Stigma buruk
akan manajemen pondok pesantren (ponpes) di negeri ini nampaknya belum lenyap
betul. Jeleknya manajemen ponpes menyebabkan institusi pendidikan nonformal ini
dianggap sebagai lembaga pendidikan yang tetap melanggengkan status qua-nya
sebagai institusi pendidikan yang tradisional, konservatif, dan terbelakang. Anehnya
institusi pendidikan ini tetap diminati masyarakat dan tetap eksis dari tahun
ke tahun. Namun demikian tidak sedikit di antara ponpes yang ada, yang dulu
memiliki banyak santri kemudian menjadi tidak berpenghuni. Hingga belakangan
muncul ponpes tanpa santri.
Memasuki era
globalisasi saat ini, keberadaan ponpes sebagai lembaga pendidikan Islam tertua
di negeri ini tentu harus dikelola (manaj)
dengan lebih professional jika tidak ingin ditinggalkan masyarakat sebagai stakeholder. Arus global saat ini
menjadikan dunia informasi dan pengetahuan semakin mudah diakses masyarakat. Untuk
itu tidak menaruh kemungkinan ponpes yang dulu dijadikan pusat kajian keislaman
dan pengamalannya sekaligus, pada saatnya menjadi tidak diminati dan
ditinggalkan masyarakat sebagai pengguna jasa.
Hal ini sangat
beralasan karena kecenderungan masyarakat saat ini dalam mengkaji, memahami dan
mengamalkan ajaran keagamaan dari hasil penelitian penulis cenderung mengalami
kesadaran. Mereka menjadi santri dalam ruang global, dalam dunia maya, yang
kehadiarannya tanpa terikat dengan sekat dinding dan pagar yang tinggi
mengelilingi dan membatasi aktivitas kesehariannya.
Dari hasil
laporan penelitian yang penulis lakukan pada tahun 2009/2010 terhadap 30 kepala
sekolah favorit yang bernuansa Islam di Surabaya menunjukkan bahwa mereka yang
bukan alumni ponpes dengan jumalah 15 orang, pemahaman dan tingginya kesadaran
untuk melaksanakan sebagian dari ajaran Islam (spiritualitas) cenderung hampir
menyamai bahkan ada yang melebih baik dari mereka yang alumni ponpes yang
jumlahnya 15 pula. (Hartono, 2011: 84)
Tabel.
1
Pemahaman
dan Kesadaran Aktivitas Keagamaan
Bentuk Aktivitas
|
Alumni Ponpes
|
Bukan Alumni Ponpes
|
Salat Tahajud
|
12 Orang
|
10 Orang
|
Salat Duha
|
10 Orang
|
8 Orang
|
Salat Hajat
|
6 Orang
|
7 Orang
|
Puasa Senin Kamis
|
8 Orang
|
7 Orang
|
A.
Urgensi Pengembangan
Manajemen Bagi Pondok Pesantren (Ponpes)
Setiap pembicaraan yang di arahkan kepada manajemen maka yang terlintas
seringkali adalah perusahaan-perusahaan besar, raksasa, maju, berkelas dunia.
Sesungguhnya penerapan dan pengembangan manajemen yang baik dan professional
bukan hanya dibutuhkan dan milik perusahaan-perusahaan yang sukses tersebut.
Manajemen sejatinya merupakan bagian ilmu pengetahuan yang bersifat universal.
Selain sebagai ilmu, manajemen sejatinya juga sebagai seni, yang eksistensinya
juga dibutuhkan untuk semua tipe kegiatan yang diorganisasi dan dalam semua
tipe organisasi. Dalam prakteknya manajemen dibutuhkan dan penting untuk
dikembangkan di mana saja jika ada sekolompok orang bekerja bersama
(berorganisasi) untuk mencapai tujuan bersama (Handoko, 1999: 3).
Manajemen dikatakan sebagai ilmu selain karena bersifat universal, ia
mempergunakan kerangka ilmu pengetahuan yang sistematis, mencakup
kaidah-kaidah, prinsip-prinsip dan konsep-konsep serta dapat diterapkan dalam
semua organisasi manusia. (Handoko, 1999: 6)
Adapun menurut Mulyati dan Komariah (2009: 86) manajemen dikatakan
sebagai ilmu karena menekankan perhatian pada keterampilan dan kemampuan
manajerial menyangkut keterampilan/kemampuan teknikal, manusiawi, dan
konseptual. Sedang manajemen sebagai seni karena tercermin dari perbedaan gaya (style) seseorang dalam menggunakan atau memberdayakan orang lain
untuk mencapai tujuan. Selain sebagai ilmu dan seni, manajemen menurut Mulyati
dan Komariah ternyata juga sebaga proses. Hal ini karena aktivitas manajemen ternyata
membutuhkan langkah yang sistematis dan terpadu.
