Abstraksi
Perdebatan
mengenai manfaat mempelajari teologi tidak hanya terjadi pada era kontemporer
saat ini. Jauh hari sebelumnya pro dan kontra tentang pandangan teologi
memunculkan berbagai aliran-aliran yang tidak jarang menyebabkan perpecahan
dikalangan umat. Hal ini disebabkan
karena teologi merupakan hasil rumusan akal pikiran manusia yang
terkondisikan oleh waktu dan situasi social, terbatas oleh ruang, waktu dan
tingkat pengetahuan manusia, serta situasi politik tertentu. Untuk itu
sejatinya pemikiran teologis adalah hasil karya akal pikiran manusia yang
bersifat fallible.
Bertitik
tolak dari sini maka perlu adanya kritik dan rekonstruksi sebagai upaya agar
kehadiran teologi mampu memberi solusi riil kemanusian dalam kehidupan
kontemporer. Rekonstruksi teologi adalah salah satu cara yang mesti
ditempuh jika diharapkan dapat memberikan sumbangan yang kongkrit. Kepentingan
rekonstruksi itu pertama-tama untuk mentrasformasikan teologi menuju
antropologi, sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara ekstensial,
kognitif maupun kesejarahan.. Ini merupakan cara “ilmiah” untuk mengatasi
keterasingan teologi itu sendiri.
Upaya mentransformasikan teologi menuju antropologi
ini mewujudkan pemahaman yang metafisik dan samar menjadi teraplikasi dalam
kehidupan nyata yakni dari Tuhan ke
bumi, dari keabadian ke waktu, dari takdir kekehendak bebas, dari teori ke
tindakan, dari rohani ke jasmani, dari meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka,
dari organisasi sufi ke gerakan sosio-politik, dari nilai pasif ke nilai aktif,
dari vertikal ke horisontal, dari dunia lain ke dunia ini, dan dari kesatuan
khayal ke penyatuan nyata.
Kata Kunci:
Rekonstruksi, Teologi, Solusi Riil .
A.
Pendahuluan
Tumbuh mekarnya diskursus teologi ke arah perumusan
teologi baru adalah sebuah keniscayaan
sejarah. Pada abad tengah, al-Ghazali pernah mengeluh tentang manfaat ilmu
“kalam” dalam pemikiran Islam,[1]
sedang dalam era modern sekarang ini Fazlur Rahman juga menyatakan hal yang
sama.[2]
Oleh kaum pendukung positivisme di Barat, teologi pernah dituduh sebagai bentuk
diskursus yang bersifat meaningless.[3]
Dari berbagai catatan yang bersifat minor terhadap
teologi, adalah suatu keharusan untuk mereformulasikan konsepsi teologi
sehingga dapat kondusif untuk menjawab tantangan riil kemanusiaan universal dan
kehidupan kontemporer.
Asumsi di atas berpijak pada pemikiran, bahwa teologi
bukanlah agama, terlebih-lebih lagi teologi adalan bukan Tuhan. Teologi tidak
lain dan tidak bukan adalah hasil rumusan akal pikiran manusia yang
terkondisikan oleh waktu dan situasi sosial yang ada pada saat rumusan itu
dipaparkan, baik itu oleh mu’tazilah, asy’ariyah, Karl Barth, Paul Tillich,
Martin Buber dan yang lain-lainnya. Rumusan itu sudah barang tentu terbatas
oleh ruang, waktu dan tingkat pengetahuan manusia yang tumbuh sampai saat ini,
serta situasi politik tertentu. Meskipun sumber teologi adalah kitab suci
masing-masing agama, namun rumusan hasil ekstrapolasi pemikiran teologis tidak lain adalah hasil karya akal pikiran
manusia yang bersifat fallible.[4]
Perumusan baru kembali teologi tentu saja tidak
bermaksud mengubah doktrin sentral tentang ketuhanan, tentang keesaan Tuhan,
melainkan suatu upaya reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual
atau kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan empiris menurut perspektif
ketuhanan.
