Rabu, 18 Desember 2013

Urgensi Kepemimpinan Inovatif (Studi Kasus Kepala SD DU Pasuruan) Oleh : Dr. KH. Djoko Hartono, S.Ag, M.Ag, M.M.

Abstrak

Riset ini sesungguhnya membahas tentang kepemimpinan inovatif pada institusi pendidikan sekolah dasar yang bernuansa Islam di kota Pasuruan Jawa Timur. Model kepemimpinan inovatif seperti ini tentu sangat dibutuhkan di era penuh perubahan dan tantangan serta persaingan seperti saat ini. Dalam riset ini peneliti berkepentingan selain untuk mengungkap kepemimpinan inovatif yang ada, juga berusaha mengetahui model kepemimpinan inovatif yang dilakukan serta berbagai alasan kepemimpinan inovatif dilakukan oleh kepala sekolah tersebut.
Selanjutnya peneliti melakukan pra-riset dan riset secara mendalam. Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan peneliti menggunakan metode interview terstruktur/ wawancara terstandar maksudnya adalah wawancara dengan menggunakan sejumlah pertanyaan yang terstandar secara baku. Setelah data terkumpul maka peneliti menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan analisis fungsionalisme dan analisis kritis.
Hasil penelitian ini nanti dimungkinkan pertama, mendukung teori-teori atau hasil penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan dalam penyusunan riset ini; kedua, mengembangkan teori-teori yang sudah ada atau hasil penelitian terdahulu; ketiga yakni justru menolak/tidak mendukungnya; keempat, menjadi temuan baru.
Penelitian ini menghasilkan temuan-temuan yakni  kepemimpinan inovatif dilakukan kepala SD Darul Ulum Pasuruan, model pelaksanaan kepemimpinan inovatif yang dilakukan di institusi ini menggunakan model evolusioner dan atau revolusioner sekaligus. Adapun berbagai alasan pelaksanaan kepemimpinan inovatif yang dilakukan kepala sekolah yakni dalam rangka merubah dan memperbaiki keadaan sekolah yang belum mapan agar menjadi lebih mapan, yang tidak baik menjadi lebih baik, yang tidak berkualitas menjadi lebih berkualitas dan merubah stigma negative sekolah bernuansa Islam menjadi memiliki stigma positif.




