Rabu, 17 September 2014

Spiritualis Sebagai Aset Baru di Tubuh Organisasi Sukses Oleh: Dr. Djoko Hartono, S.Ag, M.Ag, M.M

Abstraksi

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain. Di samping bentuk fisiknya yang indah, ketinggian derajatnya dikarenakan ia beri akal fikiran serta kesadaran akan dirinya hingga mampu memberdayakan potensi fitrahnya sebagai manusia yang beriman dan beramal saleh. Kondisi semacam ini mengangkat dirinya memiliki predikat sebagai Abdullah dan sekaligus Khalifah Allah.
Kesempurnaannya sebagai manusia nan ideal ini dikarenakan sebagai insan yang beriman hatinya senanti dekat dan hadir di hapan Allah sedang di sisi lain ia tetap melaksanakan tugas mengelola, melestarikan alam dan menjalin interaksi dengan sesama manusia. Ia menjadi sosok yang berenergi dan semangat untuk berkarya dengan disiplin yang tinggi, dinamis, dan optimis dalam menjalani kehidupan di dunia sebagai realisasi pengabdiannya kepada Allah. Ia merupakan sosok manusia yang bertakwa sejati.
Melihat kondisi spiritualis seperti uraian di atas maka sangat patut dan seyogyanya para spiritualis dijadikan sebuah aset untuk dimiliki dan dikembangkan di tubuh organisasi apa saja yang menginginkan kesuksesan.


Kata Kunci: Spiritualis, Aset, Organisasi.



A.    Pendahuluan.
Manusia sempurna ini sejatinya predikat yang dimiliki para spiritualis akhibat dari kedalaman dimensi esoterik yang dimilikinya. Manusia yang menyandang predikat di atas (the perfect man/insan kamil) merupakan sosok spiritualis yang dari dalam dirinya terpancar sifat dan asma Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu keberadaan manusia sempurna (the perfect man/insan kamil) di dunia ini sesungguhnya dipandang sebagai khalifah Allah dan merupakan pengganti-Nya untuk menjadi penguasa, mengelola dan melestarikan alam ini agar terjadi kelangsungan hidup yang damai, aman, sejahtera yang penuh rahmat Allah.
Untuk itu dalam realita empirik, manusia sempurna (the perfect man/insan kamil) ini akan menjadi fenomena dan paradigma baru mewarnai dan muncul dalam tubuh organisasi modern baik pada level lokal, nasional bahkan internasional. Mereka menjadi sadar bahwa terwujudnya diri menjadi manusia yang sempurna menjadi kebutuhan dan dambaan setiap manusia. Predikat sebagai manusia yang sempurna nan ideal tentu tidak akan mampu dimiliki manusia jika ia tidak mampu memberdayakan potensi dirinya sebagai makhluk religius yang spiritualis.
Spiritualis sebagai manusia sempurna ini akan senanatiasa mengarahkan dirinya agar tidak tejerembab dalam alam metafisik an sich tanpa mau merubah untuk menuju sikap yang lebih berorientasi ke realita empirik. Hatinya tetap hadir di hadapan Allah sedang secara lahiriyah ia tetap bersemangat untuk berkarya dengan disiplin yang tinggi karena ia sadar akan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. 
Untuk itu manusia sempurna (the perfect man/insan kamil) ini bisa dibilang sebagai manusia yang ideal. Dalam dirinya terinternalisasi sifat dan Asma Allah yang akan terefleksikan dalam kesadaran murni akan peranannya untuk menjadi manusia yang kreatif, dinamis, dan senantiasa berkarya untuk memberi kemanfaatan tidak hanya untuk dirinya pribadi tetapi lebih luas mampu memberi makna yang berarti untuk seluruh makhluk.
B.     Pembahasan.
1.      Islam dan spiritualitas
Sebelum uraian tentang Islam dan spiritualitas dibahas lebih mendalam nampaknya perlu diketahu terlebih dahulu makna spiritualitas itu sendiri. Spiritualitas dalam bahasa Inggris Spirituality, yang berasal dari kataspirit berarti roh atau jiwa. Adapun dalam aplikasinya spiritualitas adalah dorongan bagi seluruh tindakan manusia. (Ahmad Suaedy, 2004: 202)[1]Spiritualitas sesungguhnya mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhannya. (M. Uhaib As’ad dan M. Harun al-Rosyid, 2004: 340)[2]Pemaknaan ini kemudian diintroduksi oleh nyaris seluruh pemikir spiritual dalam pemahaman makna keyakinan-keyakinan dalam konteks sosial mereka. (Bryan S. Turner, 1991: 17)[3] Adapun pada konteks keislaman hubungan manusia dengan Tuhan ini dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen (medium) salat, puasa, zakat, haji, do’a dan yang lainnya.(M. Uhaib As’ad dan M. Harun al-Rosyid, 2004: 340)[4]
Tobroni (2005: 19-20) dalam hal ini juga menjelaskan bahwa spiritualitas adalah aktivitas manusia yang bermuara kepada kehakikian, keabadian, dan ruh, bukan bersifat sementara. Dalam perspektif Islam, spiritualitas senantiasa berkaitan langsung dengan realitas Ilahi. Spiritualitas bukan sesuatu yang asing bagi manusia, karena merupakan inti kemanusiaan itu sendiri. Hal ini karena dalam diri manusia ada dua unsur yakni jasmani dan ruhani.[5]
Islam sesungguhnya agama yang mengajarkan tidak hanya menyangkut lahiriyah semata. Perihal yang menyangkut spiritualitas mendapat perhatian pula. Menurut Harun Nasution, spiritualitas yang dilakukan seseorang mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan. Intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan. (Harun Nasution, 1973: 56)[6] Untuk itu sejatinya Islam ini merupakan ajaran bersumber dari wahyu yang sarat dengan nilai spiritual karena diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. (Choiruddin Hadhiri SP, 1994: 201-2, 205-6)[7] Hal ini terbukti banyak ayat yang menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhannya karena hal ini merupakan fitrah insani. (Choiruddin Hadhiri SP, 1994: 33)[8]  
Dalam hal ini Hadiri (1994) mengklasifikasi paling tidak ada sebelas ayat dalam enam surat yang membahas bahwa al-Qur’an berasal dari Allah Swt, salah satu di antaranya terdapat dalam al-Qur’an, 13 (ar-Ra’d): 1. Selanjutnya Hadhiri SP juga mengklasifikasi sedikitnya ada dua belas ayat dalam empat surat yang menjelaskan bahwa al-Qur’an bukan buatan Muhammad Saw. Demikian pula keummian Muhammad juga menunjukkan bahwa al-Qur’an berasal dari Allah yang dibawa turun oleh Jibril ke dalam hati Nabi Muhammad atau Jibril menampakkan rupa aslinya dan menjelma berupa orang laki-laki.