Kuntowijoyo menyebutkan dua pandangan yang berbeda
mengenai gagasan pembaharuan teologi. Pertama,
pandangan dari kalangan yang lebih menekankan pada kajian ulang mengenai
ajaran-ajaran normative dalam berbagai karya kalam klasik (refleksi normatif). Kedua, pandangan dari kalangan yang
cenderung menekankan perlunya reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas
kekinian yang empiris (refleksi actual-empiris).[5]
Dengan demikian perlu mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam “teori
sosial”. Sementara itu, teori sosial hanya mungkin jika mempedulikan
realitasnya.
Dalam terminologi teori sosial kritis (teori kritik
masyarakat) dikenal metode perumusan pemikiran melalui analisis “sosial
kritis”, sebagaimana yang dikemukakan Jurgen Habermas. Dalam teori Sosial
Kritis ala Habermas dikenal tiga kepentingan sosial yang berkepentingan teknis,
praktis dan emansipatoris dengan masing-masing sifat ilmunya yang
empiris-analitis, histories hermeneutis dan sosial kritis.[6]
Analisis ini cenderung berorientasi praktis dan
emansipatoris dalam bentuk perekayasaan
sosialnya. Analisis ini juga menghendaki pembebasan melalui “perubahan
structural” dengan terlebih dahulu, tentu saja mengandaikan adanya penindasan
structural. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa kemiskinan dan keterbelakangan
muncul karena masyarakat, terutama di dunia ketiga, secara structural baik
budaya, politik maupun teknik dikuasai oleh komunitas yang lebih maju, kaya dan
berkuasa. Pandangan di atas, menyiratkan perlunya gagasan rekonstruksi teologi,
yang dalam bentuk konkritnya dikenal sebagai “teologi pembebasan”.
Dalam tradisi pemikiran Islam kontemporer, gagasan
yang menghadapkan agama dengan proses pembebasan manusia sesungguhnya bukanlah
hal yang sama sekali baru. Tokoh-tokoh seperti Hassan Hanafi, Ali Syari’ati di
Iran, Ashgar Ali Engeneer memberikan gagasan teologi pembebasan.
B. Kritik Terhadap Teologi Tradisional.
Ada
beberapa pandangan dan kritik terhadap teologi tradisional, yang jika
disimpulkan dari sekian banyak kritik-kritiknya menjadi tiga hal penting di
antaranya:
Pertama,
secara histories, teologi tradisional lahir di dalam konteks ketika inti sistem
kepercayaan Islam, yakni transendensi Tuhan, diguncang oleh berbagai pengaruh
dari sekte-sekte dan budaya lama. Dengan keadaan seperti itu, disusun suatu
kerangka konseptual dengan menggunakan bahasa dan ketegori-kategori yang berlaku
pada saat itu, guna mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya.
Seluruh ilmu dialektik dibangun untuk mempertahankan diri (sebagai sebuah
konsep) dan untuk menolak yang lain (sebagai konsep tandingan).[7]
Kritik ini terfokus pada ketidakmunculan pembahasan
tentang sejarah dalam teologi tradisional. Para
penyusun teologi tidak menemukan adanya keperluan untuk mengaitkan Tuhan dengan
sejarah, dengan bumi serta dengan kehidupan manusia. Perbincangan mengenai
sejarah tidak muncul sebagai tema teoritis kecuali setelah perjalanan sejarah
terhenti. Tidak ada transformasi dari sejarah kepada objek intelektual; dari
praktis ke teori dari luar ke dalam dan dari realitas ke kesadaran.
Kedua,
secara terminologis, teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam
kehampaan kesejarahan, melainkan ia merefleksikan konflik-konflik sosial
politik. Karena itu kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan
dibenarkan. Sebagai produk pemikiran manusia, teologi terbuka untuk dikritik.
