Selasa, 22 Januari 2013

BEKERJA SEBUAH IBADAH


Allah SWT menciptakan dan menghadirkan manusia di muka bumi ini sejatinya bukan tanpa tujuan. Ada dua tujuan setidaknya maksud Allah menghadirkan manusia di dunia ini. Tujuan yang yang pertama dan sangat esensial sekali seperti yang tertera dalam al-Qur’an surat al-Dzariyat: 56 yakni agar manusia ini beribadah, mengabdi kepada Allah dengan segala bentuknya. Namun demikian seorang mufassir kenamaan dan termasuk salah satu sahabat Nabi SAW, Ibnu Abbas r.a menafsirkan ayat di atas ‘ibadah’ yakni agar manusia hadir di muka bumi ini untuk bermakrifat (mengetahui) Allah.
Untuk mencapai tingkat makrifatullah ini tentu manusia harus melakukan riadho/mujahadah (beribadah). Dalam kalangan kaum sufi, agar mereka mampu mencapai tingkatan makrifat Allah maka harus melakukan tarikat yakni jalan menuju perjumpaan dengan Allah. Sedang menurut Syaikh Abdul Qadir Jailaini tokoh sufi ternama untuk mencapai perjumpaan dengan Allah ini seorang muslim bisa melakukannya dengan cara shalat. Dengan melakukan cara-cara sufi ini diharapkan seorang muslim setelah melakukan mujahadah, riadho, shalat, hatinya senantiasa tetap berkomunikasi dengan-Nya baik waktu di masjid (tempat ibadah), di rumah, di jalan, di kantor, pasar dan tempat lainnya sambil tetap memberdayakan potensi akal fikirannya untuk memikirkan kekuasaan Allah yang ada di muka bumi ini. Hal ini sangat penting karena tujuan Allah yang kedua menghadirkan manusia di muka bumi ini adalah untuk menjadi khalifah (pengelola) dunia ini.
Tujuan Allah menghadirkan manusia di muka bumi sebagai khalifah seperti dalam penjelasan di atas dapat kita ketahui melalui firman-Nya. Hal ini seperti yang termaktub dalam al-Qur’an al-Baqarah: 30. Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di muka bumi...” .
Khalifah yang dimaksud dalam ayat ini menurut Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya yakni kaum (manusia) yang silih berganti, abad demi abad, generasi demi generasi menghuni bumi untuk menjadi penguasa. Mereka adalah kelompok para Nabi, Rasul, Siddiqin, Syuhada’ dan orang-orang shalih yang benar-benar taat mengikuti ajaran Allah dan jejak para Nabi. Menurut Ibnu Jabir, khalifah dimaksud dalam ayat di atas adalah Adam dan orang-orang yang mengikuti jejaknya dalam ketaatan kepada Allah Swt. Mereka menjadi pengganti Allah dalam menjalankan hukum secara adil.
Kalau kita cermati dari berbagai pandangan mufassir di atas baik dari kalangan para sahabat Nabi dan mufassir setelahnya maka tujuan Allah menghadirkan manusia di muka bumi ini agar di antara mereka menjadi makhluk yang bisa menciptakan dan mengelola bumi ini agar tercipta kehidupan yang aman, damai, tenteram, adil, sejahtera. Untuk itu manusia harus melakukan kerja sebaik-baiknya dan tidak melanggar aturan-aturan Allah. Mereka ini menurut al-Qurthubi harus menjadi imam (pemimpin) yang adil.
Sedang Nabi Saw sendiri mengingatkan kepada kita bahwa setiap diri manusia adalah pemimpin dan setiap manusia nanti akan ditanya tentang kepemimpinannya. Untuk itu manusia harus menyadari akan keberadaannya di muka bumi ini, untuk apa mereka hidup dan apa yang telah dilakukannya selama hidupnya ini. Bagi yang berkeluarga maka akan ditanya tentang kepemimpinannya dalam rumah tangganya. Bagi yang bekerja akan ditanya tentang pekerjaan yang telah dilakukannya. Apakah semua telah memenuhi harapan Allah. Untuk itu selama manusia bekerja dalam rangka menjalankan perintah Allah maka ia memiliki nilai ibadah di hadapan Allah.