Kata Kunci: inovasi kepemimpinan, model pelaksanaan, alasan pelaksanaan


* Penulis: Dosen STAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo & Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya
A.    Pendahuluan
Dalam kehidupan di muka bumi ini perubahan tampaknya tidak bisa dihindari lagi. Lebih-lebih dalam kehidupan di era globalisasi saat ini. Hal ini karena berbagai  informasi yang berkembang dan terjadi di belahan negara mana pun di dunia ini mudah diketahui. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari situasi dan kondisi yang mudah diakses ini, menjadi penyebab masyarakat berfikir. Selanjutnya jika dirasakan cocok untuk ditiru dan dimiliki maka pada akhirnya mereka melakukan usaha untuk melakukan perubahan. Sehingga keadaan masa depan yang lebih baik dari yang diinginkan menjadi terwujud.
Menyikapi semua ini maka Nur Nasution menyatakan bahwa, perubahan berarti bahwa kita harus mengubah dalam cara mengerjakan atau berfikir tentang sesuatu. Dengan demikian, perubahan membuat sesuatu menjadi berbeda. Perubahan merupakan pergeseran dari keadaan sekarang (suatu organisasi), menuju pada keadaan yang diinginkan di masa depan. Perubahan tersebut dapat terjadi pada struktur organisasi, proses mekanisme kerja, sumber daya manusia (SDM) dan budaya,[1] serta sektor-sektor lain yang ada.
Perubahan yang serba cepat dalam kehidupan di masyarakat, akibat dari perkembangan ilmu dan teknologi seperti yang telah disinggung dalam uraian di atas dan berbagai tuntutan kebutuhan dari berbagai sektor sejatinya sangat berpengaruh terhadap perkembangan setiap organisasi, termasuk dalam hal ini lembaga pendidikan/sekolah. Sekolah sebagai sistem terbuka, sistem social dan agen perubahan, bukan hanya harus peka dalam penyesuaian diri, melainkan seharusnya juga dapat mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang akan terjadi dalam kurun waktu tertentu.
Untuk itu dari uraian di atas sejatinya dapat dipahami bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan itu bisa terjadi karena faktor internal dan eksternal suatu organisasi. Oleh karenanya, proses perubahan  perlu dikelola dengan baik. Ini menuntut semua elemen yang ada dalam sekolah untuk ikut serta dalam mewujudkan perubahan, sehingga perubahan menjadi lebih baik bisa terwujud. Hal  ini seperti yang dikemukakan Nur Nasution pula, bahwa “pada dasarnya perubahan memerlukan komitmen bersama”.[2]
Komitmen bersama untuk melakukan perubahan sesungguhnya sangat penting. Namun demikian segala sesuatu gerakan  yang di arahkan menuju perubahan dalam suatu lembaga pendidikan/sekolah perlu pula figure sentral yang mampu menjadi komandan, acuan dan panutan serta penggerak semua unsur yang ada.
Salah satu figure yang memiliki kekuatan efektif dalam pengelolaan sekolah yang berperan dan bertanggung jawab menghadapi perubahan adalah kepala sekolah. Untuk itu kepala sekolah dituntut agar dapat menjalankan kepemimpinnya dengan baik. Karena dalam menjalankan kepemimpinannya ia berada dalam lembaga pendidikan maka esensi kepemimpinan kepala sekolah sejatinya adalah kepemimpinan pengajaran/pendidikan.
Dalam suatu sekolah ini maka eksistensi kepala sekolah hendaknya dapat memprakarsai pemikiran baru untuk melakukan perubahan, baik dalam hal proses interaksi di lingkungan sekolah, penyesuaian tujuan sasaran, konfigurasi, prosedur, input, proses atau output dari suatu sekolah sesuai dengan tuntutan perkembangan.
Untuk itu dalam rangka mewujudkan perubahan di sekolah maka sudah barang tentu kepala sekolah dituntut agar mampu menjadi seorang pemimpin yang inovatif dan memiliki kualitas kepemimpinan yang baik. Jika kepala sekolah memiliki kualifikasi sedemikian rupa yakni daya inovatif yang tinggi dan kualitas kepemimpinan yang baik tentu akan menjadi kunci keberhasilan sebuah sekolah yang dipimpinnya.
Menurut Robbins seperti yang dikutib Aan Komariah dan Cepi Triatna menyatakan bahwa inovasi sebagai suatu gagasan baru yang diterapkan untuk memprakarsai atau memperbaiki suatu produk, proses dan jasa. Seorang pemimpin inovatif sejatinya figure yang mampu mengimplementasikan ide-ide baru dengan mengubah konsep kreatif menjadi suatu kenyataan. Adapun bentuk-bentuk inovasi itu bisa jadi berupa suatu gagasan, barang, kejadian, teknik/metode, praktik yang diamati, disadari, dirasakan dan diterima sebagai hal yang baru oleh seseorang atau kelompok (masyarakat), baik sebagai hasil discovery maupun penemuan (invention).[3]
Untuk itu kepala sekolah sebagai inovator dituntut dapat melakukan peran dan fungsinya sebagai figure yang mampu melakukan perubahan. Dalam posisi seperti ini maka ia harus memiliki strategi yang tepat untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan baru, mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan keteladanan kepada seluruh tenaga kependidikan di sekolah, dan mengembangkan model-model pembelajaran yang inovatif. Dengan demikian eksistensi kepala sekolah yang inovatif seperti dalam uraian di atas sesungguhnya akan mampu menjadi penggerak terwujudnya perubahan yang efektif.
Hal ini seperti yang dikemukakan Winardi bahwa, inovasi merupakan suatu proses di mana organisasi-organisasi memanfaatkan keterampilan-keterampilan dan sumber-sumber daya mereka untuk mengembangkan barang-barang dan jasa-jasa baru, atau untuk mengembangkan produk baru dan sistem-sistem pengoperasian baru hingga lebih baik dan dapat bereaksi memenuhi kebutuhan pelanggan.[4]
Inovasi kepemimpinan dilakukan oleh kepala sekolah bersama-sama dengan para guru dan staf sekolah setelah melakukan identifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Berdasarkan hasil analisis tersebut, sekolah merumuskan program-program yang mengacu pada visi  dan misi sekolah, karena visi-misi sekolah merupakan target yang akan dicapai dalam satu periode akademik, di mana dalam pelaksanaannya tercermin dalam bentuk program-program sekolah.
Secara umum, istilah inovasi sering diterjemahkan sebagai pembaharuan yang selalu dirangkaikan dengan penemuan (invention) sehingga pengertian inovasi merupakan penemuan baru akibat adanya perubahan. Kata “inovasi” dalam khazanah bahasa Indonesia dimaknai sebagai suatu ide, barang, kejadian metode yang dirasakan atau diamati sebagai sesuatu yang baru bagi seseorang atau bagi masyarakat luas yang sedang membangun kepentingan dengan inovasi, baik berupa gagasan, tindakan atau barang-barang baru.[5]
Agar proses inovasi di sekolah berjalan dengan baik, kepala sekolah perlu dan harus bertindak sebagai pemimpin (leader) dan bukan bertindak sebagai Bos. Oleh karena itu, seyogyanya kepemimpinan kepala sekolah harus menghindari terciptanya pola hubungan dengan guru yang hanya mengandalkan kekuasaan, dan sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional. Kepala sekolah harus menghindarkan diri dari one man show, sebaliknya harus menekankan pada kerja sama kesejawatan, menghindari terciptanya suasana kerja yang serba menakutkan, dan sebaliknya perlu menciptakan keadaan yang membuat semua guru percaya diri.
Kepala sekolah sebagai innovator ini akan tercermin dari cara-cara ia melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional, obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, adaptable dan fleksibel.[6]
Pada dasarnya, pengelolaan pendidikan atau manajemen sekolah tidak dapat dipisahkan dari model pelaksanaan kepemimpinan yang dilakukan kepala sekolah. Untuk itu dalam menjalankan perannya sebagai seorang “leader” maka kepala sekolah hendaknya menjadi sosok figur yang mampu mempengaruhi orang lain, selain melakukan keputusan inovatif.
Inovasi harus dimulai dari yang kecil, karena tidak semua inovasi dimulai dengan ide-ide yang sangat tidak terjangkau oleh kehidupan nyata dalam lingkungan pendidikan. Dari keinginan yang kecil untuk memperbaiki suatu kondisi atau suatu kebutuhan hidup nyata, bisa jadi  kelak mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap kehidupan umat manusia selanjutnya.[7]
Diamati dari sifatnya, maka inovasi dapat dikategorikan sebagai perubahan yang sedikit demi sedikit atau sebagian komponen sampai kepada perubahan atau inovasi yang drastis dan perubahan yang menyeluruh atau total terhadap semua komponen di dalam sistem yang ada baik fisik maupun non fisik. Hal ini sangat beralasan karena menurut Gareth R Jones seperti yang dikutip Djoko Hartono mengungkapkan bahwa, perubahan ini bisa dilakukan dengan cara evolusioner dan atau revolusioner.[8]