 Disadari atau tidak sesungguhnya manusia akan merindukan Sang Pencipta dan Pelindungnya. (al-Qur’an, az-Zumar: 8)[9] Suara fitrah muncul terdengar, dan menjerit memanggil Tuhannya manakala manusia dihadapkan malapetaka, kesulitan yang dahsyat. Pada saat itulah manusia menjadi patuh tunduk, khusyuk, tawakal dan tidak ingkar kepada-Nya. (al-Qur’an, Luqman: 32)[10]
Untuk itu sebagai penerima dan penyampai ajaran wahyu, sudah barang tentu  Muhammad Saw adalah figur yang sangat sarat dan sempurna spiritualitasnya. Pada dirinya tidak hanya ditemukan pengalaman spiritualitas, tetapi metode spiritual yang dipraktikkan sebagai kebiasaan. Dalam dirinya ada unsur yang tidak dapat dijelaskan kecuali dari sisi spiritual. Muhammad Saw meraih hasil luar biasa melalui sebab yang tidak bisa lepas dari keberadaan dan praktek spiritualitas. (John Clark Archer B.D, 2007: x)[11]
Ketika seorang spiritulis ini sangat dekat dengan Allah maka ia senantiasa melakukan hubungan yang membuahkan komunikasi sangat indah, akrab dan penuh kecintaan (mahabbah). Tentu saja semua ini harus diawali dengan pengetahuan dengan hati sanubari akan Allah  (ma’rifah) terlebih dahulu atau sebaliknya mahabbah dahulu, baru akan naik padamaqam atau merasakan keadaan (hal)  mahabbah atau sebaliknya ma’rifat.Ada pula yang berpendapat bahwa mahabbah dan ma’rifat kembar dua yang selalu disebut bersama. Keduanya menggambarkan kedekatan hubungan spiritualis dengan Tuhan dengan hati sanubarinya. (Harun Nasution, 1973: 75)[12]
Menurut Zunnun al-Misri (w. 860 M) bapak faham ma’rifah membagi tiga macam pengetahuan manusia tentang Tuhan yakni : (1) Pengetahuan awam : Tuhan satu dengan perantara ucapan syahadat (2) Pengetahuan ulama: Tuhan satu menurut logika akal (3) Pengetahuan sufi: Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari. (Harun Nasution, 1973: 76)[13] Pada saat spiritualis mencapai tingkat ma’rifah ini maka ia semakin dekat dan bertambah tinggi tingkatannya dengan Allah. Dalam keadaan dekat bersama Allah ini, maka Allah memberi janjinya bagi yang meminta pasti dikabulkan. (al-Qur’an, al-Baqarah: 186)[14]  
2.      Spiritualitas sebagai kebutuhan puncak manusia
Manusia merupakan makhluk dualitas, berdiri di titik antara rasional dan irasional, di samping perannya sebagai makhluk sosial  Untuk itu keseimbangan antara keduanya sangat diperlukan, kalau tidak ingin terjadi gejolak dalam diri manusia. Sebagai homo religious, maka kebutuhan spiritualitas sesungguhnya merupakan satu hal yang ada dalam dirinya atau paling tidak ada naluri yang mendorong manusia untuk cenderung mengakui adanya suatu Zat Adikodrati  (Zat Yang Maha Tinggi). (Agus Hilman, 2005: 4)[15]
Dalam hal ini Hick (1989: 213-214) menyebutnya sebagai (natural belief) kepercayaan alami dan Hume, seperti yang dikutip Hick mengatakan “natural belief in the existence of body” kepercayaan alami ada dalam keberadaan badan, sedangkan Kai Nielsen menyebut sebagai (framework beliefs) kepercayaan ‘kerangka’. Selanjutnya Hick mengatakan “that it occurs and seems to be firmly embedded in our human nature.” Itu terjadi dan tampak melekat kuat dalam tabiat kita.[16] Sedangkan temuan Moh. Sholeh (2007: 185-186), ternyata persoalan spiritulitas yang dianggap irasional karena menyangkut kepercayaan dan keyakinan seseorang ternyata dapat dibuktikan secara ilmiah dan dapat dijadikan alternative untuk memperbaiki daya tahan tubuh imonulogik.
