Selasa, 22 Januari 2013

Rekonstruksi Teologi Sebagai Solusi Riil Kemanusiaan Kontemporer (Telaah Atas Metodologi Hassan Hanafi) OLeh: Dr. KH. Djoko Hartono, S.Ag, M.Ag, M.M


Abstraksi
Perdebatan mengenai manfaat mempelajari teologi tidak hanya terjadi pada era kontemporer saat ini. Jauh hari sebelumnya pro dan kontra tentang pandangan teologi memunculkan berbagai aliran-aliran yang tidak jarang menyebabkan perpecahan dikalangan umat.  Hal ini disebabkan karena teologi merupakan hasil rumusan akal pikiran manusia yang terkondisikan oleh waktu dan situasi social, terbatas oleh ruang, waktu dan tingkat pengetahuan manusia, serta situasi politik tertentu. Untuk itu sejatinya pemikiran teologis adalah hasil karya akal pikiran manusia yang bersifat fallible.
Bertitik tolak dari sini maka perlu adanya kritik dan rekonstruksi sebagai upaya agar kehadiran teologi mampu memberi solusi riil kemanusian dalam kehidupan kontemporer. Rekonstruksi teologi adalah salah satu cara yang mesti ditempuh jika diharapkan dapat memberikan sumbangan yang kongkrit. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-tama untuk mentrasformasikan teologi menuju antropologi, sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara ekstensial, kognitif maupun kesejarahan.. Ini merupakan cara “ilmiah” untuk mengatasi keterasingan teologi itu sendiri.
Upaya mentransformasikan teologi menuju antropologi ini mewujudkan pemahaman yang metafisik dan samar menjadi teraplikasi dalam kehidupan  nyata yakni dari Tuhan ke bumi, dari keabadian ke waktu, dari takdir kekehendak bebas, dari teori ke tindakan, dari rohani ke jasmani, dari meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka, dari organisasi sufi ke gerakan sosio-politik, dari nilai pasif ke nilai aktif, dari vertikal ke horisontal, dari dunia lain ke dunia ini, dan dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata.

Kata Kunci: Rekonstruksi, Teologi,  Solusi Riil .


