan
berbagai pertanyaan kepada kepala sekolah yang ada dan untuk mendapatkan data
sekunder peneliti mengajukan berbagai pertanyaan kepada para guru dan karyawan
SD Darul Ulum Pasuruan. Setelah data terkumpul maka peneliti menganalisisnya
dengan menggunakan pendekatan analisis fungsionalisme dan analisis kritis.
Menurut A. Khozin Afandi, analisis fungsionalisme
ini berguna untuk mengetahui kondisi apa yang dihasilkan oleh tindakan yang
telah dikerjakan selama ini (oleh kepala sekolah).[16]
Maksudnya apakah kepala sekolah selama ini telah mampu menjalankan fungsi
sebagai seorang pemimpin yang mampu
melakukan perubahan dan menghasilkan sesuatu untuk kemajuan sekolah yang
dipimpinnya.
Sedang peneliti menggunakan pendekatan analisis
kritis karena mengacu pada pandangan
Habermas seperti yang dikutib A. Khozin Afandi, kritisisme ditengarahi oleh
kemampuan menjadikan unsur yang sebelumnya tidak disadari menjadi disadari
sehingga mengubah determinisme kesadaran yang salah. Kritik mengemban tugas
menjelaskan komunikasi yang mengalami distorsi. Untuk itu sebelumnya harus
disiapkan rancangan ide agar tidak terjadi komunikasi yang keliru dan
disimpangkan.[17]
Setelah data-data terkumpul dan dilakukan analisis
maka peneliti melakukan penyajian data dan pembahasan sehingga baik secara
teoritik atau empirik (penelitian terdahulu), hasil penelitian ini nanti
dimungkinkan pertama, mendukung teori-teori atau hasil penelitian terdahulu
yang digunakan sebagai acuan dalam penyusunan riset ini; kedua, mengembangkan
teori-teori yang sudah ada atau hasil penelitian terdahulu; ketiga yakni justru
menolak/tidak mendukungnya; keempat, menjadi temuan baru. Untuk itu
pendeskripsian pembahasan ini bisa kita ikuti sebagai berikut.
Pertama,
sekolah
dasar bernuansa Islam yang menjadi objek penelitian ini sejatinya merupakan
sekolah dasar swasta yang berada di sebuah kelurahan kecamatan dalam kota Pasuruan.
Sekolah dasar ini pada mulanya merupakan madrasah ibtidaiyah (MI) yang
menggunakan rumah-rumah penduduk sebagai tempat pembelajaran yang ada. Atas
prakarsa beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat yang mengerti akan
pentingnya arti pendidikan maka pada tahun 1963 berdirilah madrasah ibtida’iyah
ini. Namun demikian sejak tahun 1975 setelah mendapat ijin operasional yang
dikeluarkan oleh dinas pendidikan dan kebudayaan kota Pasuruan maka madrasah
tersebut berubah statusnya menjadi sekolah dasar yang bernuansa Islam.
Selanjutnya pada tahun 2004, setelah dilakukan akreditasi dari dinas pendidikan
kota Pasuruan maka sekolah ini memperoleh status terakreditasi B.
Dalam perkembangan berikutnya sekolah ini terus
mendapat dukungan dan kepercayaan yang besar dari masyarakat. Hal ini terbukti dari semakin meningkatnya animo
masyarakat yang menitipkan putra-putrinya hingga mencapai jumlah 480 anak agar
memperoleh pendidikan di sekolah tersebut.
Selama ini
sekolah tersebut telah mengalami dua kali pergantian kepala sekolah. Walaupun
belum begitu sempurna dan perlu perbaikan-perbaikan tampaknya kepemimpinan di
sekolah ini telah menunjukkan dan memiliki struktur organisasi, sarana
prasarana yang memadahi, cita-cita dan program ke depan dalam rangka
menghasilkan lulusan peserta didiknya yang terbaik. Hal ini dapat diketahui
dari visi, misi dan tujuan yang dibuat dan dimiliki sekolah ini.
1.
Visi
Membentuk
peserta didik yang memiliki imtaq, iptek dan berakhlaq
2.
Misi
a. Melaksanakan
pembelajaran secara efektif sehingga dapat mengembangkan potensi siswa secara
optimal
b. Membantu siswa
mengenali potensi dirinya sehingga berkembang secara optimal
c. Menumbuhkan
semangat kreatif kepada seluruh warga sekolah
d. Meningkatkan
penghayatan dan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari- hari
e. Meningkatkan
manajemen partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan
3.
Tujuan
a.
Dapat
mengamalkan ajaran agama dari hasil proses ajaran agama dan kegiatan
pengembangan diri
b.
Dapat
meraih prestasi akademik dan non akademik yang
memadai
c.