Adapun menurut Yosep Nuttin, spiritualitas merupakan salah satu dorongan yang bekerja dalam diri manusia seperti dorongan lainnya. Sejalan dengan hal itu maka spiritualitas hendaknya dipenuhi sehingga pribadi manusia mendapat kepuasan dan ketenangan, yang mana hal ini merupakan efek yang diberikan Tuhan dari hasil pengalaman ketuhanan manusia. Di sini sesungguhnya yang penting adanya suatu pengakuan walaupun secara samar, bahwa spiritualitas seseorang timbul karena adanya dorongan dari diri sebagai faktor dalam. Dalam perkembangan selanjutnya spiritualitas itu dipengaruhi pula oleh pengalaman spiritualitasnya dan berperan sejalan dengan kebutuhan manusia. (Jalaluddin dan Ramayulis, 1993: 71)[17]
Perhatian terhadap dimensi spiritualitas sebagai kebutuhan pokok tingkat tinggi manusia ini nampaknya tidak banyak mendapat perhatian para pakar psikologi modern. Adapun jika kita mengacu pada konsep ajaran Islam maka seorang muslim yang baik sudah barang tentu tidak akan meninggalkan spiritualitas. Ajaran ini justru merupakan jawaban akan kebutuhan manusia sebagai makhluk yang memiliki dimensi batin di balik unsur jasmaniyah. Hal ini karena menurut Viktor Frankle seperti yang dikutib Hanna Djumhana Bastaman (1995: 36), eksistensi manusia ditandai oleh tiga faktor, yakni kerohanian (spirituality), kebebasan (freedom) dan tanggung jawab(responsibility).[18]
Sedangkan menurut Abraham Maslow, salah seorang pemuka psikologi humanistik yang berusaha memahami segi esoterik (rohani) manusia seperti yang dikutib Djamaluddin Ancok (1994: 49, 75) menyatakan bahwa kebutuhan manusia memiliki kebutuhan yang bertingkat dari yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling puncak. Terpenuhinya kebutuhan puncak yang transenden oleh Maslow disebut peakers. Peakers memiliki berbagai pengalaman puncak yang memberikan wawasan yang jelas tentang diri mereka dan dunianya. Kelompok ini cenderung menjadi lebih spiritualis dan saleh.[19]
Kebutuhan akan spiritualitas ini sesungguhnya bersifat asasi dan menjadi fenomena yang telah berkembang dan dipraktekkan banyak kelompok masyarakat baik di negara Timur ataupun Barat. Keberhasilan Jepang dan masyarakatnya misalnya, ternyata banyak diwarnai dengan ajaran Budhisme Zen yang menjunjung tinggi kemurnian dalam batin dan motivasi. Sedangkan di Amerika sekarang masyarakatnya mengalami peningkatan spiritualitas. Sebagian besar masyarakat Amerika mulai percaya bahwa Tuhan adalah kekuatan spiritual yang positif dan aktif. (Muafi, 2003: 4)[20]
Perubahan ke arah spiritualitas dalam masyarakat Barat yang awalnya mengandalkan rasio sebagai kunci satu-satunya untuk memecahkan berbagai masalah dan menyangkal dunia Ilahi, saat ini mendapat sambutan antosias hingga muncullah gerakan New Age (zaman baru). Gerakan ini mencari suatu keseimbangan baru antara rasio dan jalan batin menuju sumber kehidupan Ilahi. Artinya unsur hati nurani dan rasionalitas menjadi semacam paradigma baru yang terus dikembangkan. (Jaspert Slob, 2004: 92-92)[21]
Manusia dalam perspektif Islam sesungguhnya ditugaskan sebagaikhalifah di muka bumi. (al-Qur’an, al-Baqarah: 30)[22] Sebagai konsekuensi mengemban amanah, manusia diberi kelebihan potensi dibandingkan dengan makhluk lain. Selain dibekali akal untuk berfikir, spiritualitas juga menjadi salah satu faktor penentu kesuksesannya mengemban amanah menjadikhalifah. Dalam hal ini Allah sampai bersumpah demi waktu, bahwa manusia akan mengalami kerugian (kegagalan) kecuali mereka yang beriman dan beramal salih. (al-Qur’an, al-Asr: 2-3)[23]
Sebagai konsekuensi keimanannya kepada Allah maka seorang mukmin memiliki tanggung jawab untuk melakukan ibadah baik yang fardu ataupun yang sunnah sebagai tambahan. Ibadat ini sejatinya adalah pelembagaan atau institusionalisasi iman. (Nurcholish Madjid, 2000: 67)[24]
Kesadaran akan pentingnya ibadah ini sesungguhnya akan memiliki efek positif agar menjadi manusia (khalifah) yang tidak mengalami kerugian dan kegagalan dalam menjalankan tugasnya. Untuk itu spiritualitas sesungguh menjadi kebutuhan setiap mukmin yang hendaknya terus dilakukan secara konsisten, istiqamah dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Dalam hal ini Nurcholish (2000: 67) juga menjelaskan bahwa ibadat khususnya salat merupakan salah satu sumber daya keruhanian manusia dalam menghadapi kesulitan, hal ini karena efeknya dapat meneguhkan hati, ketenangan jiwa yang melandasi optimisme dalam menempuh hidup yang sering tidak gampang, menumbuhkan kreatifitas dan daya cipta serta kepanjangan akal daya/banyak akal (resourcefulness) dalam mencari pemecahan masalah hidup.
Spiritualitas yang dilakukan seseorang dengan baik dan ikhlas dalam pandangan Kazuo Murakami (2007: 14-15, 31-37) akan direspon oleh gen manusia hingga menyebabkan dirinya berkualitas dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan gen itu menjadikan sel-sel berfungsi, sedangkan sel sendiri merupakan unit terkecil dari semua makhluk hidup. Gen ini pula yang memainkan banyak peran dalam kehidupan. Kemampuan seseorang sesungguhnya tidak muncul secara spontan melainkan tersimpan dalam gen. Untuk mengaktifkan gen caranya dengan menumbuhkan pikiran dan perasaan positif, peka, memunculkan inspirasi, syukur, doa, suka mengakses informasi baru, niat baik, menumbuhkan sikap mental spiritual.[25]
Hal senada juga dikatakan Masaru Emoto (2006: 14-17). Apa yang ditemukan Emoto dalam penelitiannya membuktikan bahwa spiritualitas sesungguhnya menjadi kebutuhan dalam hidup manusia. Hal ini sangat beralasan karena 70 % tubuh manusia dewasa terdiri dari air dan ia merespon kata-kata dan perilaku yang positif di dekatnya dengan membentuk kristal yang indah dan merekah seperti bunga.[26] Kata-kata dan perilaku positif ini akan mengeluarkan energi (Hado) positif pula yang tentu akan direspon oleh pikiran dan tubuh manusia. (Masaru Emoto, 2006: 27) [27]
Uraian di atas jelas menunjukkan bahwa spiritualitas baik dilihat dari pendekatan apa pun sebenarnya merupakan kebutuhan bagi diri manusia, baik sebagai internal ataupun eksternal dalam rangka mensukseskan dirinya sebagai khalifah di muka bumi.