A.    Pendahuluan
Tumbuh mekarnya diskursus teologi ke arah perumusan teologi baru  adalah sebuah keniscayaan sejarah. Pada abad tengah, al-Ghazali pernah mengeluh tentang manfaat ilmu “kalam” dalam pemikiran Islam,[1] sedang dalam era modern sekarang ini Fazlur Rahman juga menyatakan hal yang sama.[2] Oleh kaum pendukung positivisme di Barat, teologi pernah dituduh sebagai bentuk diskursus yang bersifat meaningless.[3]
Dari berbagai catatan yang bersifat minor terhadap teologi, adalah suatu keharusan untuk mereformulasikan konsepsi teologi sehingga dapat kondusif untuk menjawab tantangan riil kemanusiaan universal dan kehidupan kontemporer.
Asumsi di atas berpijak pada pemikiran, bahwa teologi bukanlah agama, terlebih-lebih lagi teologi adalan bukan Tuhan. Teologi tidak lain dan tidak bukan adalah hasil rumusan akal pikiran manusia yang terkondisikan oleh waktu dan situasi sosial yang ada pada saat rumusan itu dipaparkan, baik itu oleh mu’tazilah, asy’ariyah, Karl Barth, Paul Tillich, Martin Buber dan yang lain-lainnya. Rumusan itu sudah barang tentu terbatas oleh ruang, waktu dan tingkat pengetahuan manusia yang tumbuh sampai saat ini, serta situasi politik tertentu. Meskipun sumber teologi adalah kitab suci masing-masing agama, namun rumusan hasil ekstrapolasi pemikiran teologis  tidak lain adalah hasil karya akal pikiran manusia yang bersifat fallible.[4]
Perumusan baru kembali teologi tentu saja tidak bermaksud mengubah doktrin sentral tentang ketuhanan, tentang keesaan Tuhan, melainkan suatu upaya reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual atau kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan empiris menurut perspektif ketuhanan.
Kuntowijoyo menyebutkan dua pandangan yang berbeda mengenai gagasan pembaharuan teologi. Pertama, pandangan dari kalangan yang lebih menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normative dalam berbagai karya kalam klasik (refleksi normatif). Kedua, pandangan dari kalangan yang cenderung menekankan perlunya reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris (refleksi actual-empiris).[5] Dengan demikian perlu mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam “teori sosial”. Sementara itu, teori sosial hanya mungkin jika mempedulikan realitasnya.
Dalam terminologi teori sosial kritis (teori kritik masyarakat) dikenal metode perumusan pemikiran melalui analisis “sosial kritis”, sebagaimana yang dikemukakan Jurgen Habermas. Dalam teori Sosial Kritis ala Habermas dikenal tiga kepentingan sosial yang berkepentingan teknis, praktis dan emansipatoris dengan masing-masing sifat ilmunya yang empiris-analitis, histories hermeneutis dan sosial kritis.[6]
Analisis ini cenderung berorientasi praktis dan emansipatoris  dalam bentuk perekayasaan sosialnya. Analisis ini juga menghendaki pembebasan melalui “perubahan structural” dengan terlebih dahulu, tentu saja mengandaikan adanya penindasan structural. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa kemiskinan dan keterbelakangan muncul karena masyarakat, terutama di dunia ketiga, secara structural baik budaya, politik maupun teknik dikuasai oleh komunitas yang lebih maju, kaya dan berkuasa. Pandangan di atas, menyiratkan perlunya gagasan rekonstruksi teologi, yang dalam bentuk konkritnya dikenal sebagai “teologi pembebasan”.
Dalam tradisi pemikiran Islam kontemporer, gagasan yang menghadapkan agama dengan proses pembebasan manusia sesungguhnya bukanlah hal yang sama sekali baru. Tokoh-tokoh seperti Hassan Hanafi, Ali Syari’ati di Iran, Ashgar Ali Engeneer memberikan gagasan teologi pembebasan.
B.     Kritik Terhadap Teologi Tradisional.
Ada beberapa pandangan dan kritik terhadap teologi tradisional, yang jika disimpulkan dari sekian banyak kritik-kritiknya menjadi tiga hal penting di antaranya:
Pertama, secara histories, teologi tradisional lahir di dalam konteks ketika inti sistem kepercayaan Islam, yakni transendensi Tuhan, diguncang oleh berbagai pengaruh dari sekte-sekte dan budaya lama. Dengan keadaan seperti itu, disusun suatu kerangka konseptual dengan menggunakan bahasa dan ketegori-kategori yang berlaku pada saat itu, guna mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya. Seluruh ilmu dialektik dibangun untuk mempertahankan diri (sebagai sebuah konsep) dan untuk menolak yang lain (sebagai konsep tandingan).[7]
Kritik ini terfokus pada ketidakmunculan pembahasan tentang sejarah dalam teologi tradisional. Para penyusun teologi tidak menemukan adanya keperluan untuk mengaitkan Tuhan dengan sejarah, dengan bumi serta dengan kehidupan manusia. Perbincangan mengenai sejarah tidak muncul sebagai tema teoritis kecuali setelah perjalanan sejarah terhenti. Tidak ada transformasi dari sejarah kepada objek intelektual; dari praktis ke teori dari luar ke dalam dan dari realitas ke kesadaran.
Kedua, secara terminologis, teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan ia merefleksikan konflik-konflik sosial politik. Karena itu kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran manusia, teologi terbuka untuk dikritik. Teologi sesungguhnya bukan ilmu tentang Tuhan, yang secara etimologis berasal dari kata theos dan logos, melainkan ia adalah ilmu tentang kata (‘ilm al-kalam), atau dalam istilah lain, logology.[8]
Ilmu kalam disebut demikian, karena persoalan yang menjadi tema sentralnya adalah kalam atau “kata”, yakni kalam Allah. Namun demikian, muncul pertanyaan sehubungan dengan penyebutan nama tersebut, yakni apakah al-kalam itu sesungguhnya “kalam Tuhan” ataukah ia hanya “kalam manusia”, karena betapapun firman Tuhan dapat diketahui hanya setelah melalui pembacaan, penafsiran dan pemahaman manusia. Jadi, pengetahuan tentang yang pertama mustahil diperoleh tanpa melalui pengetahuan yang kedua. Dengan demikian, “kalam manusia” menjadi diskursus tentang “kalam Tuhan” berdasarkan pemikiran, perasaan dan perkataan manusia. Ia menjadi studi tentang “siapa dan bagaimana Tuhan” dan bukan mengenai “apa kata Tuhan”[9]
Pada titik ini, teologi sesungguhnya merupakan antropologi, yakni ilmu tentang manusia di mana ia menjadi sasaran firman dan analisa diskursus. Teologi sebagai hermeneutic bukanlah ilmu suci, melainkan merupakan ilmu sosial yang tersusun secara kemanusiaan.[10]
Teologi Islam tradisional sesungguhnya ia bukanlah ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima  begitu saja secara taken for granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi, falsifikasi kepadanya, baik secara histories maupun editis.
Ketiga, secara praxis, teologi tradisional telah tidak dapat menjadi sebuah “pandangan yang benar-benar hidup” dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkrit umat manusia. Secara praxis, teologi tradisional gagal menjadi semacam ideology yang sungguh-sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional disebabkan oleh para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akhibatnya muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktisnya di kalangan umat. Keadaan serupa itu akan mudah melahirkan  sikap-sikap moral ganda (an-nifaq) atau “sinkretisme kepribadian”. Fenomena sinkritis ini tampak dalam kehidupan umat Islam saat ini: sinkretisme antara kultur keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), antara tradisional dan modern (peradaban), antara Timur dan Barat (politik), antara konservatisme dan progresivisme (sosial) dan antara kapitalisme dan sosialisme (ekonomi).[11]
Sebenarnya masyarakat tradisional masih tetap memiliki sejumlah iman dan amal yang cukup memadai, bahkan terkadang hingga tingkat saling mengutuk dan perang doktrin. Menyikapi hal ini maka tokoh teologi kontemporer Hassan Hanafi berkomentar:
History was in the making and does not create a theoretical problem such as the theory of essence, Attributes and Acts of God. Nowadays, the historical setting changed. Belief in the Unity and Justice of God is sane and safe even without reactivation. But the Moslem world is lost in history and pushed away from the center to the periphery. Prophets do not live in present historical consciousness”.[12]