Dapat
menghasilkan peserta didik yang terampil dan mandiri
d.
Dapat
menguasai dasar teknologi serta seni budaya kejenjang yang lebih tinggi
e.
Menjadi
sekolah berwawasan budaya dan lingkungan serta penggerak di masyarakat sekitar
Jika diperhatikan dari pernyataan visi di atas maka
tampaknya yang membuat pernyataan visi belum memahami akan kaidah-kaidah yang
baik dan benar. Hal ini bisa dilihat dari apa yang dikemukakan pakar manajemen
berikut. Menurut Fred R. David bahwa pernyataan visi menjawab pertanyaan “Kita ingin menjadi seperti
apa?” dan visi diperlukan untuk memotivasi kerja secara efektif.[18]
Sementara misi sangat berkaitan dengan visi, memberi
arahan yang jelas baik untuk masa sekarang maupun akan datang serta membuat
visi memperjelas alasan, kenapa sebuah institusi berbeda dari
institusi-institusi yang lain, harus diterjemahkan ke dalam langkah-langkah
penting yang dibutuhkan dalam memanfaatkan peluang yang ada dalam institusi.[19]
Sedang pernyataan misi menjawab pertanyaan “Apa
bisnis kita?”. Dari hasil penelitian yang membandingkan pernyataan misi dari
perusahaan daftar Fortune 500 dengan prestasi baik dan perusahaan dengan
prestasi jelek sampai pada kesimpulan bahwa yang berprestasi baik mempunyai
pernyataan misi yang lebih lengkap ketimbang yang berprestasi rendah.[20]
Untuk itu para pengelola organisasi harus berhati-hati dalam mengembangkan
pernyataan visi dan misinya.
Setelah visi, misi dan nilai-nilai telah ditetapkan,
ketiganya harus diterjemahkan ke dalam tujuan-tujuan yang bisa tercapai. Tujuan
sering diekspresikan sebagai sasaran dan cita-cita, diekspresikan dalam metode
yang terukur sehingga hasil akhirnya dapat dievaluasi dengan menggunakan metode
tersebut. Tujuan harus realistis dan dapat dicapai.[21]
Kedua,
inovasi
yang dilakukan di sekolah yang menjadi objek peneliatian kali ini sejatinya
dilakukan oleh kepala sekolah bersama-sama dengan para guru dan staf sekolah,
setelah melakukan identifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai
tujuan yang diharapkan bersama. Berdasarkan hasil penelitian yang ada, sekolah
merumuskan program-program yang mengacu pada visi dan misi sekolah, karena visi-misi sekolah
merupakan target yang akan dicapai dalam satu periode akademik, di mana dalam
pelaksanaannya tercermin dalam bentuk program-program sekolah.
Dari
hasil observasi dan wawancara, maka diketahui bahwa kepala sekolah telah
melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif,
rasional dan obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, serta adaptable dan
fleksibel.
Hal
ini dapat terbukti dengan adanya guru yang kualifikasi akademiknya masih kurang
memenuhi syarat telah didorong untuk
melanjutkan study ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu kepala sekolah
selalu memiliki gagasan-gagasan baru dengan memadukan setiap kegiatan atau
tindakan berdasarkan pertimbangan rasio dan mampu mendelegasikan tugas kepada
bawahan sesuai dengan tugas dan fungsi serta kemampuan yang dimilikinya.
Kepala
sekolah juga mengedepankan kedisiplinan kerja dengan memberikan keteladanan
dan mampu menyesuaikan diri dalam menghadapi
situasi baru, serta berusaha menciptakan situasi kerja yang menyenangkan dan
memudahkan para tenaga kependidikan untuk beradaptasi dalam melaksanakan
tugasnya.
Berkenaan
dengan hal itu, peneliti telah melakukan wawancara dengan Bapak H. Mdq, S.Pd
selaku kepala sekolah:
Saya selalu mendorong guru-guru yang
belum S1 untuk melanjutkan kuliah, al-hamdulillah sekarang sudah banyak yang S1
dan ada yang masih proses. Selain itu saya juga mengirim guru untuk mengikuti
pelatihan, diklat, workshop & KKG, bahkan saya juga mendelegasikan Ibu S.A,
S.Pd untuk mengikuti diklat MBE yang
selanjutnya beliau dipercaya sebagai fasilitator MBE Jawa Timur. Semua guru dan
karyawan di sini selalu mendukung ide-ide yang saya sampaikan dengan harapan
bisa meningkatkan SDM mereka.[22]
Begitu juga
hasil wawancara dengan Ibu Rdy, S.Pd.I selaku guru PAI. Ia mengatakan bahwa:
Mata pelajaran PAI secara umum diajarkan
di semua SD tetapi di sekolah ini diajarkan juga mata pelajaran Qurdis, Fikih, Aqidah Akhlak dan
bahasa Arab yang dimasukkan ke dalam pelajaran PAI. sehingga sekolah ini sangat
diminati masyarakat karena ada SD yang berciri khas Islami. Kepala Sekolah
memiliki ide-ide yang sangat cemerlang, beliau selalu memberikan keteladanan
dan menunjukan kedisiplinan yang tinggi serta mampu beradaptasi terhadap
hal-hal baru berkaitan dengan peningkatan kualitas sekolah.[23]
Temuan empirik
dalam penelitian ini sesungguhnya mendukung, dan menguatkan dan mengembangkan
teori yang dikemukakan para pakar manajemen di bawah ini.