3.      Spiritualis, sosok yang percaya diri dan optimistis serta dinamis
Setiap muslim seharusnya memiliki kualifikasi yang memadai untuk merealisasikan dirinya menjadi manusia sempurna (insan kamil) walaupun kesempurnaan bagi setiap muslim sebetulnya tidak ada batas akhirnya selama hayat masih di kandung badan. Menjadi manusia sempurna (insan kamil) sesungguhnya merupakan usaha seorang muslim dalam menyucikan dirinya dan menggapai rida Allah. Suatu upaya dalam meninggalkan sikap dan tempat-tempat yang membuatnya lalai dan berpangku tangan, menuju sikap dan tempat-tempat yang membuatnya selalu ingat dan beribadah. Untuk itu menjadi manusia sempurna merupakan perjalan jiwa dengan tujuan Allah. Bekalnya akhlak mulia dan amal saleh.( Noerhidayatullah, 2002: 11-13)[28]
Untuk itu menjadi manusia sempurna ini sejatinya harus menjadi dambaan setiap orang. Mereka yang mendambakan menjadi manusia sempurna ini tidaklah boleh merasa cukup dengan apa yang telah dilakukannya dan merasa sudah menjadi orang baik-baik. Mereka akan menolak perasaan seperti itu. Untuk itu mereka terus akan melakukan usaha untuk menyempurnakan dirinya. Manusia sempurna ini sejatinya orang yang selalu mendinamisasikan hidupnya, memproses dirinya secara kontinyu agar menemukan kondisi yang lebih baik dan yang terbaik. Untuk itu manusia sempurna akan senantiasa berintrospeksi diri sampai ia tidak lagi menemukan noda atau aib melekat pada dirinya. Untuk menuju ke posisi ini mereka harus memformat dirinya sebagai manusia yang benar-benar bertaqwa kepada Allah.( Soejitno Irmim & Abdul Rochim, 2005: iv-v)[29] 
M. Amin Syukur (2002: 70-75)dalam hal ini juga menjelaskan bahwa manusia sempurna ini sejatinya predikat yang dimiliki para spiritualis akhibat dari kedalaman dimensi esoterik yang dimilikinya. Selanjutnya beliau mengungkapkan bahwa manusia yang menyandang predikat di atas (the perfect man/insan kamil) merupakan sosok spiritualis, yang di dalam dirinya terpancar Sifat dan Asma Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu keberadaan manusia sempurna (the perfect man/insan kamil) di dunia ini sesungguhnya dipandang sebagai khalifah Allah dan merupakan pengganti-Nya untuk menjadi penguasa, mengelola dan melestarikan alam ini agar terjadi kelangsungan hidup yang damai, aman sejahtera yang penuh rahmat Allah. [30]
Sejalan dengan pemikiran di atas manusia sempurna (the perfect man/insan kamil) ini bisa dibilang sebagai manusia yang ideal. Terinternalisasikannya sifat dan asma Allah dalam diri manusia sempurna ini seharusnya akan merefleksikan tentang kesadaran murni akan peranannya untuk menjadi manusia yang kreatif, dinamis, dan senantiasa berkarya untuk memberi kemanfaatan tidak hanya untuk dirinya pribadi tetapi lebih luas mampu memberi makna yang berarti untuk seluruh makhluk.( Hasan Hanafi, 1985: 154)[31]  
Spiritualis sebagai manusia sempurna hendaknya tidak hanya mengarahkan dirinya hanya tejerembab dalam alam metafisik tanpa mau merubah untuk menuju sikap yang lebih berorientasi ke realita empirik. Itu artinya bahwa spiritualis sebagai manusia sempurna akan menjadi berenergi untuk senantiasa beribadah dalam pengertian yang luas. Hatinya tetap hadir di hadapan Allah sedang secara lahiriyah ia tetap bersemangat untuk berkarya dengan disiplin yang tinggi karena ia sadar akan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi.( Sudirman Tebba, 2003: 150-151 )[32]
Hal seperti ini juga dijelaskan James Winston Morris bahwa manusia sejati seutuhnya (sempurna) adalah orang yang mengenali dirinya sendiri, mengerti asal usul dan tujuan tertinggi dalam hidupnya dan alasan hidup di dunia ini. Dalam dirinya kualitas-kualitas ensensi dari kemanusiaan sejati memancar secara otomatis. (James Winston Morris, 2002: 115) [33] Ia memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin diperlakukan, dan juga membela orang lain dari apa pun yang ia sendiri tak suka. (James Winston Morris, 2002: 117)[34] Ini sekaligus menunjukkan klaim bahwa segala perilaku sosial manusia niscaya juga diwarnai oleh “Pengalaman Yang Suci” itu (spiritualitasnya). Dalam konteks kehidupan masyarakat ini, spiritualitas akan turut menentukan nilai hidup, baik-jahat misalnya. Paradigma ini sekaligus mengilustrasikan dengan cukup jelas apa yang harus dilakukan spiritualis dalam hidup bermasyarakat. (Seyyed Hossein Nasr, 2003: 8-9)[35]
Kesadaran spiritualis akan dirinya sebagai manusia sempurna ini, dalam pasar global nantinya tentu akan memunculkan fenomena dan paradigma baru adanya orang-orang suci, sufi atau spiritualis di perusahaan dan institusi yang memproduk barang dan jasa sebagai organisasi modern, bukan hanya di masjid atau tempat ibadah saja. Bahkan saat ini fenomena itu telah banyak bermunculan tidak hanya di perusahan/institusi lokal tetapi berkelas dunia dan internasional. Kenyantaan itu telah terjadi di perusahaan minyak terbesar dunia ‘Shell’. Pada perusahaan ini proses internalisasi spiritualitas benar-benar diberikan kepada 550 eksekutif  dengan harapan untuk meningkatkan kenerja karyawan dan juga untuk membangun paradigma baru yang lebih canggih dan menguntungkan. (Ahmad Najib Burhani, 2001: 23, 63)[36]
Mengakhiri dari penjelasan di atas, Said Aqil Siroj (2006: 46) pakar spiritualitas Indonesia juga menjelaskan tentang  spiritualis sebagai manusia sempurna, bahwa mereka orang yang kaya hatinya, tetapi tidak pasif terhadap kenyataan hidup. Kehidupan di dunia ini bagi sang spiritualis adalah fakta yang tidak bisa diingkari. Mereka menghadapinya secara realistis. Dengan kedekatan kepada Allah, seorang spiritualis akan selalu merasa percaya diri dan optimistis. Aktivitasnya akan selalu menyala sebab semua yang dilakukan bertujuan mencari rida Allah.[37]
Dengan demikian sejatinya spiritualis merupakan manusia yang sempurna yang senantiasa terus berusaha menyempurnakan potensi dirinya untuk menuju keridaan Allah. Ia adalah manusia yang ideal karena mampu menjalankan tugas yang diamanatkan pada dirinya untuk menjadi Abdullah, dan Khalifah Allah sekaligus. Dalam dirinya terpancar sifat dan asma Allah. Ia dekat dengan Allah dan senantiasa bersama Allah baik dikesendirian ataupun ketika bergumul, serta beinteraksi dengan manusia lain. Ia berenergi, semangat berkarya dan memberi manfaat dalam kehidupannya semata-mata karena menjalankan perintah Allah. Ia sejatinya orang yang bertakwa dengan sesungguhnya.
4.      Metode mewujudkan diri menjadi spiritualis
Banyak metode yang bisa menghantarkan seseorang untuk sampai kepada Allah (spiritualis). Di antara metode itu dengan cara salat dan puasa. Uraian ini bisa kita ikuti dalam pembahasan berikut.