Untuk itu berbagai strategi dan implementasi perubahan dalam rangka melakukan inovasi harus dilakukan seorang pemimpin pada kurun waktu tertentu. Pemimpin yang inovatif hendaknya dapat mengembangkan segenap potensi sumber daya yang ada menuju pada peningkatan mutu proses dan produk yang lebih efektif, efisien dan relevan.
Upaya melakukan perubahan guna mewujudkan inovasi dari segala aspeknya seperti di atas tentu harus tetap menimbulkan kondisi yang lebih baik, sebab tidak semua perubahan yang terjadi akan menimbulkan kondisi yang lebih baik.
Hal ini seperti yang dikemukakan Djoko Hartono bahwa, “perubahan yang tidak direncanakan, spontan, acak tentu akan menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan dan bisa bersifat merusak (destruktif)”.[9]
Sedang menurut Winardi bahwa, “perubahan hendaknya senantiasa mengandung makna beralih dari keadaan sebelumnya (the before condition) belum mapan, tidak baik, tidak berkualitas, memiliki stigma negatif menjadi berubah kepada keadaan setelahnya (the after condition) yang sebaliknya”.[10]
Untuk itu kepemimpinan inovatif ini jika dicermati dari penjelasan di atas sejatinya dalam rangka merubah dan memperbaiki suatu kondisi yang belum mapan, tidak baik, tidak berkualitas dan memiliki stigma negative menjadi berubah lebih baik dari sebelumnya.
Penjelasan tentang kepemimpinan inovatif di atas akan sangat menarik untuk diteliti ketika dihadapkan pada realita empirik pada kepala sekolah dasar Darul Ulum di Pasuruan. Hal ini karena kepemimpinan mereka berada di desa kabupaten Pasuruan. Keberadaan sekolah yang berada di luar kota metropolitan atau di pedesaan lebih-lebih pada sebuah lembaga pendidikan Islam seringkali  distigmakan negative akibat tidak/kurang inovatifnya akan manajemen kepemimpinan yang dimilikinya.dan notabene sangat mengedepankan konservatifitas sehingga terkesan tidak/kurang berkualitas.
Hal ini seperti yang dikemukakan A. Syafi’i bahwa, “perkembangan pendidikan Islam di Indonesia belum menunjukkan hasil yang optimal. Dibanding dengan perkembangan jenis pendidikan lainnya, pendidikan Islam jelas menunjukkan kualitas yang relative lebih rendah.[11] Selanjutnya menurut Syafi’i factor yang menyebabkan kondisi ini terjadi karena lembaga pendidikan Islam tersebut tidak dikelola dengan manajemen modern (yang baik), rendahnya sumberdaya kependidikan yang dimiliki semisal kepala sekolah, guru, karyawan.[12]
Dari uraian di atas maka penulis menjadi tertarik meneliti tentang kepemimpinan inovatif yang ada di SD Darul Ulum Pasuruan. Ada beberapa persoalan yang peneliti ajukan dalam penelitian ini Pertama, Apakah kepala SD Darul Ulum Pasuruan telah melakukan kepemimpinan inovatif ?; Kedua, Bagaimanakah model kepemimpinan inovatif yang dilakukan oleh kepala SD Darul Ulum Pasuruan ?; Ketiga, Mengapa kepemimpinan inovatif dilakukan oleh kepala SD Darul Ulum Pasuruan ?
B.    Pembahasan Hasil Penelitian
Pembahasan ini merupakan implikasi dan interpretasi dari analisis hasil penelitian yang didukung dengan temuan teoritis maupun empiris dari penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. Pembahasan ini dilakukan untuk mengetahui kepala SD Darul Ulum Pasuruan telah melakukan kepemimpinan inovatif atau tidak, untuk mengetahui model kepemimpinan inovatif yang dilakukan kepala SD Darul Ulum Pasuruan dan untuk mengetahui berbagai alasan urgensinya kepemimpinan inovatif dilakukan oleh kepala SD Darul Ulum Pasuruan.
Untuk mengetahui jawaban dari permasalahan yang diajukan peneliti di atas maka peneliti sebelumnya melakukan pra-riset dan riset secara mendalam dengan menggunakan metode interview terstruktur guna mendapatkan data-data yang diharapkan. Metode sesungguhnya merupakan cara untuk pengumpulan data atau informasi melalui tatap muka antara pihak penanya (interviewer) dengan pihak yang ditanya atau penjawab (interviewer).[13] Wawancara ini efektif dilakukan untuk menjaring data/informasi dari banyak orang. [14] Wawancara terstruktur ini disebut juga dengan wawancara terstandar maksudnya adalah wawancara dengan menggunakan sejumlah pertanyaan yang terstandar secara baku.[15]
Untuk mendapatkan data primer peneliti mengajukan berbagai pertanyaan kepada kepala sekolah yang ada dan untuk mendapatkan data sekunder peneliti mengajukan berbagai pertanyaan kepada para guru dan karyawan SD Darul Ulum Pasuruan. Setelah data terkumpul maka peneliti menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan analisis fungsionalisme dan analisis kritis.
Menurut A. Khozin Afandi, analisis fungsionalisme ini berguna untuk mengetahui kondisi apa yang dihasilkan oleh tindakan yang telah dikerjakan selama ini (oleh kepala sekolah).[16] Maksudnya apakah kepala sekolah selama ini telah mampu menjalankan fungsi sebagai seorang pemimpin  yang mampu melakukan perubahan dan menghasilkan sesuatu untuk kemajuan sekolah yang dipimpinnya.
Sedang peneliti menggunakan pendekatan analisis kritis karena mengacu pada  pandangan Habermas seperti yang dikutib A. Khozin Afandi, kritisisme ditengarahi oleh kemampuan menjadikan unsur yang sebelumnya tidak disadari menjadi disadari sehingga mengubah determinisme kesadaran yang salah. Kritik mengemban tugas menjelaskan komunikasi yang mengalami distorsi. Untuk itu sebelumnya harus disiapkan rancangan ide agar tidak terjadi komunikasi yang keliru dan disimpangkan.[17]
Setelah data-data terkumpul dan dilakukan analisis maka peneliti melakukan penyajian data dan pembahasan sehingga baik secara teoritik atau empirik (penelitian terdahulu), hasil penelitian ini nanti dimungkinkan pertama, mendukung teori-teori atau hasil penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan dalam penyusunan riset ini; kedua, mengembangkan teori-teori yang sudah ada atau hasil penelitian terdahulu; ketiga yakni justru menolak/tidak mendukungnya; keempat, menjadi temuan baru. Untuk itu pendeskripsian pembahasan ini bisa kita ikuti sebagai berikut.
Pertama, sekolah dasar bernuansa Islam yang menjadi objek penelitian ini sejatinya merupakan sekolah dasar swasta yang berada di sebuah kelurahan kecamatan dalam kota Pasuruan. Sekolah dasar ini pada mulanya merupakan madrasah ibtidaiyah (MI) yang menggunakan rumah-rumah penduduk sebagai tempat pembelajaran yang ada. Atas prakarsa beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat yang mengerti akan pentingnya arti pendidikan maka pada tahun 1963 berdirilah madrasah ibtida’iyah ini. Namun demikian sejak tahun 1975 setelah mendapat ijin operasional yang dikeluarkan oleh dinas pendidikan dan kebudayaan kota Pasuruan maka madrasah tersebut berubah statusnya menjadi sekolah dasar yang bernuansa Islam. Selanjutnya pada tahun 2004, setelah dilakukan akreditasi dari dinas pendidikan kota Pasuruan maka sekolah ini memperoleh status terakreditasi B.
Dalam perkembangan berikutnya sekolah ini terus mendapat dukungan dan kepercayaan yang besar dari masyarakat. Hal ini  terbukti dari semakin meningkatnya animo masyarakat yang menitipkan putra-putrinya hingga mencapai jumlah 480 anak agar memperoleh pendidikan di sekolah tersebut.
Selama ini sekolah tersebut telah mengalami dua kali pergantian kepala sekolah. Walaupun belum begitu sempurna dan perlu perbaikan-perbaikan tampaknya kepemimpinan di sekolah ini telah menunjukkan dan memiliki struktur organisasi, sarana prasarana yang memadahi, cita-cita dan program ke depan dalam rangka menghasilkan lulusan peserta didiknya yang terbaik. Hal ini dapat diketahui dari visi, misi dan tujuan yang dibuat dan dimiliki sekolah ini.
1.        Visi
Membentuk peserta didik yang memiliki imtaq, iptek dan berakhlaq
2.        Misi
a.       Melaksanakan pembelajaran secara efektif sehingga dapat mengembangkan potensi siswa secara optimal
b.      Membantu siswa mengenali potensi dirinya sehingga berkembang secara optimal
c.       Menumbuhkan semangat kreatif kepada seluruh warga sekolah
d.      Meningkatkan penghayatan dan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari- hari
e.       Meningkatkan manajemen partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan
3.        Tujuan
a.       Dapat mengamalkan ajaran agama dari hasil proses ajaran agama dan kegiatan pengembangan diri
b.      Dapat meraih prestasi akademik dan non akademik yang  memadai
c.       Dapat menghasilkan peserta didik yang terampil dan mandiri
d.      Dapat menguasai dasar teknologi serta seni budaya kejenjang yang lebih tinggi
e.       Menjadi sekolah berwawasan budaya dan lingkungan serta penggerak di masyarakat sekitar