Hal ini seperti
yang dikemukakan Mulyasa bahwa, “Kepala sekolah sebagai inovator itu akan
tercermin dari cara-cara ia melakukan pekerjaannya yakni konstruktif, kreatif,
delegatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin,
dan adaptable serta fleksibel”. [24]
Winardi
mengemukakan bahwa, “inovasi merupakan suatu proses di mana
organisasi-organisasi memanfaatkan berbagai keterampilan dan sumber daya mereka
untuk mengembangkan barang dan jasa baru, atau untuk mengembangkan produk baru
dan sistem-sistem pengoperasian baru, hingga lebih baik dapat bereaksi terhadap
kebutuhan pelanggan”.[25]
Aunur Rohim
Fakih & Iip Wijayanto mengatakan bahwa, setiap pemimpin tidak akan sanggup
bekerja sendiri tanpa dibantu oleh orang-orang yang berada di struktur yang ada
di bawahnya. Untuk itu mendelegasikan wewenang kepada bawahan akan sangat
membantu terciptanya kepemimpinan efektif.[26]
Hal senada juga
disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa pola kepemimpinan itu mempunyai sifat
mengayomi, identik dengan prinsip-prinsip dalam seni memerintah yaitu: ing
ngarsa sung tuladha (pola panutan), ing
madya mangun karsa (membangkitkan prakarsa), tut wuri handayani (mendorong
bawahan agar maju).[27]
Temuan empirik
dalam penelitian ini sesungguhnya mendukung, menguatkan dan mengembangkan teori
yang dikemukakan para pakar, di antara mereka yakni :
Ahmad Bahruddin
mengatakan bahwa, “kepemimpinan inovatif di SLTP Qaryah Thayyibah ini terletak
pada keberaniannya merealisasikan ide-ide barunya sehingga memunculkan model
sekolah informal. Sekolah ini merupakan bentuk sekolah alternatif yang mampu
memberi terapi terhadap kondisi akut pendidikan nasional selama ini”.[28]
Barbara Cram dan Monica Cennedy (2009) mengemukakan
bahwa,
Agar mampu
mewujudkan hasil pendidikan yang berkualitas maka seorang pemimpin perguruan
tinggi harus memiliki strategi inovatif dengan memberdayakan staf pengajar agar
memiliki daya inovatif dalam pengajarannya dan mampu secara proporsional
menggunakan sumberdaya pendukung yang ada. Jika hal ini mampu dikembangkan oleh
para pengajar dalam proses pembelajaran yang ada maka tentu akan memberikan
kepuasan tersendiri bagi peserta didiknya.[29]
Temuan empirik
dalam penelitian ini sesungguhnya juga menolak teori dan temuan yang
dikemukakan para pakar manajemen pendidikan, di antara mereka yakni:
Djoko Hartono
dalam hal ini mengatakan bahwa,
”Keterpurukan pendidikan saat ini karena umat Islam sendiri, khususnya pembuat
kebijakan masih memandang sebelah mata terhadap pendidikan Islam yang
disebabkan sempitnya pemahaman terhadap pendidikan Islam”.[30] Anshori
LAL, mengatakan bahwa, “kurangnya kepemimpinan yang kualified di
sekolah-sekolah Islam cukup mengejutkan”.[31]
Dengan
ditemukannya secara empirik bahwa kepala sekolah di Pasuruan ini seorang
pemimpin inovatif yang ditunjukkan dengan telah melakukan pekerjaannya secara
konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis,
keteladanan, disiplin, serta adaptable dan fleksibel maka jelas-jelas menolak
temuan dan teori yang dikemukakan Djoko Hartono dan Anshori di atas.
Ketiga,
jika
diamati dari model pelaksanaannya, maka inovasi dapat dikategorikan sebagai
perubahan yang sedikit demi sedikit atau sebagian komponen sampai kepada
perubahan atau inovasi yang drastis dan perubahan yang menyeluruh atau total terhadap semua komponen di dalam sistem yang
ada baik fisik maupun non fisik.