Teologi sesungguhnya bukan ilmu tentang Tuhan, yang secara etimologis berasal
dari kata theos dan logos, melainkan ia adalah ilmu tentang kata (‘ilm al-kalam), atau dalam istilah lain, logology.[8]
Ilmu kalam disebut demikian, karena persoalan yang
menjadi tema sentralnya adalah kalam atau “kata”, yakni kalam Allah. Namun
demikian, muncul pertanyaan sehubungan dengan penyebutan nama tersebut, yakni
apakah al-kalam itu sesungguhnya
“kalam Tuhan” ataukah ia hanya “kalam manusia”, karena betapapun firman Tuhan
dapat diketahui hanya setelah melalui pembacaan, penafsiran dan pemahaman
manusia. Jadi, pengetahuan tentang yang pertama mustahil diperoleh tanpa
melalui pengetahuan yang kedua. Dengan demikian, “kalam manusia” menjadi
diskursus tentang “kalam Tuhan” berdasarkan pemikiran, perasaan dan perkataan
manusia. Ia menjadi studi tentang “siapa dan bagaimana Tuhan” dan bukan
mengenai “apa kata Tuhan”[9]
Pada titik ini, teologi sesungguhnya merupakan
antropologi, yakni ilmu tentang manusia di mana ia menjadi sasaran firman dan
analisa diskursus. Teologi sebagai hermeneutic bukanlah ilmu suci, melainkan
merupakan ilmu sosial yang tersusun secara kemanusiaan.[10]
Teologi Islam tradisional sesungguhnya ia bukanlah
ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus
diterima begitu saja secara taken for granted. Ia adalah ilmu
kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi, falsifikasi
kepadanya, baik secara histories maupun editis.
Ketiga,
secara praxis, teologi tradisional telah tidak dapat menjadi sebuah “pandangan
yang benar-benar hidup” dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkrit
umat manusia. Secara praxis, teologi tradisional gagal menjadi semacam ideology
yang sungguh-sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim.
Kegagalan para teolog tradisional disebabkan oleh para penyusun teologi yang
tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia.
Akhibatnya muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktisnya
di kalangan umat. Keadaan serupa itu akan mudah melahirkan sikap-sikap moral ganda (an-nifaq)
atau “sinkretisme kepribadian”. Fenomena sinkritis ini tampak dalam kehidupan
umat Islam saat ini: sinkretisme antara kultur keagamaan dan sekularisme (dalam
kebudayaan), antara tradisional dan modern (peradaban), antara Timur dan Barat
(politik), antara konservatisme dan progresivisme (sosial) dan antara
kapitalisme dan sosialisme (ekonomi).[11]
Sebenarnya masyarakat tradisional masih tetap memiliki
sejumlah iman dan amal yang cukup memadai, bahkan terkadang hingga tingkat
saling mengutuk dan perang doktrin. Menyikapi hal ini maka tokoh teologi
kontemporer Hassan Hanafi berkomentar:
“History was in the making and
does not create a theoretical problem such as the theory of essence, Attributes
and Acts of God. Nowadays, the historical setting changed. Belief in the Unity
and Justice of God is sane and safe even without reactivation. But the Moslem
world is lost in history and pushed away from the center to the periphery.
Prophets do not live in present historical consciousness”.[12]
Dengan demikian sejarah mestinya merupakan proses
menuju pendewasaan, dan justru bukan menciptakan problem-problem teoritis
seperti teori Zat, Sifat dan Perbuatan. Kepercayaan tentang keesaan dan
keadilan Tuhan memang sah dan sehat, bahkan sekalipun tanpa pengaktifan
kembali. Namun dunia muslim saat ini tersesat dalam sejarah, terlempar dari
intinya ke pinggiran. Para Nabi (dalam arti semangat kenabian) tidak hidup
dalam kesadaran kesejarahan.