Jika diperhatikan dari pernyataan visi di atas maka tampaknya yang membuat pernyataan visi belum memahami akan kaidah-kaidah yang baik dan benar. Hal ini bisa dilihat dari apa yang dikemukakan pakar manajemen berikut. Menurut Fred R. David bahwa pernyataan visi  menjawab pertanyaan “Kita ingin menjadi seperti apa?” dan visi diperlukan untuk memotivasi kerja secara efektif.[18]
Sementara misi sangat berkaitan dengan visi, memberi arahan yang jelas baik untuk masa sekarang maupun akan datang serta membuat visi memperjelas alasan, kenapa sebuah institusi berbeda dari institusi-institusi yang lain, harus diterjemahkan ke dalam langkah-langkah penting yang dibutuhkan dalam memanfaatkan peluang yang ada dalam institusi.[19]
Sedang pernyataan misi menjawab pertanyaan “Apa bisnis kita?”. Dari hasil penelitian yang membandingkan pernyataan misi dari perusahaan daftar Fortune 500 dengan prestasi baik dan perusahaan dengan prestasi jelek sampai pada kesimpulan bahwa yang berprestasi baik mempunyai pernyataan misi yang lebih lengkap ketimbang yang berprestasi rendah.[20] Untuk itu para pengelola organisasi harus berhati-hati dalam mengembangkan pernyataan visi dan misinya.
Setelah visi, misi dan nilai-nilai telah ditetapkan, ketiganya harus diterjemahkan ke dalam tujuan-tujuan yang bisa tercapai. Tujuan sering diekspresikan sebagai sasaran dan cita-cita, diekspresikan dalam metode yang terukur sehingga hasil akhirnya dapat dievaluasi dengan menggunakan metode tersebut. Tujuan harus realistis dan dapat dicapai.[21]
Kedua, inovasi yang dilakukan di sekolah yang menjadi objek peneliatian kali ini sejatinya dilakukan oleh kepala sekolah bersama-sama dengan para guru dan staf sekolah, setelah melakukan identifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Berdasarkan hasil penelitian yang ada, sekolah merumuskan program-program yang mengacu pada visi  dan misi sekolah, karena visi-misi sekolah merupakan target yang akan dicapai dalam satu periode akademik, di mana dalam pelaksanaannya tercermin dalam bentuk program-program sekolah.
Dari hasil observasi dan wawancara, maka diketahui bahwa kepala sekolah telah melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, serta adaptable dan fleksibel.
Hal ini dapat terbukti dengan adanya guru yang kualifikasi akademiknya masih kurang memenuhi syarat  telah didorong untuk melanjutkan study ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu kepala sekolah selalu memiliki gagasan-gagasan baru dengan memadukan setiap kegiatan atau tindakan berdasarkan pertimbangan rasio dan mampu mendelegasikan tugas kepada bawahan sesuai dengan tugas dan fungsi serta kemampuan yang dimilikinya.
Kepala sekolah juga mengedepankan kedisiplinan kerja dengan memberikan keteladanan dan  mampu menyesuaikan diri dalam menghadapi situasi baru, serta berusaha menciptakan situasi kerja yang menyenangkan dan memudahkan para tenaga kependidikan untuk beradaptasi dalam melaksanakan tugasnya.
Berkenaan dengan hal itu, peneliti telah melakukan wawancara dengan Bapak H. Mdq, S.Pd selaku kepala sekolah:
Saya selalu mendorong guru-guru yang belum S1 untuk melanjutkan kuliah, al-hamdulillah sekarang sudah banyak yang S1 dan ada yang masih proses. Selain itu saya juga mengirim guru untuk mengikuti pelatihan, diklat, workshop & KKG, bahkan saya juga mendelegasikan Ibu S.A, S.Pd  untuk mengikuti diklat MBE yang selanjutnya beliau dipercaya sebagai fasilitator MBE Jawa Timur. Semua guru dan karyawan di sini selalu mendukung ide-ide yang saya sampaikan dengan harapan bisa meningkatkan SDM mereka.[22]