Model
pelaksanaan kepemimpinan inovatif di atas akan lebih baik jika dilaksanakan
melalui program yang terencana dalam artian melalui suatu proses yang tidak
tergesa-gesa, namun dipersiapkankan secara matang dengan program yang jelas.
Berdasarkan
hasil penelitian ini maka ditemukan bahwa perubahan yang terjadi dalam rangka
pelaksanaan kepemimpinan inovatif di sekolah yang menjadi objek penelitian
terjadi secara perlahan (evolusioner) dan menyeluruh atau total (revolusoneri).
Inovasi/perubahan
yang dilakukan secara perlahan (evolusioner) tersebut menyangkut beberapa hal
yakni berupa penambahan mebeler, pengadaan buku dan alat pembelajaran,
administrasi sekolah serta peralatan modern. Sedangkan inovasi/perubahan yang
dilakukan secara menyeluruh atau total (revolusioner) adalah dengan adanya
pembangunan gedung dan RKB (ruang kelas baru).
Hal tersebut
seperti yang dikatakan oleh H. Mdq, S.Pd
bahwa, “pada tahun 2005 sekolah ini
mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk pengadaan mebeler, lalu tahun
2010 sekolah mendapatkan bantuan
lagi untuk pengadaan barang yaitu untuk
pembelian buku dan alat pembelajaran, administrasi sekolah serta software
pembelajaran”.[32]
Sedangkan
menurut N.H, S.Kom karyawan sekolah ini mengatakan bahwa, “perubahan drastis di
sekolah ini terjadi tahun 2006 yaitu bantuan rehab berat pembangunan
gedung dan pada tahun 2007-2009 sekolah
kami mendapatkan DAK untuk pembangunan ruang kelas baru karena setiap tahun
jumlah siswa selalu bertambah“.[33]
Temuan empirik
dalam penelitian ini sesungguhnya mendukung, menguatkan dan mengembangkan teori
yang dikemukakan para pakar manajemen di bawah ini.
Hal ini seperti
yang dikemukakan Gareth R Jones seperti yang dikutib Djoko Hartono bahwa
perubahan ini bisa dilakukan dengan cara evolusioner
dan atau revolusioner.[34]
Perubahan revolusioner bersifat
mendadak, drastis yang mencakup
seluruh organisasi.
Perubahan revolusioner ini mencakup
upaya untuk meningkatkan efektifitas suatu organisasi. Sedangkan perubahan
evolusioner berupaya mencari
cara-cara baru untuk menjadi efektif.[35]
Nanang Fattah
mengemukakan pula bahwa,
Pada era desentralisasi yang merupakan
era perubahan, sejatinya memberikan peluang besar kepada peran pemimpin untuk
mengembangkan nilai-nilai kepemimpinan. Pada era ini berbagai tantangan dan
ancaman datang silih berganti, memerlukan keteguhan sikap dan kecerdasan
menangkap peluang serta merancang masa depan. Oleh karena itu, diperlukan
pemimpin yang sesuai dengan kondisi, yaitu memiliki komitmen kualitas dan
selalu memperbaruinya sesuai dengan tuntutan stakeholders.[36]
Eka Mahmud mengemukakan bahwa, “inovasi harus
dimulai dari yang kecil, karena tidak semua inovasi dimulai dengan ide-ide yang
sangat tidak terjangkau oleh kehidupan nyata dalam lingkungan pendidikan. Dari
keinginan yang kecil untuk memperbaiki suatu kondisi atau suatu kebutuhan hidup
nyata, kelak mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap kehidupan umat
manusia selanjutnya”.[37]
Temuan empirik
dalam penelitian ini sesungguhnya mengembangkan teori yang dikemukakan Anshori
LAL. Ia mengatakan bahwa, “Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber
pada al-Qur’an dan al Hadits sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang
pendidikan”.[38]
Keempat,
pada
sekolah yang menjadi objek penelitian ini berbagai macam inovasi sesungguhnya
telah dilakukan oleh kepala sekolahnya.
Upaya yang dilakukan kepala sekolah dalam rangka menjalankan
kepemimpinan inovatifnya ini sejatinya dalam rangka untuk merubah dan
memperbaiki keadan sekolah yang belum mapan agar menjadi lebih mapan, yang
tidak baik menjadi lebih baik, yang tidak berkualitas menjadi lebih berkualitas
dan merubah stigma negative sekolah bernuansa Islam menjadi memiliki stigma
positif.