Kata salat dalam bahasa Arab diterjemahkan sebagai do’a, sembahyang, permohonan ampun, belas kasih, dan kasih sayang. (Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti, 2001: 148)[38] Sedangkan menurut istilah agama, salat merupakan suatu perbuatan dan perkataan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Salat inilah merupakan ibadah yang mula diwajibkan oleh Allah, di mana titah itu disampaikan langsung oleh Allah tanpa perantara, pada saat malam Mi’raj. Pada malam itu dialog Allah dengan Nabi Muhammad Saw berlangsung, membicarakan kewajiban perintah salat. (Sayyid Sabiq, 1973: 205)[39]
Praktek salat sebenarnya sangat khusus dan merupakan ciri kehidupan spiritualitas dan pokok dalam Islam. Spiritualis India Hazrat Inayat Khan, berkata, “Orang yang tidak pernah mengerjakan salat bagaimanapun tak punya harapan untuk maju”. Hal ini sangat beralasan karena salat pada kenyataannya merupakan bentuk ibadah praktek lahir dan batin, yang merupakan serangkaian latihan jasmani yang memiliki efek tertentu. Dengan jasmani yang sehat dan bugar mendorong manusia untuk lebih kreatif dalam aktivitas keseharian. Demikian pula sebagai praktek batin, salat merupakan makanan rohaniah yang paling kaya. Hingga dalam banyak hal para spiritualis Islam (sufi) banyak berfikir lebih baik mati daripada tidak salat. (Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti, 2001: 148-149)[40]
Dengan demikian salat merupakan praktek ibadah yang sangat khusus yang memiliki ciri aktivitas lahir dan batin, di mana secara batin ditemukan unsur dhikir, komunikasi dan do’a serta kedekatan kepada Allah. Hal ini seperti yang firmankan Allah :Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku”. (al-Qur’an, Taha : 14)[41]
Kalau melihat dari uraian di atas maka didapatkan pemahaman, salat merupakan praktek ibadah yang sangat khusus yang memiliki ciri aktivitas lahir dan batin yang kedudukannya tidak bisa dipisah-pisahkan. Memisahkan salah satu dari keduanya merupakan bentuk mementahkan maksud salat yang sebenarnya. (al-Qur’an, al-Baqarah : 238).[42]
Dalam aktivitas itu spiritualis menemukan unsur dhikir dan komunikasi, do’a dan merasakan kedekatan  dengan Allah. Sehingga ruh dan mata hati (basiroh) nya menjadi bertemu dan menyaksikan keindahan Allah. Maka jangan heran kalau para spiritualis (sufi) dan orang-orang yang memahami tentang hakikat dan pentingnya salat berfikir lebih baik mati daripada tidak salat.
Fenomena ini tidak mengherankan sebab Nabi Saw sendiri jikalau rindu berkomunikasi dengan Allah seperti dalam Isro’mi’roj seringkali menanyakan sahabat Bilal untuk mempercepat kepada seruan salat. Bagi Nabi Muhammad Saw, salat merupakan pengulangan dari pengalamannya selama mi’raj yang membawanya dekat ke hadapan Allah Swt. (Annemarie Schimmel, 1997: 217)[43]
Salat memang merupakan langkah pertama dan terakhir bagi seseorang yang beriman sejati yang senantiasa mendambakan kedekatan, berkomunikasi, dhikir dan berdo’a kepada Allah. Karenanya salat menjadi pondasi bagi dibangunnya praktik-praktik spiritual yang lebih halus. Kenikmatan melakukan salat memang sudah teruji karena saat itu hamba dan Khaliq berhadapan, mengetahui, mengenal, dan berkomunikasi, sampai-sampai penghulu dunia Nabi Muhammad SAW, berserah diri dalam salat di hadapan-Nya meskipun beliau telah mencapai tingkat spiritual  tertinggi. (Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti, 2001: 168)[44]
Kehidupan dalam jalan spiritualitas selain salat, dapat dijumpai pula dengan cara puasa. Puasa adalah ibadah yang dilakukan tanpa ucapan dan perbuatan, akan tetapi dengan menahan dan mencegah diri dari makan, minum dan bersetubuh sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Sebagai pencegahan dan penahanan diri, sekalipun tampaknya negatif pada lahiriahnya, ia merupakan amalan positif pada hakikat dan jiwanya. Karena ia merupakan pencegahan diri terhadap selera nafsu dengan niat taqarrubkepada Allah. Maka amalan yang disertai dengan niat ini, akan mempunyai bobot dalam nilai kebenaran, kebajikan dan penerimaannya di sisi Allah. (Yusuf  al-Quradawi, 1998: 505-506)[45]
Secara umum puasa adalah pembersihan di atas pembersihan yang diharapkan pelaku tidak hanya mendapat lapar dan dahaga saja. Tetapi lebih penting dari itu diharapkan akan muncul perasaan kedekatan spiritualis bersama Allah. Inilah puasa yang dilakukan hanya untuk Allah. Sehingga Allah sendiri yang akan memberi ganjaran (keutamaan) bagi pelakunya. (Abdul Qadir al-Jailani, 2002: 233-234 )[46]
Puasa yang dilakukan dengan ikhlas akan membawa efek positif bagi pelakunya. Tidak hanya menyehatkan tubuh, puasa mampu membersihkan kotoran jiwa, sehingga pelakunya menjadi bersih dan suci. Dalam keadaan seperti ini spiritualis akan merasakan kehadiran dan kedekatan dengan Allah. (Carl W. Ernst, 2001: 50-52)[47] Hati dan pikirannya senatiasa menjadi teringat (dhikir) kepada Allah, (Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti, 2001: 142)[48] sehingga spiritualis senantiasa menerima bantuan dan pertolongan dari Allah ketika ia berdoa.( al-Qur’an, al-Baqarah : 186)[49]
Ibadah puasa ini sejatinya suatu misteri yang tidak berkaitan dengan yang lahiriah. Suatu misteri yang tidak ada sesuatu pun selain Allah yang tahu. Untuk itulah banyak spiritualis (sufi) melakukan puasa, selain salat. Sebab dengan berpuasa jiwa menjadi bersih, hati menjadi bersinar dan mengantarkan ruh kepada Allah hingga spiritualis akan mudah mencapai keinginannya.( al-Hujwiri, 1995: 286-291)[50]  Hal senada juga dikatakan Yusuf  al-Quradawi (1998: 511-512), “tidak heran kalau ruh orang yang berpuasa itu dapat meningkat dan mendekat ke arah alam yang tinggi, mengetuk pintu-pintu langit, dengan do’anya lalu terbukalah. Ia memohon kepada Tuhannya, lalu Allah pun mengabulkannya, dan ia memanggil-Nya, lalu Allah pun menyahutnya.” [51]
5.      Kekuatan spiritualis sebagai aset organisasi sukses
Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa spiritualitas sejatinya merupakan kebutuhan asasi dan puncak manusia. Sebagai kebutuhan asasi seseorang, spiritualitas dalam kehidupan saat ini bisa dikembangkan dalam kehidupan pribadi pemimpin organisasi bila menginginkan keberhasilan.( Jeff Hammond, 2002: 12)[52] Demikian pula menurut Abdul Azis Wahab (2008: 136), bahwa :
Pemimpin pendidikan untuk memangku jabatan agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya dan memainkan peranannya sebagai pemimpin yang baik dan sukses, maka dituntut beberapa persyaratan jasmani, rohani dan moralitas yang baik serta sosial ekonomi yang layak. Pemimpin pendidikan hendaknya memiliki kepribadian yang baik menyangkut: rendah hati, sederhana, suka menolong, sabar, percaya diri, jujur, adil dan dapat dipercaya serta ahli dalam jabatannya.[53]

Dimensi spiritualitas pemimpin di sini jelas merupakan aset organisasi, yang hal ini tentu tidak dikenal dalam kepemimpinan sekuler. Sebagai aset tentu perlu dijaga dan dikembangkan pada diri seorang pemimpin. Hal ini karena dimensi spiritualitas menjadi salah satu faktor yang turut berpengaruh mewujudkan  keberhasilan kepemimpinan yang ada.