Kemudian Hanafi menegaskan:
“Eschatology is figurized in space
and time, not as an earthly future of
mankind. Action is dissociated from faith and political leadership became
equated to despotism and dictatorship. There is right and wrong in textual beliefs. Theology can develop again
to continue its effort of rationalitation.”[13]
Eskatologi digambarkan tidak sebagai sebuah masa depan
kebumian manusia. Amal terpisah dari iman. Kepemimpinan disamakan dengan
despotisme dan kediktatoran. Pendeknya, Hanafi berkesimpulan bahwa, ada yang
benar tetapi ada yang salah dalam keimana-keimanan tekstual.
C.
Rekonstruksi Teologi Menuju Realita
Empirik
Secara
histories, teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia
sarat dengan konflik
sosial-politik. Teologi telah
gagal pada dua tingkat: pertama, pada
tingkat teoritis, gagal mendapat pembuktian ilmiah dan filosofis, kedua, pada tingkat praxis, gagal karena
hanya meciptakan apatisme dan negativisme.
Tentang sejarah teologi tradisional maka Hanafi
menjelaskan:
“Indeed, every traditional
treatise on theology is dedicated to the Sultan, having all the titles of the
world. The praise of the Sultan is parallel to the praise of God, thanks to
Sultan are also parallel to thanks to God.”[14]
Teologi tradisional memang merupakan sejarah
persembahan kepada sang penguasa, pengabdian pada para sultan. Memuji sultan
berarti memuji Tuhan, berterima kasih pada sultan sama dengan bersyukur pada
Tuhan. Karena demikian, maka agama yang sesungguhnya memiliki fungsi pembebasan
dan control sosial, jatuh kedudukannya menjadi sekedar instrument legitimasi
bagi status quo.
Adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang
bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi serta
dibangun kembali epistimologi lama yang rancu dan palsu kepada epistemology
baru yang sahih dan lebih signifikan. Rekonstruksi teologi yang merupakan
bagian dari proyek besar adalah reaktualisasi keilmuan Islam yang dapat
diartikan sebagai dinamisasi-reaktualisasi (al-ihya’)
ajaran-ajaran Islam. Dan melalui buku min
al-Aqidah ila as-Saurah, Hanafi mencoba melakukan penafsiran ulang dan
mengkonstruksikan kembali tema-tama teologi Islam tradisional.
Tujuan rekonstruksi teologi ini adalah menjadikan
teologi tidak sekedar sebagai dogma-dogma keagamaan yang kosong melainkan
menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yang menjadikan
keimanan-keimanan tradisional berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan
motivasi tindakan manusia. Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekspresikan
suatu bangunan sosial tertentu. Sistem kepercayaan menjadi sarana bagi gerakan
sosial tidak lain adalah gerakan bagi mayoritas yang diam (the silent majority), maka sistem kepercayaan memiliki fungsi
revolusi. Karena memiliki fungsi revolusi, maka tujuan final rekonstruksi
teologi tradisional adalah revolusi sosial. Mengaitkan revolusi dengan agama di
masa sekarang adalah sama halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syari’at di
masa lalu, di mana filsafat menjadi tuntunan zaman saat itu.
Dalam sejarah keagamaan, di mana nabi-nabi telah tampil
sebagai tokoh-tokoh pembaharu dan penggerak revolusi sosial. Ibrahim telah
melakukan revolusi tauhid menentang antropomorfisme. Revolusi Musa adalah
revolusi pembelahan melawan depotisme dan kesewenang-wenangan. Isa tampil
dengan revolusi jiwa melawan pemberhalaan materi. Sedangkan Muhammad terjun di
pihak orang-orang miskin untuk melawan revolusi menghadapi kaum kaya dan
tuan-tuan Quraisy, guna menegakkan sebuah masyarakat yang menganut
prinsip-prinsip kebenaran, persaudaraan dan persamaan.[15]
Sesungguhnya fungsi agama yang semula, yaitu sebagai
landasan etik-teoritis dan motivasi bertindak menuju revolusi dan transformasi
sosial. Langkah melakukan revolusi rekonstruksi teologi sesungguhnya dilatari
oleh sekurang-kurangnya tiga hal : Pertama,
kebutuhan akan adanya sebuah ideology yang jelas di tengah-tengah pertarungan
global antara berbagai ideology. Kedua,
pentingnya teologi baru ini bukan semata
pada sisi teoritiknya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk
secara nyata mewujudkan ideology sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu
kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem penduduk tanah di negara-negara
muslim. Ketiga, kepentingan teologi
yang bersifat praktis (‘amaliyah fi’liyah)
yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam
dunia Islam.