Berbagai alasan
tersebut menjadi pijakan kepala sekolah bernuansa Islam di Pasuruan ini
sehingga keberadaan sekolah tersebut menjadi dambaan masyarakat sekitar dan
menjadi diminati untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Hal ini seperti
yang dikatakan H. Mdq, S.Pd bahwa, “alasan untuk melakukan inovasi di sekolah
ini yaitu untuk memperbaiki keadaan baik
fisik maupun non fisik seperti
rehabilitasi gedung, pembangunan RKB, peningkatan kualitas guru, serta
menciptakan lingkungan sekolah yang Islami “.[39]
Selanjutnya H.
Mdq, S.Pd juga mengatakan bahwa, “inovasi yang dilakukan di sekolah ini pada
dasarnya juga di arahkan untuk meningkatkan kualitas, memperbaiki keadaan,
pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan dalam skala besar di arahkan
untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam rangka proaktif untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa”. [40]
Hal senada juga
disampaikan oleh S.Kh, S.Pd.I bahwa:
Kami sangat mendukung inovasi yang
dilakukan oleh kepala sekolah, banyak sekali perubahan di sekolah ini seperti
adanya pembangunan gedung baru, penambahan dan
perbaikan sarana prasarana serta
adanya aturan untuk memakai pakaian
seragam busana muslim baik guru maupun siswa, serta diadakannya pengajian yang
diikuti oleh semua guru dan karyawan setiap malam jum’at legi dengan menghadirkan seorang ustadz.[41]
Temuan secara empirik
dalam penelitian ini sesungguhnya mendukung, menguatkan dan mengembangkan teori
yang dikemukakan para pakar manajemen di bawah ini.
Hal ini seperti
yang dikemukakan Winardi bahwa inovasi atau perubahan hendaknya senantiasa
mengandung makna beralih dari keadaan sebelumnya (the before condition) belum mapan, tidak baik, tidak berkualitas,
memiliki stigma negatif menjadi berubah kepada keadaan setelahnya (the after condition) yang sebaliknya. [42]
Djoko Hartono
mengemukakan bahwa,
Melakukan inovasi atau perubahan dalam
keadaan dan situasi yang penuh dinamika seperti saat ini, apalagi jika telah
mengalami kerusakan, kekacauan (turbulence)
merupakan sebuah keharusan. Untuk itu melakukan upaya perubahan sudah saatnya
tidak boleh ditunda-tunda lagi dan jangan sampai menunggu hingga semuanya
mengalami kemunduran serta kehancuran kemudian baru bergerak, maka percaya atau
tidak kita akan menemui dan merasakan penyesalan[43]
Temuan secara
empirik dalam penelitian ini
sesungguhnya juga menolak teori yang dikemukakan Anshori LAL. Ia
mengatakan bahwa, “masalah yang dihadapi sekolah-sekolah Islam di antaranya
masyarakat mempersepsikannya tidak bisa menjadi baik, kurang dipercaya,
memiliki image negatif”.[44]
Berbagai alasan yang dikemukakan kepala sekolah di Pasuruan ini serta kondisi
sekolah akibat perubahan dan inovasi yang dilakukannya menepis anggapan seperti
yang dikemukakan Anshori di atas.
C. Implikasi
Teoritik
Temuan dalam
penelitian di atas menunjukkan bahwa kepemimpinan inovatif dilakukan kepala
sekolah bernuansa Islam di Pasuruan. Hal itu terbukti kepala sekolah tersebut
melakukan pekerjaannya yang konstruktif, kreatif, delegatif,
integratif, rasional dan obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, dan
adaptable serta fleksibel. Untuk itu temuan penelitian tersebut menjadi berimplikasi yakni:
Pertama, mendukung dan menguatkan teori yang dikemukakan para
pakar manajemen pendidikan yang ada. Di antara mereka adalah sebagai berikut.
Mulyasa mengatakan bahwa, kepala
sekolah sebagai inovator itu akan tercermin dari cara-cara ia melakukan
pekerjaannya yakni konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan
obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, serta adaptable dan fleksibel. [45]
Kedua, mengembangkan teori yang dikemukakan para pakar manajemen
pendidikan yang ada. Di antara mereka adalah sebagai berikut.