Begitu juga hasil wawancara dengan Ibu Rdy, S.Pd.I selaku guru PAI. Ia mengatakan bahwa:
Mata pelajaran PAI secara umum diajarkan di semua SD tetapi di sekolah ini diajarkan juga mata  pelajaran Qurdis, Fikih, Aqidah Akhlak dan bahasa Arab yang dimasukkan ke dalam pelajaran PAI. sehingga sekolah ini sangat diminati masyarakat karena ada SD yang berciri khas Islami. Kepala Sekolah memiliki ide-ide yang sangat cemerlang, beliau selalu memberikan keteladanan dan menunjukan kedisiplinan yang tinggi serta mampu beradaptasi terhadap hal-hal baru berkaitan dengan peningkatan kualitas sekolah.[23]

Temuan empirik dalam penelitian ini sesungguhnya mendukung, dan menguatkan dan mengembangkan teori yang dikemukakan para pakar manajemen di bawah ini.
Hal ini seperti yang dikemukakan Mulyasa bahwa, “Kepala sekolah sebagai inovator itu akan tercermin dari cara-cara ia melakukan pekerjaannya yakni konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, dan adaptable serta fleksibel”. [24]
Winardi mengemukakan bahwa, “inovasi merupakan suatu proses di mana organisasi-organisasi memanfaatkan berbagai keterampilan dan sumber daya mereka untuk mengembangkan barang dan jasa baru, atau untuk mengembangkan produk baru dan sistem-sistem pengoperasian baru, hingga lebih baik dapat bereaksi terhadap kebutuhan pelanggan”.[25]
Aunur Rohim Fakih & Iip Wijayanto mengatakan bahwa, setiap pemimpin tidak akan sanggup bekerja sendiri tanpa dibantu oleh orang-orang yang berada di struktur yang ada di bawahnya. Untuk itu mendelegasikan wewenang kepada bawahan akan sangat membantu terciptanya kepemimpinan efektif.[26]
Hal senada juga disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa pola kepemimpinan itu mempunyai sifat mengayomi, identik dengan prinsip-prinsip dalam seni memerintah yaitu: ing ngarsa sung tuladha (pola panutan),  ing madya mangun karsa (membangkitkan prakarsa), tut wuri handayani (mendorong bawahan agar maju).[27]
Temuan empirik dalam penelitian ini sesungguhnya mendukung, menguatkan dan mengembangkan teori yang dikemukakan para pakar, di antara mereka yakni :
Ahmad Bahruddin mengatakan bahwa, “kepemimpinan inovatif di SLTP Qaryah Thayyibah ini terletak pada keberaniannya merealisasikan ide-ide barunya sehingga memunculkan model sekolah informal. Sekolah ini merupakan bentuk sekolah alternatif yang mampu memberi terapi terhadap kondisi akut pendidikan nasional selama ini”.[28]
Barbara Cram dan Monica Cennedy (2009) mengemukakan bahwa,
Agar mampu mewujudkan hasil pendidikan yang berkualitas maka seorang pemimpin perguruan tinggi harus memiliki strategi inovatif dengan memberdayakan staf pengajar agar memiliki daya inovatif dalam pengajarannya dan mampu secara proporsional menggunakan sumberdaya pendukung yang ada. Jika hal ini mampu dikembangkan oleh para pengajar dalam proses pembelajaran yang ada maka tentu akan memberikan kepuasan tersendiri bagi peserta didiknya.[29]

Temuan empirik dalam penelitian ini sesungguhnya juga menolak teori dan temuan yang dikemukakan para pakar manajemen pendidikan, di antara mereka yakni:
Djoko Hartono dalam hal ini mengatakan bahwa, ”Keterpurukan pendidikan saat ini karena umat Islam sendiri, khususnya pembuat kebijakan masih memandang sebelah mata terhadap pendidikan Islam yang disebabkan sempitnya pemahaman terhadap pendidikan Islam”.[30] Anshori LAL, mengatakan bahwa, “kurangnya kepemimpinan yang kualified di sekolah-sekolah Islam cukup mengejutkan”.[31]
Dengan ditemukannya secara empirik bahwa kepala sekolah di Pasuruan ini seorang pemimpin inovatif yang ditunjukkan dengan telah melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, serta adaptable dan fleksibel maka jelas-jelas menolak temuan dan teori yang dikemukakan Djoko Hartono dan Anshori di atas.
Ketiga, jika diamati dari model pelaksanaannya, maka inovasi dapat dikategorikan sebagai perubahan yang sedikit demi sedikit atau sebagian komponen sampai kepada perubahan atau inovasi yang drastis dan perubahan yang menyeluruh atau total  terhadap semua komponen di dalam sistem yang ada baik fisik maupun non fisik.
Model pelaksanaan kepemimpinan inovatif di atas akan lebih baik jika dilaksanakan melalui program yang terencana dalam artian melalui suatu proses yang tidak tergesa-gesa, namun dipersiapkankan secara matang dengan program yang jelas.
Berdasarkan hasil penelitian ini maka ditemukan bahwa perubahan yang terjadi dalam rangka pelaksanaan kepemimpinan inovatif di sekolah yang menjadi objek penelitian terjadi secara perlahan (evolusioner) dan menyeluruh atau total (revolusoneri).
Inovasi/perubahan yang dilakukan secara perlahan (evolusioner) tersebut menyangkut beberapa hal yakni berupa penambahan mebeler, pengadaan buku dan alat pembelajaran, administrasi sekolah serta peralatan modern. Sedangkan inovasi/perubahan yang dilakukan secara menyeluruh atau total (revolusioner) adalah dengan adanya pembangunan gedung dan RKB (ruang kelas baru).
Hal tersebut seperti yang dikatakan  oleh H. Mdq, S.Pd bahwa, “pada tahun 2005 sekolah ini  mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk pengadaan mebeler, lalu tahun 2010 sekolah  mendapatkan bantuan lagi  untuk pengadaan barang yaitu untuk pembelian buku dan alat pembelajaran, administrasi sekolah serta software pembelajaran”.[32]
Sedangkan menurut N.H, S.Kom karyawan sekolah ini mengatakan bahwa, “perubahan drastis di sekolah ini terjadi tahun 2006 yaitu bantuan rehab berat pembangunan gedung  dan pada tahun 2007-2009 sekolah kami mendapatkan DAK untuk pembangunan ruang kelas baru karena setiap tahun jumlah siswa selalu bertambah“.[33]
Temuan empirik dalam penelitian ini sesungguhnya mendukung, menguatkan dan mengembangkan teori yang dikemukakan para pakar manajemen di bawah ini.
Hal ini seperti yang dikemukakan Gareth R Jones seperti yang dikutib Djoko Hartono bahwa perubahan ini bisa dilakukan dengan cara evolusioner dan atau revolusioner.[34] Perubahan revolusioner bersifat mendadak, drastis yang mencakup  seluruh  organisasi. Perubahan  revolusioner ini mencakup  upaya untuk meningkatkan efektifitas suatu organisasi. Sedangkan perubahan evolusioner berupaya mencari cara-cara baru untuk menjadi efektif.[35]
Nanang Fattah mengemukakan pula bahwa,
Pada era desentralisasi yang merupakan era perubahan, sejatinya memberikan peluang besar kepada peran pemimpin untuk mengembangkan nilai-nilai kepemimpinan. Pada era ini berbagai tantangan dan ancaman datang silih berganti, memerlukan keteguhan sikap dan kecerdasan menangkap peluang serta merancang masa depan. Oleh karena itu, diperlukan pemimpin yang sesuai dengan kondisi, yaitu memiliki komitmen kualitas dan selalu memperbaruinya sesuai dengan tuntutan stakeholders.[36]