Pengabaian akan spiritualitas maka berefek seperti yang dijelaskan Morgan Mc.Call & Michael Lombardo seperti yang dikutib Safaria bahwa: “Banyak pemimpin yang gagal dalam menjalankan kepemimpinannya sebenarnya merupakan orang-orang yang cerdas, ahli di bidangnya masing-masing, seorang pekerja keras dan diharapkan maju dengan cepat. Akan tetapi sebelum mereka sampai di puncak organisasi, mereka dipecat atau dipaksa untuk pensiun / mengundurkan diri.” (Triantoro Safaria, 2004: 14 – 15)[54]
Dalam krisis global saat ini sebagai  pemimpin, tentu dihadapkan dengan berbagai persoalan dan perubahan yang menuntut paradigma baru bagi seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya. Paradigma ini akan menentukan pola dan gaya kepemimpinan seorang pemimpin sehari-hari, selama pemimpin mengarahkan organisasi menuju kesuksesan di masa depan. (Triantoro Safaria, 2004: 6)[55]
Berbagai persoalan yang komplek, tentunya bisa membuat para pemimpin kehilangan keseimbangan dan kalau tidak tahan goncangan maka akan berpengaruh  pada keberhasilan kepemimpinan. Untuk itu seorang pemimpin   seyogyanya  perlu mengembangkan aset yang berupa spiritualitas di samping yang lainnya. Hal ini karena telah dicontohkan Nabi Muhammad Saw sebagai panutan umat Islam. Muhammad Saw sebagai pembawa ajaran agama Islam, ternyata merupakan figur pemimpin dunia yang dikagumi akan keberhasilannya. Beliau ternyata tidak meninggalkan dimensi spiritualitas. Muhammad Saw meraih hasil luar  biasa melalui sebab yang  tidak  bisa lepas dari keberadaan dan praktek spiritualitas. ( John Clark Archer B.D, 2007: x)[56] Beliau sesungguhnya spiritualis sejati, manusia sempurna yang membuktikan kepada dunia senantiasa berkarya, optisimis dan dinamis menjalani kehidupan ini.


C. Penutup.
Islam sesungguhnya agama yang mengajarkan tidak hanya menyangkut lahiriyah semata. Perihal yang menyangkut spiritualitas mendapat perhatian pula. Untuk itu sejatinya Islam ini merupakan ajaran bersumber dari wahyu yang sarat dengan nilai spiritual karena diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Selain itu banyak ayat yang menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhannya karena hal ini merupakan fitrah insani.
Disadari atau tidak sesungguhnya manusia akan merindukan Sang Pencipta dan Pelindungnya. Untuk itu manusia merupakan makhluk dualitas, berdiri di titik antara rasional  dan irasional, di samping perannya sebagai makhluk sosial  Untuk itu keseimbangan antara keduanya sangat diperlukan, kalau tidak ingin terjadi gejolak dalam diri manusia itu sendiri. Untuk itu spiritualitas ini sejatinya merupakan kebutuhan tingkat tinggi seseorang. Terpenuhinya kebutuhan puncak yang transenden oleh Maslow disebut peakers. Peakers memiliki berbagai pengalaman puncak yang memberikan wawasan yang jelas tentang diri mereka dan dunianya. Kelompok ini cenderung menjadi lebih spiritualis dan saleh.
Ketika dalam keadaan seperti ini maka spiritualis tidak akan mengarahkan dirinya hanya tejerembab dalam alam metafisik. Spiritualis sejati adalah mereka yang mau merubah diri menuju sikap yang lebih berorientasi ke realita empirik. Itu artinya bahwa spiritualis sebagai manusia sempurna akan menjadi berenergi untuk senantiasa beribadah dalam pengertian yang luas. Hatinya tetap hadir di hadapan Allah sedang secara lahiriyah ia tetap bersemangat untuk berkarya dengan disiplin yang tinggi karena ia sadar akan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Untuk itu spiritualis sejatinya merupakan sosok yang percaya diri dan optimistis serta dinamis dalam menjalani kehidupan ini. Sehigga dalam tubuh organisasi, para spiritualis sejatinya dapat menjadi aset organisasi yang patut dikembangkan keberadaannya. Kesadaran spiritualis akan dirinya sebagai manusia sempurna ini, tentu akan muncul menjadi fenomena dan paradigma baru dalam pasar global. Untuk itu di perusahaan dan institusi sebagai organisasi modern, nantinya akan bermunculan orang-orang suci (sufi) dan bukan hanya di masjid atau tempat ibadah saja. Para spiritualis akan hadir di tubuh organisasi tidak hanya pada tataran lokal tetapi juga berkelas internasional.