Dengan demikian sejarah mestinya merupakan proses menuju pendewasaan, dan justru bukan menciptakan problem-problem teoritis seperti teori Zat, Sifat dan Perbuatan. Kepercayaan tentang keesaan dan keadilan Tuhan memang sah dan sehat, bahkan sekalipun tanpa pengaktifan kembali. Namun dunia muslim saat ini tersesat dalam sejarah, terlempar dari intinya ke pinggiran. Para Nabi (dalam arti semangat kenabian) tidak hidup dalam kesadaran kesejarahan.
Kemudian Hanafi menegaskan:
“Eschatology is figurized in space and time, not  as an earthly future of mankind. Action is dissociated from faith and political leadership became equated to despotism and dictatorship. There is right and wrong in  textual beliefs. Theology can develop again to continue its effort of rationalitation.”[13]

Eskatologi digambarkan tidak sebagai sebuah masa depan kebumian manusia. Amal terpisah dari iman. Kepemimpinan disamakan dengan despotisme dan kediktatoran. Pendeknya, Hanafi berkesimpulan bahwa, ada yang benar tetapi ada yang salah dalam keimana-keimanan tekstual.
C.    Rekonstruksi Teologi Menuju Realita Empirik
Secara histories, teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia sarat  dengan konflik sosial-politik.  Teologi telah gagal pada dua tingkat: pertama, pada tingkat teoritis, gagal mendapat pembuktian ilmiah dan filosofis, kedua, pada tingkat praxis, gagal karena hanya meciptakan apatisme dan negativisme.
Tentang sejarah teologi tradisional maka Hanafi menjelaskan:
“Indeed, every traditional treatise on theology is dedicated to the Sultan, having all the titles of the world. The praise of the Sultan is parallel to the praise of God, thanks to Sultan are also parallel to thanks to God.”[14]