Eka Mahmud mengemukakan bahwa, “inovasi harus dimulai dari yang kecil, karena tidak semua inovasi dimulai dengan ide-ide yang sangat tidak terjangkau oleh kehidupan nyata dalam lingkungan pendidikan. Dari keinginan yang kecil untuk memperbaiki suatu kondisi atau suatu kebutuhan hidup nyata, kelak mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap kehidupan umat manusia selanjutnya”.[37]
Temuan empirik dalam penelitian ini sesungguhnya mengembangkan teori yang dikemukakan Anshori LAL. Ia mengatakan bahwa, “Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al-Qur’an dan al Hadits sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan”.[38]
Keempat, pada sekolah yang menjadi objek penelitian ini berbagai macam inovasi sesungguhnya telah dilakukan oleh kepala sekolahnya.  Upaya yang dilakukan kepala sekolah dalam rangka menjalankan kepemimpinan inovatifnya ini sejatinya dalam rangka untuk merubah dan memperbaiki keadan sekolah yang belum mapan agar menjadi lebih mapan, yang tidak baik menjadi lebih baik, yang tidak berkualitas menjadi lebih berkualitas dan merubah stigma negative sekolah bernuansa Islam menjadi memiliki stigma positif.
Berbagai alasan tersebut menjadi pijakan kepala sekolah bernuansa Islam di Pasuruan ini sehingga keberadaan sekolah tersebut menjadi dambaan masyarakat sekitar dan menjadi diminati untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Hal ini seperti yang dikatakan H. Mdq, S.Pd bahwa, “alasan untuk melakukan inovasi di sekolah ini yaitu  untuk memperbaiki keadaan baik fisik maupun  non fisik seperti rehabilitasi gedung, pembangunan RKB, peningkatan kualitas guru, serta menciptakan lingkungan sekolah yang Islami “.[39]
Selanjutnya H. Mdq, S.Pd juga mengatakan bahwa, “inovasi yang dilakukan di sekolah ini pada dasarnya juga di arahkan untuk meningkatkan kualitas, memperbaiki keadaan, pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan dalam skala besar di arahkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam rangka proaktif untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”. [40]
Hal senada juga disampaikan oleh S.Kh, S.Pd.I bahwa:
Kami sangat mendukung inovasi yang dilakukan oleh kepala sekolah, banyak sekali perubahan di sekolah ini seperti adanya pembangunan gedung baru, penambahan dan  perbaikan  sarana prasarana serta adanya aturan  untuk memakai pakaian seragam busana muslim baik guru maupun siswa, serta diadakannya pengajian yang diikuti oleh semua guru dan karyawan setiap malam jum’at legi dengan menghadirkan  seorang ustadz.[41]

Temuan secara empirik dalam penelitian ini sesungguhnya mendukung, menguatkan dan mengembangkan teori yang dikemukakan para pakar manajemen di bawah ini.
Hal ini seperti yang dikemukakan Winardi bahwa inovasi atau perubahan hendaknya senantiasa mengandung makna beralih dari keadaan sebelumnya (the before condition) belum mapan, tidak baik, tidak berkualitas, memiliki stigma negatif menjadi berubah kepada keadaan setelahnya (the after condition) yang sebaliknya. [42]
Djoko Hartono mengemukakan bahwa,
Melakukan inovasi atau perubahan dalam keadaan dan situasi yang penuh dinamika seperti saat ini, apalagi jika telah mengalami kerusakan, kekacauan (turbulence) merupakan sebuah keharusan. Untuk itu melakukan upaya perubahan sudah saatnya tidak boleh ditunda-tunda lagi dan jangan sampai menunggu hingga semuanya mengalami kemunduran serta kehancuran kemudian baru bergerak, maka percaya atau tidak kita akan menemui dan merasakan penyesalan[43]