Untuk itu maka pengembangan manajemen tidak hanya berguna bagi
organisasi yang berorientasi profit
(bisnis). Pengembangan manajemen sejatinya juga berguna bagi organisasi seperti
ponpes, rumah sakit, sekolah dan yang lain. Apun urgensi pengembangan manajemen
ini sesungguhnya sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi yang diinginkan.
Dengan manajemen, daya guna dan hasil guna unsur-unsur manajemen akan dapat
ditingkatkan.(Hasibuan, 2001:1) Adapun unsur-unsur manajemen itu sendiri terdiri
man, money, methode, machines, materials
dan market serta spirituality. Keenam unsur ini sesungguhnya menjadi asset
organisasi apa saja, yang jika dikelola (manaj)
dengan baik tentu akan menghantarkan organisasi tersebut mencapai kesuksesan
sesuai dengan tujuan yang diharapkan. (Hartono,
2011: 8).
Selanjutnya menurut Handoko (1999: 6-7) urgensi pengembangan manajemen
bagi sebuah organisasi termasuk di sini untuk ponpes yakni :
- Untuk mempermudah organisasi (ponpes) mencapai tujuan yang diharapkan.
- Untuk menjaga keseimbangan di antara tujuan-tujuan, sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan yang saling bertentangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam organisasi seperti pemilik dan tenaga pendidik/kependidikan, peserta didik, orang tua, masyarakat, pemerintah dan yang lainnya.
- Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas kerja organisasi dalam rangka meraih tujuan yang ada.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengembangan manajemen sangat
urgen bagi ponpes dalam menghadapi globalisasi. Eksistensi manajemen sangat
dibutuhkan ponpes itu sendiri. Karena tanpa manajemen, semua usaha akan menjadi
sia-sia, tidak terarah dan pencapaian tujuan ponpes yang ada akan lebih sulit
dan tidak optimal.
B.
Pengembangan
Bidang-Bidang Manajemen Pondok Pesantren
Uraian di atas telah menyinggung tentang definisi manajemen yang di
antara para pakar berbeda-beda dalam mendefinisikannya. Hal ini bisa dilihat
dari pernyataan Stoner (1982:8) bahwa manajemen adalah proses perencanaan,
pengorganisasian, , pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota
organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Gulick (1965: 14) mendefinisikan bahwa
manajemen adalah suatu bidang ilmu pengetahuan (science) yang berusaha secara sistematis untuk memahami mengapa dan
bagaimana manusia bekerja bersama untuk mencapai tujuan dan membuat system
kerjasama ini lebih bermanfaat bagi kemanusiaan.
Menurut Gulick manajemen telah memenuhi persyaratan untuk disebut
bidang ilmu pengetahuan, karena telah dipelajari untuk waktu yang lama dan
telah diorganisasi menjadi suatu rangkaian teori. Teori-teori ini masih terlalu
umum dan subjektif. Akan tetapi teori manajemen selalu diuji dalam praktek,
sehingga manajemen sebagai ilmu akan terus berkembang. Sedang menurut Follett
bahwa manajemen adalah seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain.
Untuk itu manajemen sesungguhnya bukan hanya merupakan ilmu atau seni, tetapi
kombinasi dari keduanya. Kombinasi ini tidak dalam proporsi yang tetap tetapi
dalam proporsi yang bermacam-macam dan terus mengalami pengembangan.
|
- Manajemen sumber daya manusia
- Manajemen keuangan
- Manajemen produksi
- Manajemen pemasaran
- Manajemen perkantoran
- Manajemen risiko
- Manajemen mutu
- Manajemen konflik
- Manajemen perubahan
- Manajemen strategi
Bidang-bidang manajemen tersebut tentu dalam implementasinya bisa
diterapkan dan dikembangkan dalam pondok pesantren (ponpes) sebagai lembaga
pendidikan nonformal yang ada. Para
pengasuh/pengelola ponpes akan lebih baik jika dalam menjalankan roda
organisasi mampu mengelola bidang-bidang tersebut.
Lebih-lebih ponpes yang ada di arus globalisasi, harus terus berbenah
diri dan siap melakukan perubahan jika tidak ingin ditinggalkan masyarakat
sebagai stakeholder, pengguna jasa
ponpes. Suka tidak suka semua akan merasakan dan hidup dalam era millennium ketiga ini. Dalam era ini
wajah dunia dari hari ke hari kian berubah. Perubahan itu benar-benra kasat
mata di sekitar kita.