Teologi tradisional memang merupakan sejarah persembahan kepada sang penguasa, pengabdian pada para sultan. Memuji sultan berarti memuji Tuhan, berterima kasih pada sultan sama dengan bersyukur pada Tuhan. Karena demikian, maka agama yang sesungguhnya memiliki fungsi pembebasan dan control sosial, jatuh kedudukannya menjadi sekedar instrument legitimasi bagi status quo.
Adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi serta dibangun kembali epistimologi lama yang rancu dan palsu kepada epistemology baru yang sahih dan lebih signifikan. Rekonstruksi teologi yang merupakan bagian dari proyek besar adalah reaktualisasi keilmuan Islam yang dapat diartikan sebagai dinamisasi-reaktualisasi (al-ihya’) ajaran-ajaran Islam. Dan melalui buku min al-Aqidah ila as-Saurah, Hanafi mencoba melakukan penafsiran ulang dan mengkonstruksikan kembali tema-tama teologi Islam tradisional.
Tujuan rekonstruksi teologi ini adalah menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma-dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekspresikan suatu bangunan sosial tertentu. Sistem kepercayaan menjadi sarana bagi gerakan sosial tidak lain adalah gerakan bagi mayoritas yang diam (the silent majority), maka sistem kepercayaan memiliki fungsi revolusi. Karena memiliki fungsi revolusi, maka tujuan final rekonstruksi teologi tradisional adalah revolusi sosial. Mengaitkan revolusi dengan agama di masa sekarang adalah sama halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syari’at di masa lalu, di mana filsafat menjadi tuntunan zaman saat itu.
Dalam sejarah keagamaan, di mana nabi-nabi telah tampil sebagai tokoh-tokoh pembaharu dan penggerak revolusi sosial. Ibrahim telah melakukan revolusi tauhid menentang antropomorfisme. Revolusi Musa adalah revolusi pembelahan melawan depotisme dan kesewenang-wenangan. Isa tampil dengan revolusi jiwa melawan pemberhalaan materi. Sedangkan Muhammad terjun di pihak orang-orang miskin untuk melawan revolusi menghadapi kaum kaya dan tuan-tuan Quraisy, guna menegakkan sebuah masyarakat yang menganut prinsip-prinsip kebenaran, persaudaraan dan persamaan.[15]
Sesungguhnya fungsi agama yang semula, yaitu sebagai landasan etik-teoritis dan motivasi bertindak menuju revolusi dan transformasi sosial. Langkah melakukan revolusi rekonstruksi teologi sesungguhnya dilatari oleh sekurang-kurangnya tiga hal : Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideology yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideology. Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan  semata pada sisi teoritiknya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideology sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem penduduk tanah di negara-negara muslim. Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praktis (‘amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Rekonstruksi teologi adalah salah satu cara yang mesti ditempuh jika diharapkan teologi dapat memberikan sumbangan yang kongkrit bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-tama untuk mentrasformasikan teologi menuju antropologi, sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara ekstensial, kognitif maupun kesejarahan.. Untuk itu ungkapan “teologi menjadi antropologi” merupakan cara “ilmiah” untuk megatasi keterasingan teologi itu sendiri. Cara ini dilakukan dengan melakukan pembalikan seperti yang pernah dilakukan Karl Marx terhadap filsafat Hegel. Hegel dengan dialektika, kata Marx, berjalan dengan kepala. Dengan dialektika materialnya, Marx mengajak kita untuk menjadi normal lagi, yaitu berjalan dengan kaki.
Upaya mentransformasikan teologi menuju antropologi ini mewujudkan pemahaman yang metafisik dan samar menjadi teraplikasi dalam kehidupan  nyata yakni dari Tuhan ke bumi, dari keabadian ke waktu, dari takdir kekehendak bebas, dari otoritas ke akal, dari teori ke tindakan, dari karisma ke partisipasi massa, dari jiwa ke tubuh, dari rohani ke jasmani, dari etika individual ke politik sosial, dari meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka, dari organisasi sufi ke gerakan sosio-politik, dari nilai pasif ke nilai aktif, dari kondisi-kondisi psikologis ke perjuangan sosial, dari vertikal ke horisontal, dari langkah moral ke periode sejarah, dari dunia lain ke dunia ini, dan dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata.
Selanjutnya ada dua hal guna memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam yaitu:
Pertama, analisa bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisional adalah warisan nenek moyang di bidang teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah sudah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional memiliki istilah-istilah khas seperti Allah, Iman, akhirat. Semua ini sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, dan ada yang histories seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan Akhirat.