Temuan secara empirik dalam penelitian ini    sesungguhnya juga menolak teori yang dikemukakan Anshori LAL. Ia mengatakan bahwa, “masalah yang dihadapi sekolah-sekolah Islam di antaranya masyarakat mempersepsikannya tidak bisa menjadi baik, kurang dipercaya, memiliki image negatif”.[44] Berbagai alasan yang dikemukakan kepala sekolah di Pasuruan ini serta kondisi sekolah akibat perubahan dan inovasi yang dilakukannya menepis anggapan seperti yang dikemukakan Anshori di atas. 
C.    Implikasi Teoritik
Temuan dalam penelitian di atas menunjukkan bahwa kepemimpinan inovatif dilakukan kepala sekolah bernuansa Islam di Pasuruan. Hal itu terbukti kepala sekolah tersebut melakukan pekerjaannya yang konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, dan adaptable serta fleksibel. Untuk itu temuan penelitian tersebut menjadi berimplikasi yakni:
Pertama, mendukung dan menguatkan teori yang dikemukakan para pakar manajemen pendidikan yang ada. Di antara mereka adalah sebagai berikut.
Mulyasa mengatakan bahwa, kepala sekolah sebagai inovator itu akan tercermin dari cara-cara ia melakukan pekerjaannya yakni konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, serta adaptable dan fleksibel. [45]
Kedua, mengembangkan teori yang dikemukakan para pakar manajemen pendidikan yang ada. Di antara mereka adalah sebagai berikut.
Winardi mengemukakan bahwa, inovasi merupakan suatu proses di mana organisasi-organisasi memanfaatkan berbagai keterampilan dan sumber daya mereka untuk mengembangkan barang dan jasa baru, atau untuk mengembangkan produk baru dan sistem-sistem pengoperasian baru, hingga lebih baik dapat bereaksi terhadap kebutuhan pelanggan.[46]
Aunur Rohim Fakih & Iip Wijayanto mengatakan bahwa, “setiap pemimpin tidak akan sanggup bekerja sendiri tanpa dibantu oleh orang-orang yang berada di struktur yang ada di bawahnya. Untuk itu mendelegasikan wewenang kepada bawahan akan sangat membantu terciptanya kepemimpinan efektif”.[47]
Hal senada juga disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa pola kepemimpinan itu mempunyai sifat mengayomi, identik dengan prinsip-prinsip dalam seni memerintah yaitu: ing ngarsa sung tuladha (pola panutan),  ing madya mangun karsa (membangkitkan prakarsa), tut wuri handayani (mendorong bawahan agar maju).[48]
Ahmad Bahruddin mengatakan bahwa,  Kepemimpinan inovatif di SLTP Qaryah Thayyibah ini terletak pada keberaniannya merealisasikan ide-ide barunya sehingga memunculkan model sekolah informal. Sekolah ini merupakan bentuk sekolah alternatif yang mampu memberi terapi terhadap kondisi akut pendidikan nasional selama ini.[49]
Barbara Cram dan Monica Cennedy (2009) mengemukakan bahwa, agar mampu mewujudkan hasil pendidikan yang berkualitas maka seorang pemimpin perguruan tinggi harus memiliki strategi inovatif dengan memberdayakan staf pengajar agar memiliki daya inovatif dalam pengajarannya dan mampu secara proporsional menggunakan sumberdaya pendukung yang ada. Jika hal ini mampu dikembangkan oleh para pengajar dalam proses pembelajaran yang ada maka tentu akan memberikan kepuasan tersendiri bagi peserta didiknya.[50]
Ketiga, temuan empirik dalam penelitian ini sesungguhnya juga menolak teori dan temuan yang dikemukakan para pakar manajemen pendidikan. Di antara mereka adalah sebagai berikut.
Djoko Hartono Dalam hal ini mengatakan bahwa, ”keterpurukan pendidikan saat ini karena umat Islam sendiri, khususnya pembuat kebijakan masih memandang sebelah mata terhadap pendidikan Islam yang disebabkan sempitnya pemahaman terhadap pendidikan Islam”.[51]
Anshori LAL, mengatakan bahwa, “kurangnya kepemimpinan yang kualified di sekolah-sekolah Islam cukup mengejutkan”.[52]
Dengan ditemukannya secara empirik bahwa kepala sekolah di Pasuruan ini seorang pemimpin inovatif yang ditunjukkan dengan telah melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, serta adaptable dan fleksibel maka jelas-jelas menolak temuan dan teori yang dikemukakan Djoko Hartono dan Anshori di atas.
Keempat, temuan di atas juga menjadi temuan baru, hal ini karena temuan penelitian tentang kepemimpinan  inovatif pada sekolah bernuantsa Islam tampaknya belum ada yang meneliti khususnya di tingkat sekolah dasar swasta.
Temuan dalam penelitian di atas juga menunjukkan bahwa model pelaksanaan kepemimpinan inovatif yang dilakukan kepala sekolah bernuansa Islam di Pasuruan yakni dengan menggunakan model evolusioner dan atau revolusioner sekaligus. Untuk itu temuan penelitian tersebut menjadi berimplikasi yakni:
Pertama, mendukung dan menguatkan teori yang dikemukakan para pakar manajemen pendidikan yang ada. Di antara mereka adalah sebagai berikut.
Gareth R Jones seperti yang dikutib Djoko Hartono mengatakan bahwa perubahan ini bisa dilakukan dengan cara evolusioner dan atau revolusioner.[53]
Nanang Fattah mengemukakan pula bahwa, pada era desentralisasi yang merupakan era perubahan, sejatinya memberikan peluang besar kepada peran pemimpin untuk mengembangkan nilai-nilai kepemimpinan. Pada era ini berbagai tantangan dan ancaman datang silih berganti, memerlukan keteguhan sikap dan kecerdasan menangkap peluang serta merancang masa depan. Oleh karena itu, diperlukan pemimpin yang sesuai dengan kondisi, yaitu memiliki komitmen kualitas dan selalu memperbaruinya sesuai dengan tuntutan stakeholders.[54]
Kedua, mengembangkan teori yang dikemukakan para pakar manajemen pendidikan yang ada. Di antara mereka adalah sebagai berikut.
Winardi mengatakan bahwa, perubahan revolusioner bersifat mendadak, drastis yang mencakup  seluruh  organisasi. Perubahan  revolusioner ini mencakup  upaya untuk meningkatkan efektifitas suatu organisasi. Sedangkan perubahan evolusioner berupaya mencari cara-cara baru untuk menjadi efektif.[55]
Eka Mahmud mengemukakan bahwa, inovasi harus dimulai dari yang kecil, karena tidak semua inovasi dimulai dengan ide-ide yang sangat tidak terjangkau oleh kehidupan nyata dalam lingkungan pendidikan. Dari keinginan yang kecil untuk memperbaiki suatu kondisi atau suatu kebutuhan hidup nyata, kelak mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap kehidupan umat manusia selanjutnya.[56]
Anshori LAL mengatakan bahwa, Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al-Qur’an dan al Hadits sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan.[57]
Ketiga, temuan di atas juga menjadi temuan baru, hal ini karena temuan penelitian tentang model kepala sekolah bernuansa Islam dalam melakukan kepemimpinan inovatif dengan menggunakan model evolusioner dan atau revolusioner sekaligus tampaknya belum ada yang meneliti khususnya di tingkat sekolah dasar swasta.
Temuan dalam penelitian di atas selanjutnya menunjukkan bahwa berbagai alasan pelaksanaan kepemimpinan inovatif yang dilakukan kepala sekolah bernuansa Islam di Pasuruan yakni dalam rangka untuk merubah dan memperbaiki keadan sekolah yang belum mapan agar menjadi lebih mapan, yang tidak baik menjadi lebih baik, yang tidak berkualitas menjadi lebih berkualitas dan merubah stigma negative sekolah bernuansa Islam menjadi memiliki stigma positif.
Untuk itu temuan penelitian tersebut menjadi berimplikasi yakni:
Pertama, mendukung dan menguatkan teori yang dikemukakan pakar manajemen pendidikan yang ada. Dalam hal ini Winardi mengatakan bahwa inovasi atau perubahan hendaknya senantiasa mengandung makna beralih dari keadaan sebelumnya (the before condition) belum mapan, tidak baik, tidak berkualitas, memiliki stigma negatif menjadi berubah kepada keadaan setelahnya (the after condition) yang sebaliknya. [58]
Kedua, mengembangkan teori yang dikemukakan pakar manajemen pendidikan yang ada. Dalam hal ini Djoko Hartono mengemukakan bahwa, melakukan inovasi atau perubahan dalam keadaan dan situasi yang penuh dinamika seperti saat ini, apalagi jika telah mengalami kerusakan, kekacauan (turbulence) merupakan sebuah keharusan. Untuk itu melakukan upaya perubahan sudah saatnya tidak boleh ditunda-tunda lagi dan jangan sampai menunggu hingga semuanya mengalami kemunduran serta kehancuran kemudian baru bergerak, maka percaya atau tidak kita akan menemui dan merasakan penyesalan.[59]
Ketiga, temuan secara empirik dalam penelitian ini sesungguhnya juga menolak teori yang dikemukakan Anshori LAL. Ia mengatakan bahwa, masalah yang dihadapi sekolah-sekolah Islam di antaranya masyarakat mempersepsikannya tidak bisa menjadi baik, kurang dipercaya, memiliki image negatif”.[60] Berbagai alasan yang dikemukakan kepala sekolah di Pasuruan ini serta kondisi sekolah akibat perubahan dan inovasi yang dilakukannya menepis anggapan seperti yang dikemukakan Anshori di atas.
Keempat, temuan di atas juga menjadi temuan baru, hal ini karena temuan penelitian tentang berbagai alasan pentingnya melakukan kepemimpinan inovatif di sekolah bernuansa Islam dalam rangka untuk merubah dan memperbaiki keadan sekolah yang belum mapan agar menjadi lebih mapan, yang tidak baik menjadi lebih baik, yang tidak berkualitas menjadi lebih berkualitas dan merubah stigma negative sekolah bernuansa Islam menjadi memiliki stigma positif sekaligus tampaknya belum ada yang meneliti khususnya di tingkat sekolah dasar swasta.
D.    Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan dan pembahasan di atas maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Kepemimpinan inovatif dilakukan kepala SD Darul Ulum Pasuruan. Hal itu terbukti kepala sekolah tersebut melakukan pekerjaannya yang konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, dan adaptable serta fleksibel.
2.      Model pelaksanaan kepemimpinan inovatif yang dilakukan kepala SD Darul Ulum Pasuruan yakni dengan menggunakan model evolusioner dan atau revolusioner sekaligus.
3.      Berbagai alasan pelaksanaan kepemimpinan inovatif yang dilakukan kepala SD Darul Ulum Pasuruan yakni dalam rangka untuk merubah dan memperbaiki keadaan sekolah yang belum mapan agar menjadi lebih mapan, yang tidak baik menjadi lebih baik, yang tidak berkualitas menjadi lebih berkualitas dan merubah stigma negative sekolah bernuansa Islam menjadi memiliki stigma positif.