Winardi
mengemukakan bahwa, inovasi merupakan suatu proses di mana
organisasi-organisasi memanfaatkan berbagai keterampilan dan sumber daya mereka
untuk mengembangkan barang dan jasa baru, atau untuk mengembangkan produk baru
dan sistem-sistem pengoperasian baru, hingga lebih baik dapat bereaksi terhadap
kebutuhan pelanggan.[46]
Aunur Rohim
Fakih & Iip Wijayanto mengatakan bahwa, “setiap pemimpin tidak akan sanggup
bekerja sendiri tanpa dibantu oleh orang-orang yang berada di struktur yang ada
di bawahnya. Untuk itu mendelegasikan wewenang kepada bawahan akan sangat
membantu terciptanya kepemimpinan efektif”.[47]
Hal senada juga
disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa pola kepemimpinan itu mempunyai sifat
mengayomi, identik dengan prinsip-prinsip dalam seni memerintah yaitu: ing
ngarsa sung tuladha (pola panutan), ing
madya mangun karsa (membangkitkan prakarsa), tut wuri handayani (mendorong
bawahan agar maju).[48]
Ahmad Bahruddin
mengatakan bahwa, Kepemimpinan inovatif
di SLTP Qaryah Thayyibah ini terletak pada keberaniannya merealisasikan ide-ide
barunya sehingga memunculkan model sekolah informal. Sekolah ini merupakan
bentuk sekolah alternatif yang mampu memberi terapi terhadap kondisi akut
pendidikan nasional selama ini.[49]
Barbara Cram dan Monica Cennedy (2009) mengemukakan
bahwa, agar mampu mewujudkan hasil pendidikan yang berkualitas maka seorang
pemimpin perguruan tinggi harus memiliki strategi inovatif dengan memberdayakan
staf pengajar agar memiliki daya inovatif dalam pengajarannya dan mampu secara
proporsional menggunakan sumberdaya pendukung yang ada. Jika hal ini mampu
dikembangkan oleh para pengajar dalam proses pembelajaran yang ada maka tentu
akan memberikan kepuasan tersendiri bagi peserta didiknya.[50]
Ketiga,
temuan
empirik dalam penelitian ini sesungguhnya juga menolak teori dan temuan yang
dikemukakan para pakar manajemen pendidikan. Di antara mereka adalah sebagai
berikut.
Djoko Hartono
Dalam hal ini mengatakan bahwa,
”keterpurukan pendidikan saat ini karena umat Islam sendiri, khususnya pembuat
kebijakan masih memandang sebelah mata terhadap pendidikan Islam yang
disebabkan sempitnya pemahaman terhadap pendidikan Islam”.[51]
Anshori LAL,
mengatakan bahwa, “kurangnya kepemimpinan yang kualified di sekolah-sekolah
Islam cukup mengejutkan”.[52]
Dengan
ditemukannya secara empirik bahwa kepala sekolah di Pasuruan ini seorang
pemimpin inovatif yang ditunjukkan dengan telah melakukan pekerjaannya secara
konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis,
keteladanan, disiplin, serta adaptable dan fleksibel maka jelas-jelas menolak
temuan dan teori yang dikemukakan Djoko Hartono dan Anshori di atas.
Keempat,
temuan di atas juga menjadi temuan baru, hal ini karena temuan penelitian
tentang kepemimpinan inovatif pada
sekolah bernuantsa Islam tampaknya belum ada yang meneliti khususnya di tingkat
sekolah dasar swasta.
Temuan dalam
penelitian di atas juga menunjukkan bahwa model pelaksanaan kepemimpinan
inovatif yang dilakukan kepala sekolah bernuansa Islam di Pasuruan yakni dengan
menggunakan model evolusioner dan atau revolusioner sekaligus. Untuk
itu temuan penelitian tersebut
menjadi berimplikasi yakni:
Pertama, mendukung dan menguatkan teori yang dikemukakan para
pakar manajemen pendidikan yang ada. Di antara mereka adalah sebagai berikut.
Gareth R Jones
seperti yang dikutib Djoko Hartono mengatakan bahwa perubahan ini bisa
dilakukan dengan cara evolusioner dan
atau revolusioner.[53]
Nanang Fattah
mengemukakan pula bahwa, pada era desentralisasi yang merupakan era perubahan,
sejatinya memberikan peluang besar kepada peran pemimpin untuk mengembangkan
nilai-nilai kepemimpinan. Pada era ini berbagai tantangan dan ancaman datang
silih berganti, memerlukan keteguhan sikap dan kecerdasan menangkap peluang
serta merancang masa depan. Oleh karena itu, diperlukan pemimpin yang sesuai
dengan kondisi, yaitu memiliki komitmen kualitas dan selalu memperbaruinya
sesuai dengan tuntutan stakeholders.[54]
Kedua, mengembangkan
teori yang dikemukakan para pakar manajemen pendidikan
yang ada. Di antara mereka adalah sebagai berikut.
Winardi
mengatakan bahwa, perubahan revolusioner
bersifat mendadak, drastis yang mencakup
seluruh organisasi.