Rekonstruksi teologi adalah salah satu cara yang mesti
ditempuh jika diharapkan teologi dapat memberikan sumbangan yang kongkrit bagi
sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-tama untuk
mentrasformasikan teologi menuju antropologi, sebagai wacana tentang
kemanusiaan, baik secara ekstensial, kognitif maupun kesejarahan.. Untuk itu
ungkapan “teologi menjadi antropologi” merupakan cara “ilmiah” untuk megatasi
keterasingan teologi itu sendiri. Cara ini dilakukan dengan melakukan
pembalikan seperti yang pernah dilakukan Karl Marx terhadap filsafat Hegel.
Hegel dengan dialektika, kata Marx, berjalan dengan kepala. Dengan dialektika
materialnya, Marx mengajak kita untuk menjadi normal lagi, yaitu berjalan dengan
kaki.
Upaya mentransformasikan teologi menuju antropologi
ini mewujudkan pemahaman yang metafisik dan samar menjadi teraplikasi dalam
kehidupan nyata yakni dari Tuhan ke
bumi, dari keabadian ke waktu, dari takdir kekehendak bebas, dari otoritas ke
akal, dari teori ke tindakan, dari karisma ke partisipasi massa, dari jiwa ke
tubuh, dari rohani ke jasmani, dari etika individual ke politik sosial, dari
meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka, dari organisasi sufi ke gerakan
sosio-politik, dari nilai pasif ke nilai aktif, dari kondisi-kondisi psikologis
ke perjuangan sosial, dari vertikal ke horisontal, dari langkah moral ke
periode sejarah, dari dunia lain ke dunia ini, dan dari kesatuan khayal ke
penyatuan nyata.
Selanjutnya ada dua hal guna memperoleh kesempurnaan
teori ilmu dalam teologi Islam yaitu:
Pertama,
analisa bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisional adalah
warisan nenek moyang di bidang teologi, yang merupakan bahasa khas yang
seolah-olah sudah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional memiliki
istilah-istilah khas seperti Allah, Iman, akhirat. Semua ini sebenarnya
menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empirik-rasional
seperti iman, amal dan imamah, dan ada yang histories seperti nubuwah serta ada
pula yang metafisik seperti Allah dan Akhirat.
Kedua, analisa
realitas. Analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang
histories-sosiologis munculnya teologi di masa lalu, mendeskripsikannya
pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia
punya kekuatan mengarahkan terhadap perilaku para pendukungnya. Analisa
realitas ini berguna untuk menentukan stressing
ke arah mana teologi kontemporer harus diorientasikan.[16]
Dari tawaran konsep di atas, sesungguhnya merupakan upaya untuk mencoba
melakukan penafsiran ulang secara metaforis-analogis terhadap tema tema teologi
tradisional, setelah sebelumnya membongkar kelemahan-kelemahan serta
mengkonstruksikannya kembali epistemologi dan ontologi teologi.