[1] Nur Nasution, Manajemen Perubahan (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010 ), 3.
[2] Ibid.
[3] Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif  (Jakarta: Bumi Aksara, 2005),  20.
[4] Winardi, Manajemen Perubahan  (Jakarta: Kencana  Prenada Media Group, 2010), 9.
[5] Nur Ali Rahman, El-Hikmah:Jurnal Kependidikan Dan Keagamaan (Malang:UIN Malang, 2005 Vol.III No.1) ,62.

[6] Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 118.
[7] Nur Ali Rahman,El-Hikmah…, 68.
[8] Djoko Hartono, Pengembangan Manajemen Pondok Pesantren Di Era Globalisasi, Menyiapkan Pondok Pesantren Go Internasional  (Surabaya: Ponpes Jagad ‘Alimussirry, 2012), 25.
[9] Ibid., 26.
[10] Winardi, Manajemen…, 1.
[11] A. Syafi’I, “Pengantara Editor”. Dalam,  Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), vi.
[12] Ibid., vii.
[13] Djam’an Satori & Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif  (Bandung: Alfabeta, 2010), 130.
[14] Ibid., 134.
[15] Ibid., 133.
[16] A. Khozin Afandi, Buku Penunjang Berpikir Teoritis Merancang Proposal (Surabaya: PPs IAIN Sunan Ampel, 2006), 15.
[17] Ibid., 196.
[18] Fred R. David, Manajemen Strategis Konsep (Jakarta: PT. Prenhallindo, 2002),  83
[19] Edward Sallis, Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan (Yogyakarta: IRCiSoD, 2010), 216.
[20] Fred R. David, Manajemen…,  82-83.
[21] Edward Sallis, Manajemen…, 219.
[22] Mdq, Wawancara, Pasuruan, 20 Juni 2012.
[23] Rdy, Wawancara, Pasuruan, 20 Juni 2012.
[24] Mulyasa, Menjadi …, 118.
[25] Winardi, Manajemen… , 9.
[26] Aunur Rohim Fakih & Iip Wijayanto,  Kepemimpinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2001), 54.
3 Inu Kencana Syafi’ie, Manajemen Pemerintahan (Jakarta: PT. Perca, 2008), 76.
[28] Ahmad.Bahruddin, Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah (Yogyakarta: LkiS, 2007).
[30] Djoko Hartono, Pengembangan Life Skills Dalam Pendidikan Islam: Kajian Fondasional & Operasional (Surabaya: MQA, 2008), 5.
[31] Anshori LAL, Transformasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), 42.
[32] Mdq, Wawancara, Pasuruan, 20 Juni 2012.
[33] N.H, Wawancara, Pasuruan, 20 Juni 2012.
[34] Djoko Hartono, Pengembangan Menejemen…, 25.
[35] Winardi, Manajemen…, 8.
[36] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), 75.
[38] Anshori LAL, Transformasi …, 4.
[39] Mdq, Wawancara, Pasuruan, 20 Juni 2012.
[40] Mdq, Wawancara, Pasuruan, 20 Juni 2012.
[41] S.Kh, Wawancara, Pasuruan, 20 Juni 2012.
[42] Winardi, Manajemen…, 1.
[43] Djoko Hartono, Pengembangan Manajemen…, ,28.
[44] Anshori LAL, Transformasi …, 38-39.
[45] Mulyasa, Menjadi …, 118.
[46] Winardi, Manajemen… , 9.
[47] Aunur Rohim Fakih & Iip Wijayanto,  Kepemimpinan …, 54.
3 Inu Kencana Syafi’ie, Manajemen …, 76.
[49] Ahmad.Bahruddin, Pendidikan ..., 2007).
[51] Djoko Hartono, Pengembangan Life Skills …, 5.
[52] Anshori LAL, Transformasi …, 42.
[53] Djoko Hartono, Pengembangan Menejemen…, 25.
[54] Nanang Fattah, Landasan Manajemen …, 75.
[55] Winardi, Manajemen…, 8.
[57] Anshori LAL, Transformasi …, 4.
[58] Winardi, Manajemen…, 1.
[59] Djoko Hartono, Pengembangan Menajemen …, ,28.
[60] Anshori LAL, Transformasi …, 38-39.

read more