Perubahan revolusioner ini mencakup
upaya untuk meningkatkan efektifitas suatu organisasi. Sedangkan
perubahan evolusioner berupaya
mencari cara-cara baru untuk menjadi efektif.[55]
Eka Mahmud
mengemukakan bahwa, inovasi harus dimulai dari yang kecil, karena tidak semua
inovasi dimulai dengan ide-ide yang sangat tidak terjangkau oleh kehidupan
nyata dalam lingkungan pendidikan. Dari keinginan yang kecil untuk memperbaiki
suatu kondisi atau suatu kebutuhan hidup nyata, kelak mempunyai implikasi yang
sangat luas terhadap kehidupan umat manusia selanjutnya.[56]
Anshori LAL
mengatakan bahwa, Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada
al-Qur’an dan al Hadits sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang
pendidikan.[57]
Ketiga,
temuan di atas juga menjadi temuan baru, hal ini karena temuan penelitian tentang
model kepala sekolah bernuansa Islam dalam melakukan kepemimpinan inovatif
dengan menggunakan model
evolusioner dan atau revolusioner sekaligus tampaknya belum ada
yang meneliti khususnya di tingkat sekolah dasar swasta.
Temuan dalam penelitian di atas selanjutnya menunjukkan
bahwa berbagai alasan pelaksanaan kepemimpinan inovatif yang dilakukan kepala
sekolah bernuansa Islam di Pasuruan yakni dalam rangka untuk
merubah dan memperbaiki keadan sekolah yang belum mapan agar menjadi lebih
mapan, yang tidak baik menjadi lebih baik, yang tidak berkualitas menjadi lebih
berkualitas dan merubah stigma negative sekolah bernuansa Islam menjadi
memiliki stigma positif.
Untuk itu temuan
penelitian tersebut menjadi
berimplikasi yakni:
Pertama, mendukung dan menguatkan teori yang dikemukakan pakar
manajemen pendidikan yang ada. Dalam hal ini Winardi
mengatakan bahwa inovasi atau perubahan hendaknya senantiasa mengandung makna
beralih dari keadaan sebelumnya (the
before condition) belum mapan, tidak baik, tidak berkualitas, memiliki
stigma negatif menjadi berubah kepada keadaan setelahnya (the after condition) yang sebaliknya. [58]
Kedua, mengembangkan
teori yang dikemukakan pakar manajemen pendidikan yang
ada. Dalam hal ini Djoko Hartono mengemukakan bahwa,
melakukan inovasi atau perubahan dalam keadaan dan situasi yang penuh dinamika
seperti saat ini, apalagi jika telah mengalami kerusakan, kekacauan (turbulence) merupakan sebuah keharusan.
Untuk itu melakukan upaya perubahan sudah saatnya tidak boleh ditunda-tunda
lagi dan jangan sampai menunggu hingga semuanya mengalami kemunduran serta
kehancuran kemudian baru bergerak, maka percaya atau tidak kita akan menemui
dan merasakan penyesalan.[59]
Ketiga, temuan
secara empirik dalam penelitian ini sesungguhnya juga menolak teori yang
dikemukakan Anshori LAL. Ia mengatakan bahwa, masalah yang dihadapi
sekolah-sekolah Islam di antaranya masyarakat mempersepsikannya tidak bisa
menjadi baik, kurang dipercaya, memiliki image negatif”.[60]
Berbagai alasan yang dikemukakan kepala sekolah di Pasuruan ini serta kondisi
sekolah akibat perubahan dan inovasi yang dilakukannya menepis anggapan seperti
yang dikemukakan Anshori di atas.
Keempat,
temuan di atas juga menjadi temuan baru, hal ini karena temuan penelitian
tentang berbagai alasan pentingnya melakukan kepemimpinan inovatif di sekolah
bernuansa Islam dalam rangka untuk merubah dan memperbaiki keadan sekolah yang
belum mapan agar menjadi lebih mapan, yang tidak baik menjadi lebih baik, yang
tidak berkualitas menjadi lebih berkualitas dan merubah stigma negative sekolah
bernuansa Islam menjadi memiliki stigma positif sekaligus tampaknya belum ada yang meneliti
khususnya di tingkat sekolah dasar swasta.
D. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan dan pembahasan
di atas maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kepemimpinan inovatif dilakukan kepala SD Darul Ulum
Pasuruan. Hal itu terbukti kepala sekolah tersebut melakukan pekerjaannya yang
konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis,
keteladanan, disiplin, dan adaptable serta fleksibel.
2. Model pelaksanaan kepemimpinan inovatif yang dilakukan
kepala SD Darul Ulum Pasuruan yakni dengan menggunakan model evolusioner dan
atau revolusioner sekaligus.