Untuk itu Zat dan sifat Tuhan dideskripsikan secara
metaforis, dan transcendental Tuhan sebenarnya merupakan deskripsi manusia
ideal, yakni kesan menusia akan idealitasnya, proyeksi di hadapannya tentang
kesan ideal dirinya pada dirinya sendiri. Teori Zat mereflesikan kesadaran
murni atau cogito yaitu persepsi
dirinya. Teori sifat (cogitatum)
mendiskripsikan kesadaran sebagai persepsi dunia, sebagai kesadaran yang lebih menggunakan desain, sebuah
kesadaran akan berbagai persepsi dan ekspresi teori lain.[17]
Selanjutnya bahwa sifat-sifat Tuhan juga mengungkapkan
kesadaran manusia lain. Setelah Zat dipertegas sebagai kemurnian kesadaran
manusia, ia menjadi persepsi dunia. Setiap kesadaran adalah kesadaran sesuatu.
Zat menampakkan diri dalam sifat-sifat sebagai kesadaran yang dibangkitkan oleh
persepsi. Zat dikaitkan dengan dunia melalui sifat-sifat sebagai kesadaran yang
cenderung kepada dunia melalui persepsi. Zat Tuhan memiliki enam deskripsi (ausaf), maka sifat-sifat-Nya (sifah) ada tujuh: mengetahui, berkuasa,
hidup, mendengar, melihat, berbicara, dan berhendak.[18]
Sesungguhnya deskripsi Zat Tuhan adalah metafora yang didasarkan atas
suatu analogi antara Tuhan dengan manusia. Untuk itu term-term keagamaan dari
yang spiritual dan sakral sifatnya sesungguhnya harus mampu direalisasikan
menjadi yang material, dari yang bersifat teologis menjadi antropologis. Asal
usul deskripsi kepercayaan ini dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian dan
pandangan dunia umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang lebih
berorientasi ke realitas empirik. Tuhan dalam Islam adalah Tuhan Langit dan
Bumi (Rabb al-Samawat wa al-Ard),
sehingga berjuang membela dan mempertahankan tanah kaum muslimin sama persis
dengan membela dan mempertahankan kekuasaan Tuhan.
Berkaitan dengan di atas, secara lebih rinci mendeskripsikan
sifat Tuhan secara metaforis sebagaimana berikut ini: Pertama, Wujud sebagai wujud empirik manusia yaitu realitas kemanusiaan.[19] Kedua, Qidam (dahulu) berarti pengalaman
kesejarahan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia di dalam sejarah, memberinya
dimensi histories untuk secara terus-menerus melihat secara realitas.[20] Ketiga, Baqo’ adalah untuk kebaikan
rizki, kemaslahatan yang diperlawankan dengan kerusakan di bumi. Keempat, Mukhalafah al-hawadis dan Qiyamuh binafsihi adalah deskripsi yang
mengungkap secara orisinal tentang transendensi (tanzih), ia menolak segala bentuk antropomorfisme.[21] Kelima, al-wahdaniyah ditafsirkan
sebagai sebuah eksperimentasi kemanusiaan. Menyingkapi pengalaman umum
kemanusiaan tentang kesatuan, kesatuan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib,
kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.[22]
Pada penjelasan selanjutnya, tauhid lebih dekat kepada
prinsip rasional murni: tanzih
(transcendental) lebih mencerminkan akal dari pada tasybih (antropomorfisme), dan bahwa kesatuan
antara Zat (Essensi) dan sifat (aksidensi) lebih dekat pada rasa
keadailan dari pada memisahkan keduanya.[23]
D. Penutup
Seorang spiritualis sesungguhnya orang-orang
yang tidak hanya memahami ajaran tentang Ketuhanan yang metafisik dan
samar secara dogmatis an sich tetapi ia hendaknya mampu mengaplikasikan
dalam kehidupan nyata yang lebih berorientasi ke realitas
empirik. Untuk itu seorang yang
spiritualis sesungguhnya merupakan deskripsi manusia ideal, yakni kesan menusia
akan idealitasnya, proyeksi di hadapannya tentang kesan ideal dirinya pada
dirinya sendiri. Seorang spiritualis,
sejatinya merupakan figur yang seharusnya mampu mewarnai kehidupannya dengan
asma dan sifat-sifat Allah yang agung. Sehingga ia menjadi manusia yang produktif,
dinamis, progresif, yang mampu menjawab tantangan, serta memberi kontribusi
positif pada masyarakat dan zamannya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdullah, M. Amin. “Teologi
dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi Ilmu dan Budaya”, Makalah. Yogyakarta :
1992.