Adapun metode untuk menjadi spiritualis sesungguhnya banyak. Di antara jalan itu yakni dengan melakukan salat dan puasa. Salat merupakan praktek ibadah yang sangat khusus yang memiliki ciri aktivitas lahir dan batin, di mana secara batin ditemukan unsur dhikir, komunikasi dan do’a serta kedekatan kepada Allah. Sedangkan secara umum puasa adalah pembersihan di atas pembersihan. Dengan puasa ini diharapkan akan muncul perasaan kedekatan bersama Allah. Untuk itulah banyak spiritualis (sufi) melakukan puasa, selain salat. Sebab dengan berpuasa jiwa menjadi bersih, hati menjadi bersinar dan mengantarkan ruh kepada Allah hingga spiritualis akan mudah mencapai keinginannya.











Daftar Kepustakaan


Ancok, Djamaluddin. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Archer B.D, John Clark. Dimensi Mistis dalam Diri Muhammad. terj. Ahmad Asnawi. Yogyakarta: Diglossia, 2007).
As’ad, M. Uhaib  dan M. Harun al-Rosyid. “Spiritualitas dan Modernitas Antara Konvergensi dan Devergensi”  dalam Spiritualitas Baru, Agama & Aspirasi Rakyat. ed. Elga Sarapung, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Burhani, Ahmad Najib. Sufisme Kota: Berpikir Jernih Menemukan Spiritualitas Positif. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001.
Chisyti, Syaikh Hakim Mu’inuddin. Penyembuhan Cara Sufi. Terj. Burhan Wirasubrata. Jakarta: Lentera Basritama, 2001.
Emoto, Masaru. The True Power of Water: Hikamah Air dalam Olah Jiwa. Terj. Azam. Bandung: MQ Publishing, 2006.
Ernst, Carl W. Mozaik Ajaran Tasawuf. terj. Tantan Hermansyah dan Siti Suharni. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001).
Hadhiri SP, Choiruddin. Klasifikasi Kandungan al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Hammond, Jeff. Kepemimpinan Yang Sukses. Jakarta: Yayasan MediaBuana Indonesia, 2002.
Hanafi, Hasan. From Faith to Revolution. Spanyol: Cordoba, 1985.
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 36.
Hick, John. An Interpretation of Religion, Human Responses to the Transcendent. New Haven and LondonYale University Press, 1989.
Hilman, Agus. “Spiritualitas yang Kering”. Jawa Pos, 1 Nopember 2005.
al-Hujwiri. Kasyful Mahjub : Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf. terj. Suwardjo Muthari dan Abdul Hadi W.M. Bandung: Mizan, 1995.
Irmim, Soejitno & Abdul Rochim. Menjadi Insan Kamil. tt: Seyma Media, 2005.
al-Jailani, Abdul Qadir. Rahasia Sufi. terj. Abdul Majid. Yogyakarta: Futuh, 2002.
Jalaluddin dan Ramayulis. Pengantar Ilmu Jiwa Agama.  Jakarta: Kalam Mulia, 1993.
Kielson, Daniel C. “Leadership: Creating a New Reality”. Dalam,Triantoro Safaria, Kepemimpinan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000.
Mc.Call, Morgan & Michael Lombardo. “Off the track: Why and How Succesfull Executive Get Gerailed.” Dalam, Triantoro Safaria,Kepemimpinan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004.
Morris, James Winston. Sufi-Sufi Merajut Peradaban. Jakarta: Forum Sebangsa, 2002.
Muafi. “Pengaruh Motivasi Spiritual Karyawan terhadap Kinerja Riligius di Kawasan Industri Rungkut Surabaya.” Jurnal Siasat Bisnis. Vol. 1, Nomor 8. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 2003.
Murakami, Kazuo. The Divine Message of The DNA: Tuhan dalam Gen Kita. terj. Winny Prasetyowati. Bandung: Mian,  2007.
Nasr, Seyyed Hossein. Antara Tuhan, Manusia dan Alam: Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Noerhidayatullah. Insan Kamil: Metoda Islam Memanuisakan Manusia. Bekasi: Nalar, 2002.
al-Quradawi, Yusuf.  Ibadah Dalam Islam. Terj. Umar Fanani.Surabaya: Bina Ilmu,  1998.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah.  Jilid 1. Terj.  Mahyuddin Syaf. Bandung: PT Al-Ma’arif, 1973.
Schimmel, Annemarie. Rahasia Wajah Suci Ilahi. terj. Rahmani Astuti.Bandung: Mizan, 1997.
Sholeh,  Moh. Terapi Salat Tahajud Menyembuhkan Berbagai PenyakitJakarta: Hikmah, 2007.
Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi. Bandung: Mizan, 2006.
Slob, Jaspert. “Kecendrungan Spiritualitas Masyarakat Modern”. dalam Spiritualitas Baru, Agama & Aspirasi Rakyat. ed. Elga Sarapung, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Suaedy, Ahmad. “Spiritualitas dan Modernitas Antara Konvergensi dan Devergensi”.  dalam  Agama, Spiritulitas Baru dan Keadilan Perspektif Islam. ed. Elga Sarapung, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Syukur,M. Amin. Menggugat Tawawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Tebba, Sudirman. Tasawuf Positif. Jakarta: Prenada Media, 2003.
TobroniThe Spiritual Leadership: Pengefektifan Organisasi Noble Industry Melalui Prinsip-prinsip Spiritual Etis. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2005.
Turner, Bryan S. Religion and Social Theory. London: SAGE Publictions Ltd.,  1991.
Wahab, Abdul Azis. Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan: Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2008.




[1] Ahmad Suaedy, “Spiritualitas dan Modernitas Antara Konvergensi dan Devergensi” dalam  Agama, Spiritulitas Baru dan Keadilan Perspektif Islam, ed. Elga Sarapung, dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 202
[2] M. Uhaib As’ad dan M. Harun al-Rosyid, “Spiritualitas dan Modernitas Antara Konvergensi dan Devergensi”  dalam  Spiritualitas Baru, Agama & Aspirasi Rakyat, ed.Elga Sarapung, dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),  340.  
[3] Bryan S. Turner, Religion and Social Theory (London: SAGE  Publictions Ltd., 1991), 17.
[4] M. Uhaib As’ad dan M. Harun al-Rosyid, “Spiritualitas dan Modernitas…”,  340.
[5] Tobroni, The Spiritual Leadership: Pengefektifan Organisasi Noble Industry Melalui Prinsip-prinsip Spiritual Etis (Malang: UMM, 2005), 19-20.