3. Berbagai alasan pelaksanaan kepemimpinan inovatif yang
dilakukan kepala SD Darul Ulum Pasuruan yakni dalam rangka untuk merubah dan
memperbaiki keadaan sekolah yang belum mapan agar menjadi lebih mapan, yang
tidak baik menjadi lebih baik, yang tidak berkualitas menjadi lebih berkualitas
dan merubah stigma negative sekolah bernuansa Islam menjadi memiliki stigma
positif.
[1]
Nur Nasution, Manajemen Perubahan (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010 ), 3.
[2]
Ibid.
[3]
Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary
Leadership Menuju Sekolah Efektif
(Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 20.
[4]
Winardi, Manajemen Perubahan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 9.
[5]
Nur Ali Rahman, El-Hikmah:Jurnal
Kependidikan Dan Keagamaan (Malang:UIN Malang, 2005 Vol.III No.1) ,62.
[6]
Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah
Profesional (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), 118.
[7]
Nur Ali Rahman,El-Hikmah…, 68.
[8]
Djoko Hartono, Pengembangan Manajemen
Pondok Pesantren Di Era Globalisasi, Menyiapkan Pondok Pesantren Go
Internasional (Surabaya: Ponpes
Jagad ‘Alimussirry, 2012), 25.
[9]
Ibid., 26.
[10]
Winardi, Manajemen…, 1.
[11]
A. Syafi’I, “Pengantara Editor”. Dalam,
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Edisi Revisi
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008), vi.
[12]
Ibid., vii.
[13]
Djam’an Satori & Aan Komariah, Metodologi
Penelitian Kualitatif (Bandung:
Alfabeta, 2010), 130.
[14]
Ibid., 134.
[15]
Ibid., 133.
[16]
A. Khozin Afandi, Buku Penunjang Berpikir Teoritis Merancang Proposal
(Surabaya: PPs IAIN Sunan Ampel, 2006), 15.
[17]
Ibid., 196.
[18]
Fred R. David, Manajemen Strategis
Konsep (Jakarta: PT. Prenhallindo, 2002),
83
[19]
Edward Sallis, Manajemen Mutu Terpadu
Pendidikan (Yogyakarta: IRCiSoD, 2010),
216.
[20] Fred R. David, Manajemen…, 82-83.
[21]
Edward Sallis, Manajemen…, 219.
[22]
Mdq, Wawancara, Pasuruan, 20 Juni
2012.
[23]
Rdy, Wawancara, Pasuruan, 20 Juni
2012.
[24]
Mulyasa, Menjadi …, 118.
[25]
Winardi, Manajemen… , 9.
[26]
Aunur Rohim Fakih & Iip Wijayanto, Kepemimpinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2001), 54.
[28] Ahmad.Bahruddin, Pendidikan Alternatif
Qaryah Thayyibah (Yogyakarta: LkiS, 2007).
[30]
Djoko Hartono, Pengembangan Life Skills Dalam Pendidikan Islam: Kajian
Fondasional & Operasional (Surabaya: MQA, 2008), 5.
[31]
Anshori LAL, Transformasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gaung Persada
Press, 2010), 42.
[32]
Mdq, Wawancara, Pasuruan, 20 Juni
2012.
[33]
N.H, Wawancara, Pasuruan, 20 Juni
2012.
[34] Djoko
Hartono, Pengembangan Menejemen…, 25.
[35]
Winardi, Manajemen…, 8.
[36]
Nanang Fattah, Landasan Manajemen
Pendidikan (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), 75.
[38]
Anshori LAL, Transformasi …, 4.
[39]
Mdq, Wawancara, Pasuruan, 20 Juni
2012.
[40]
Mdq, Wawancara, Pasuruan, 20 Juni
2012.
[41]
S.Kh, Wawancara, Pasuruan, 20 Juni
2012.
[42]
Winardi, Manajemen…, 1.
[43]
Djoko Hartono, Pengembangan Manajemen…, ,28.
[44]
Anshori LAL, Transformasi …, 38-39.
[45]
Mulyasa, Menjadi …, 118.
[46]
Winardi, Manajemen… , 9.
[47]
Aunur Rohim Fakih & Iip Wijayanto, Kepemimpinan …, 54.
[49] Ahmad.Bahruddin, Pendidikan ...,
2007).
[51]
Djoko Hartono, Pengembangan Life Skills …, 5.
[52]
Anshori LAL, Transformasi …, 42.
[53]
Djoko Hartono, Pengembangan Menejemen…, 25.
[54]
Nanang Fattah, Landasan Manajemen …,
75.
[55]
Winardi, Manajemen…, 8.
[57]
Anshori LAL, Transformasi …, 4.
[58]
Winardi, Manajemen…, 1.
[59]
Djoko Hartono, Pengembangan Menajemen …, ,28.
[60]
Anshori LAL, Transformasi …, 38-39.
read more