Kedua, analisa realitas. Analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang histories-sosiologis munculnya teologi di masa lalu, mendeskripsikannya pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia punya kekuatan mengarahkan terhadap perilaku para pendukungnya. Analisa realitas ini berguna untuk menentukan stressing ke arah mana teologi kontemporer harus diorientasikan.[16]
Dari tawaran konsep di atas, sesungguhnya merupakan upaya untuk mencoba melakukan penafsiran ulang secara metaforis-analogis terhadap tema tema teologi tradisional, setelah sebelumnya membongkar kelemahan-kelemahan serta mengkonstruksikannya kembali epistemologi dan ontologi teologi.
Untuk itu Zat dan sifat Tuhan dideskripsikan secara metaforis, dan transcendental Tuhan sebenarnya merupakan deskripsi manusia ideal, yakni kesan menusia akan idealitasnya, proyeksi di hadapannya tentang kesan ideal dirinya pada dirinya sendiri. Teori Zat mereflesikan kesadaran murni atau cogito yaitu persepsi dirinya. Teori sifat (cogitatum) mendiskripsikan kesadaran sebagai persepsi dunia, sebagai kesadaran  yang lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai persepsi dan ekspresi teori lain.[17]
Selanjutnya bahwa sifat-sifat Tuhan juga mengungkapkan kesadaran manusia lain. Setelah Zat dipertegas sebagai kemurnian kesadaran manusia, ia menjadi persepsi dunia. Setiap kesadaran adalah kesadaran sesuatu. Zat menampakkan diri dalam sifat-sifat sebagai kesadaran yang dibangkitkan oleh persepsi. Zat dikaitkan dengan dunia melalui sifat-sifat sebagai kesadaran yang cenderung kepada dunia melalui persepsi. Zat Tuhan memiliki enam deskripsi (ausaf), maka sifat-sifat-Nya (sifah) ada tujuh: mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, melihat, berbicara, dan berhendak.[18]
Sesungguhnya deskripsi Zat Tuhan adalah metafora yang didasarkan atas suatu analogi antara Tuhan dengan manusia. Untuk itu term-term keagamaan dari yang spiritual dan sakral sifatnya sesungguhnya harus mampu direalisasikan menjadi yang material, dari yang bersifat teologis menjadi antropologis. Asal usul deskripsi kepercayaan ini dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian dan pandangan dunia umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang lebih berorientasi ke realitas empirik. Tuhan dalam Islam adalah Tuhan Langit dan Bumi (Rabb al-Samawat wa al-Ard), sehingga berjuang membela dan mempertahankan tanah kaum muslimin sama persis dengan membela dan mempertahankan kekuasaan Tuhan.
Berkaitan dengan di atas, secara lebih rinci mendeskripsikan sifat Tuhan secara metaforis sebagaimana berikut ini: Pertama, Wujud sebagai wujud empirik manusia yaitu  realitas kemanusiaan.[19] Kedua, Qidam (dahulu) berarti pengalaman kesejarahan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia di dalam sejarah, memberinya dimensi histories untuk secara terus-menerus melihat secara realitas.[20] Ketiga, Baqo’ adalah untuk kebaikan rizki, kemaslahatan yang diperlawankan dengan kerusakan di bumi. Keempat, Mukhalafah al-hawadis dan Qiyamuh binafsihi adalah deskripsi yang mengungkap secara orisinal tentang transendensi (tanzih), ia menolak segala bentuk antropomorfisme.[21] Kelima, al-wahdaniyah ditafsirkan sebagai sebuah eksperimentasi kemanusiaan. Menyingkapi pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan, kesatuan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.[22]
Pada penjelasan selanjutnya, tauhid lebih dekat kepada prinsip rasional murni: tanzih (transcendental) lebih mencerminkan akal dari pada tasybih (antropomorfisme), dan bahwa kesatuan antara Zat (Essensi) dan sifat (aksidensi) lebih dekat pada rasa keadailan dari pada memisahkan keduanya.[23]
D. Penutup
Seorang spiritualis sesungguhnya orang-orang yang tidak hanya memahami ajaran tentang Ketuhanan yang metafisik dan samar secara dogmatis an sich tetapi ia hendaknya mampu mengaplikasikan dalam kehidupan  nyata yang lebih berorientasi ke realitas empirik. Untuk itu seorang yang spiritualis sesungguhnya merupakan deskripsi manusia ideal, yakni kesan menusia akan idealitasnya, proyeksi di hadapannya tentang kesan ideal dirinya pada dirinya sendiri. Seorang spiritualis, sejatinya merupakan figur yang seharusnya mampu mewarnai kehidupannya dengan asma dan sifat-sifat Allah yang agung. Sehingga ia menjadi manusia yang produktif, dinamis, progresif, yang mampu menjawab tantangan, serta memberi kontribusi positif pada masyarakat dan zamannya.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, M. Amin. “Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi Ilmu dan Budaya”, Makalah. Yogyakarta: 1992.