Hanafi, Hasan. From Faith to Revolution. Spanyol: Cordoba , 1985.
---------. Agama, Ideologi dan Pembangunan, Terj.
Shonhaji Sholeh. Jakarta :
P3M, 1991.
---------. Min al-Aqidah ila as-Saurah. vol. I,
Kairo: Maktabah Madbuli, 1991.
---------. Al-Yasar al-Islami. Kairo: t.p., 1981
---------. Morality and Integrity of Islamic Society. USA : Durham
New Hampshire , 1980.
Hanfling, Oswald. Essential Readings in Logical Pasitivism. Oxford : basil
Blackwell,1981.
Kuntowijoyo. “Perlunya Ilmu
Sosial Propetik”, dalam Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi. Bandung :
Mizan, 1991.
Rahman, Bhudy Munawar.
“Pemikiran Teologi Sosial Kaum Pembaharu Islam Indonesia Masa Orde Baru. Jakarta :Yayasan
Paramadina, 1992.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition. Chicago : The University of Chicago Press, 1982.
Watt, W. Montgomery . The Faith and Practice of a-Ghazali. London : George Alen and Unwin Ltd., 1970.
[1] Lihat M.
Amin Abdullah. “Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi Ilmu dan
Budaya”, Makalah (Yogyakarta ,
1992) p. 9-10. W. Montgomery Watt. The Faith and Practice of a-Ghazali (London:
George Alen and Unwin Ltd., 1970) p. 27-28.
[2] Fazlur
Rahman. Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of
Chicago Press, 1982) p. 158.
[3]
Oswald Hanfling. Essential Readings in Logical
Pasitivism (Oxford: basil Blackwell,1981) p. 10-11.
[4] M.
Amin Abdullah. Teologi…, p. 10.
[5]
Kuntowijoyo. “Perlunya Ilmu Sosial Propetik”, dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), p.
286-287.
[6]
Lihat Bhudy Munawar-Rahman. “Pemikiran Teologi Sosial Kaum Pembaharu Islam Indonesia
Masa Orde Baru, Manuskrip(Jakarta:Yayasan
Paramadina, 1992) p. 2.
[7] Hasan
Hanafi, From Faith to Revolution
(Spanyol: Cordoba, 1985) p. 4-5.
[8] Hanafi. Agama…., p. 7.
[9] Hanafi. Min al-Aqidah ila as-Saurah (Kairo:
Maktabah Madbuli, 1991) vol. I, p. 59.
[10] Hanafi.
“From Faith…,p. 7.
[11] Lihat
Hanafi. Min al-Aqidah…, p. 67-68.
[12] Lihat
Hanafi. “From Faith…, p. 8
[13] Ibid., p. 8-9.
[14] Lihat
Hanafi. Min al-Aqidah…, I p. 67-68.
Hanafi. “From Faith…, p. 3.
[15] Ibid, p. 30.
[16] Hanafi.
Agama, Ideologi dan Pembangunan., p. 408-409.
[17] Hanafi.
“From Faith…, p. 154.
[18] Hanafi
. Agama…, p. 21-22.
[19] Hanafi.
Min al-Aqidah…, p. 112-113.
[20] Ibid., p. 130.
[21] Ibid., p. 143.
[22] Ibid., p. 338.
[23] Hanafi.
“Maza Ya’ni al Yasar al-Islam?”, dalam Al-Yasar
al-Islami (Kairo: t.p., 1981) p. 13-14.
0 komentar:
Posting Komentar