[6] Harun Nasution, Filsafat …, 56.
[7] Choiruddin Hadhiri SP, Klasifikasi Kandungan al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 201-2, 205-6. Dalam hal ini ia mengklasifikasi paling tidak ada sebelas ayat dalam enam surat yang membahas bahwa al-Qur’an berasal dari Allah Swt, salah satu di antaranya terdapat dalam al-Qur’an, 13 (ar-Ra’d): 1. Selanjutnya Hadhiri SP juga mengklasifikasi sedikitnya ada dua belas ayat dalam empat surat yang menjelaskan bahwa al-Qur’an bukan buatan Muhammad Saw. Demikian pula keummian Muhammad juga menunjukkan bahwa al-Qur’an berasal dari Allah yang dibawa turun oleh Jibril ke dalam hati Nabi Muhammad atau Jibril menampakkan rupa aslinya dan menjelma berupa orang laki-laki.
[8] Ibid., 33.
[9] al-Qur’an, 39 (az-Zumar): 8.
[10] Ibid., 31 (Luqman): 32.
[11] John Clark Archer B.D, Dimensi Mistis…,  x.
[12] al-Ghazali memandang bahwa ma’rifah datang sebelum mahabbah, sedang menurut al-Kalabadi, ma’rifah datang setelah mahabbah. Keduanya ma’rifah danmahabbah terkadang dipandang sebagai maqam dan terkadang hal. Bagi al-Junaid (w.381 H) ma’rifah merupakan hal dan bagi al-Qusyairy memandang sebagai maqam.Lihat Harun Nasution, Filsafat …, 75.
[13] Ibid., 76.
[14] al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 186.
[15] Agus Hilman, “Spiritualitas yang Kering”, Jawa Pos, 1 Nopember 2005), 4.
[16] John Hick,  An Interpretation of Religion, Human Responses to the Transcendent(New Haven and London: Yale University Press, 1989 ), 213-214. Bandingkan dengan temuan Moh. Sholeh, ternyata persoalan spiritulitas yang dianggap irasional karena menyangkut kepercayaan dan keyakinan seseorang ternyata dapat dibuktikan secara ilmiah dan dapat dijadikan alternative untuk memperbaiki daya tahan tubuh imonulogik. Moh. Sholeh,  Terapi Salat Tahajud Menyembuhkan Berbagai Penyakit(Jakarta: Hikmah, 2007), 185-186.
[17] Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama ( Jakarta: Kalam Mulia, 1993), 71.
[18] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 36.
[19] Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994),49, 75.
[20] Muafi. “Pengaruh Motivasi Spiritual Karyawan terhadap Kinerja  Riligius di Kawasan Industri Rungkut Surabaya.” Jurnal Siasat Bisnis. Vol. 1, Nomor 8, (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 2003), 4.
[21] Jaspert Slob, “Kecendrungan Spiritualitas Masyarakat Modern”, dalamSpiritualitas Baru, Agama & Aspirasi Rakyat, ed. Elga Sarapung, dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 92-92.
[22] al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 30.
[23] Ibid.,  103 (al-Asr): 2-3.
[24] Dalam hal ini ibadat sejatinya adalah pelembagaan atau institusionalisasi iman itu. Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), 67.
[25]  Kazuo Murakami, The Divine Message of The DNA: Tuhan dalam Gen Kita,terj. Winny Prasetyowati  (Bandung: Mian,  2007), 14-15, 31-37
[26] Masaru Emoto, The True Power of Water: Hikamah Air dalam Olah Jiwa, terj. Azam (Bandung: MQ Publishing, 2006), 14-17.
[27] Ibid.,  27
[28] Noerhidayatullah, Insan Kamil: Metoda Islam Memanuisakan Manusia (Bekasi: Nalar, 2002), 11-13.
[29] Soejitno Irmim & Abdul Rochim, Menjadi Insan Kamil (tt: Seyma Media, 2005), iv-v.
[30] M. Amin Syukur, Menggugat Tawawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 70-75.
[31] Hasan Hanafi, From Faith to Revolution (Spanyol: Cordoba, 1985) , 154.
[32] Sudirman Tebba, Tasawuf Positif (Jakarta: Prenada Media, 2003), 150-151.
[33] James Winston Morris, Sufi-Sufi Merajut Peradaban (Jakarta: Forum Sebangsa, 2002), 115.
[34] Ibid., 117.
[35] Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam: Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), 8-9.
[36] Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota: Berpikir Jernih Menemukan Spiritualitas Positif (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 23, 63.
[37] Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi (Bandung: Mizan, 2006), 46.
[38] Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti, Penyembuhan Cara Sufi, terj. Burhan Wirasubrata (Lentera Basritama: Jakarta, 2001), 148.
[39] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 1, terj.  Mahyuddin Syaf (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1973), 205.
[40] Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti, Penyembuhan…, 148-149.
[41] al-Qur’an, 20 (Taha) : 14
[42] Ibid.,  2 (al-Baqarah) : 238
[43] Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1997),  217.
[44] Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti, Penyembuhan…, 168.
[45] Yusuf  al-Quradawi, Ibadah…, 506
[46] Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufi, terj. Abdul Majid (Yogyakarta: Futuh, 2002), 233-234.
[47] Carl W. Ernst, Mozaik Ajaran Tasawuf, terj. Tantan Hermansyah dan Siti Suharni (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 50-52.
[48] Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti, The Book…, 142.
[49] al-Qur’an, 2 (al-Baqarah) : 186.
[50] al-Hujwiri, Kasyful Mahjub : Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf, terj. Suwardjo Muthari dan Abdul Hadi W.M (Bandung: Mizan, 1995),  286-291
[51] Yusuf  al-Quradawi, Ibadah…, 511-512.
[52] Jeff Hammond, Kepemimpinan Yang Sukses  (Jakarta: Yayasan MediaBuana Indonesia, 2002), 12.
[53] Abdul Azis Wahab, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan: Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2008), 136.
[54] Morgan Mc.Call & Michael Lombardo, “Off the track: Why and How Succesfull Executive Get Gerailed.” Dalam, Triantoro Safaria, Kepemimpinan (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 14 – 15.
[55] Daniel C. Kielson, “Leadership: Creating a New Reality.” Dalam, Triantoro Safaria,Kepemimpinan (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 6.
[56] John Clark Archer B.D, Dimensi Mistis dalam Diri Muhammad , terj. Ahmad Asnawi (Yogyakarta: Diglossia, 2007),  hal. x.


read more