Hanafi, Hasan. From Faith to Revolution. Spanyol: Cordoba, 1985.

---------. Agama, Ideologi dan Pembangunan, Terj. Shonhaji Sholeh. Jakarta: P3M, 1991.

---------. Min al-Aqidah ila as-Saurah. vol. I, Kairo: Maktabah Madbuli, 1991.

---------. Al-Yasar al-Islami. Kairo: t.p., 1981

---------. Morality and Integrity of Islamic Society. USA: Durham New Hampshire, 1980. 

Hanfling, Oswald. Essential Readings in Logical Pasitivism. Oxford: basil Blackwell,1981.

Kuntowijoyo. “Perlunya Ilmu Sosial Propetik”, dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991.

Rahman, Bhudy Munawar. “Pemikiran Teologi Sosial Kaum Pembaharu Islam Indonesia Masa Orde Baru. Jakarta:Yayasan Paramadina, 1992.

Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1982.

Watt, W. Montgomery. The Faith and Practice of a-Ghazali. London: George Alen and Unwin Ltd., 1970.



[1] Lihat M. Amin Abdullah. “Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi Ilmu dan Budaya”, Makalah (Yogyakarta, 1992) p. 9-10. W. Montgomery Watt. The Faith and Practice of a-Ghazali (London: George Alen and Unwin Ltd., 1970) p. 27-28.
[2] Fazlur Rahman. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982) p. 158.
[3] Oswald Hanfling. Essential Readings in Logical Pasitivism (Oxford: basil Blackwell,1981) p. 10-11.
[4] M. Amin Abdullah. Teologi…, p. 10.
[5] Kuntowijoyo. “Perlunya Ilmu Sosial Propetik”, dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), p. 286-287.
[6] Lihat Bhudy Munawar-Rahman. “Pemikiran Teologi Sosial Kaum Pembaharu Islam Indonesia Masa Orde Baru, Manuskrip(Jakarta:Yayasan Paramadina, 1992) p. 2.
[7] Hasan Hanafi, From Faith to Revolution (Spanyol: Cordoba, 1985) p. 4-5.
[8] Hanafi. Agama…., p. 7.
[9] Hanafi. Min al-Aqidah ila as-Saurah (Kairo: Maktabah Madbuli, 1991) vol. I, p. 59.
[10] Hanafi. “From Faith…,p. 7.
[11] Lihat Hanafi. Min al-Aqidah…, p. 67-68.
[12] Lihat Hanafi. “From Faith…, p. 8
[13] Ibid., p. 8-9.
[14] Lihat Hanafi. Min al-Aqidah…, I p. 67-68. Hanafi. “From Faith…, p. 3.
[15] Ibid, p. 30.
[16] Hanafi. Agama, Ideologi dan Pembangunan.,  p. 408-409.
[17] Hanafi. “From Faith…, p. 154.
[18] Hanafi . Agama…, p. 21-22.
[19] Hanafi. Min al-Aqidah…, p. 112-113.
[20] Ibid., p. 130.
[21] Ibid., p. 143.
[22] Ibid., p. 338.
[23] Hanafi. “Maza Ya’ni al Yasar al-Islam?”, dalam Al-Yasar al-Islami (Kairo: t.p., 1981) p. 13-14.



0 komentar:

Posting Komentar