Dalam hal ini Allah mengingatkan kepada manusia agar senantiasa semangat bekerja untuk kehidupan dunia. Semua ini seperti yang difirmankan Allah dalam al-Qur’an surat al-Qashash: 77. Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Menyikapi ayat di atas, menurut Ibnu Katsir bahwa seseorang yang bekerja hingga ia menjadi kaya raya, hendaknya kekayaan yang diberikan Allah kepadanya digunakan untuk beribadah kepada-Nya dan berbuat baik kepada sesama manusia dengan jalan menafkahkan sebagaian dari harta kekayaannya untuk menolong mereka yang membutuhkan pertolongan. Selain itu hartanya hendaknya juga digunakan pula untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk makan, minum, pakaian, perkawinan (keluarga), perumahan asal tidak melampau batas. Selanjutnya harta kekayaan tersebut hendaknya tidak digunakan untuk berbuat kerusakan dan berlaku sewenang-wenang di atas bumi ini. Hal ini karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Sebagai umat Islam yang baik, maka seyogyanya ia harus benar-benar menjalankan perintah Allah Swt untuk beribadah baik secara khusus atau pun secara umum. Bertitik tolak dari semua ini maka diharapkan umat Islam akan menjadi sosok yang shalih secara individual dan social. Hal ini karena setelah ia melakukan kerja duniawi semua hasil daripadanya hendaknya digunakan untuk pengabdian kepada Allah. Ia menjadi bertanggungjawab terhadap pemenuhan kewajibannya mecukupi dan mensejahterakan keluarga dan rumah tangganya, dengan hartanya ia memenuhi perintah Allah menyantuni para dhuafa, anak yatim piatu, fakir miskin, dan mentasharufkan di jalan Allah guna menghidupkan syiar agama, membangun dan menghidupkan madrasah, masjid, pesantren, serta fasilitas umat yang lain. Ketika menjadi pejabat maka ia berusaha mensejahterakan bawahan dan rakyatnya. Semua itu dilakukan dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai khalifah (pemimpin) agar terjadi kehidupan yang damai, sejahtera, aman, tata tentren karta raharja sehingga terwujud negeri seperti yang diharapkan Allah yakni baldatun thayyibatun wa robbun ghofur.
Kita perlu mengingat kembali bahwa bekerja merupakan bentuk ibadah. Bersemangatlah untuk melakukannya seakan-akan kita hidup selamanya. Semua akan memiliki nilai akhirat jika dalam pelaksanaanya kita maksudkan dalam rangka melakukan perintah Allah. Sebaliknya betapa banyak orang yang secara lahiriyah nampak melakukan ibadah semisal shalat, baca al-Qur’an, puasa, dan lain, namun karena di antara mereka hanya ingin dipuji dan mengharap penghargaan dari makhluk maka ia sedikitpun tidak mendapatkan nilai akhirat sedang yang ia dapatkan hanya nilai duniawi, penghargaan dan pujian dari manusia lain.
Mengakhiri dari tulisan ini maka perlu kita sadari bahwa sejatinya Islam merupakan agama yang mengajarkan kesempurnaan. Hal ini karena Islam mengajarkan dan mengajak manusia agar menjadi sosok yang sempurna/ideal. Manusia yang ideal adalah mereka yang menjalani hidup ini dengan cara menyeimbangkan untuk urusan duniawinya dan akhirat secara bersama-sama. Semua dilakukannya semata-mata hanya mengharap keridhaan Allah Swt. Semoga Allah menjadikan kita kelompok manusia yang sukses, bahagia dan selamat di dunia dan akhirat, yang senatiasa mendapat bimbingan dan keberkahan hidup daripada-Nya.

Penulis: Dr. Djoko Hartono, S.Ag, M.Ag, M.M
Pengasuh & Pendiri Ponpes Mahasiswa Jagad ‘Alimussirry Sby, Direktur PPs STAI Al-Khoziny Sidoarjo, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Sby



0 komentar:

Posting Komentar