Perubahan tersebut ditandai dengan adanya fenomena bangunan fisik,
produk teknologi, mobilitas penduduk, media komunikasi, system transportasi,
arus informasi, arus barang, jasa dan lainnya. Perubahan-perubahan ini tentu
juga akan berpengaruh terhadap wajah peradaban umat manusia. (Sudarwan Danim,
2010: 1). Untuk itu ponpes sebagai institusi pendidikan Islam nonformal tertua
di negeri ini nampaknya perlu juga mereposisi manajemen yang ada sebelumnya.
Selanjutnya para pengelola/pengasuh ponpes harus berani dan mau mengembangkan
manajemen yang ada guna mengantisipasi perubahan zaman saat ini dan yang akan
datang.
Hal ini karena era sekarang dan masa mendatang menuntut manusia dan
organisasinya memiliki daya adaptabilitas dan mutu yang tinggi untuk dapat
eksis dan kompetitif. Mereka yang mampu menyiapkan diri dengan mutu yang tinggi
akan menjelma menjadi pemenang. Sedang mereka yang tidak mampu menyiapkan diri
maka akan menjadi kelompok yang kalah (losers).
Menyikapi fenomena dalam era globalisasi ini, KH. Sahal Mahfudz (1994)
mengatakan bahwa, “Kalau pesantren ingin berhasil dalam melakukan pengembangan
masyarakat, maka pesantren harus melengkapi dirinya dengan tenaga yang terampil
mengelola (memanajemen) sumber daya yang ada di lingkungannya, di samping
syarat lainnya. Pesantren harus tetap menjaga potensinya sebagai lembaga
pendidikan”.
Untuk itu ponpes tidak boleh tergilas dengan zaman dan kemudian musnah.
Ponpes dalam eksistensinya tidak boleh menutup (mengisolasi) diri dari
perubahan dan perkembangan zaman, tetapi ponpes tetap harus berani menunjukkan
eksistensi diri sebagai lembaga pendidikan Islam yang tetap memiliki
kekhasannya. Dalam filosofi orang jawa dikatakan, “bakal teko jaman perubahan lan kemajuan, siro keno ngeli ning ojo keli”.
Akan datang jaman perubahan dan kemajuan, manusia boleh mengikuti arus
perubahan akan tetapi jangan terhanyut dalam arus tersebut. Untuk itu manajemen
sangat dibutuhkan ponpes jika ingin tetap eksis dan terus ikut memberi
kontribusi positif serta turut mewarnai peradaban dunia di era globalisasi
dalam millennium ketiga saat ini.
C.
Mengelola
Perubahan Pondok Pesantren
Manajemen perubahan adalah suatu proses sistematis dalam menerapkan
pengetahuan, sarana dan sumber daya yang diperlukan untuk mempengaruhi
perubahan. Adapun manfaat manajemen perubahan ini sejatinya untuk memberikan
solusi dari dampak perubahan yang ada dengan menggunakan metode serta melakukan
pengelolaan dampak perubahan tersebut secara terorganisir. (Nur Nasution, 2010: 20).
Di antara stigma negative tersebut misalnya, dikelola dengan
kepemimpinan sentralistik, rigit, otoriter, diajar dan dididik para ustadz yang
konservatif, lingkungan yang kumuh, kurikulumnya klasik, system social yang
tertutup sehingga jauh dari sentuhan informasi dan teknologi yang telah
berkembang di dunia luar, kumpulan orang-orang malas (nglomprot), tidak memiliki produktivitas yang tinggi, hanya
mementingkan sholih individual dan kurang memperhatikan shalih social serta
yang lainnya.
Stigma negative seperti di atas tentu harus ditinjau ulang. Hal ini
karena saat ini telah banyak pula ponpes yang mulai berbenah diri untuk
menyempurnakan eksistensinya dalam menyikapi stigma negative tersebut. Bahkan
disebagian ponpes yang ada telah dimanajemen dengan menggunakan manajemen
modern yang professional. Sehingga kesan negative tersebut tidak terjadi lagi.
Untuk melakukan perubahan terhadap sesuatu budaya yang telah mapan
memang tidak mudah. Untuk itu diperlukan kometmen untuk mau dan berani melakukan perubahan. Menurut Jones (1998:
513-515) bahwa perubahan ini tentu bisa dilakukan dengan cara evolusioner dan
atau revolusioner.
Upaya melakukan perubahan
dari segala aspeknya seperti di atas tentu harus tetap menimbulkan kondisi yang
lebih baik, sebab tidak semua perubahan yang terjadi akan menimbulkan kondisi
yang lebih baik. Perubahan yang tidak direncanakan, spontan, acak tentu akan
menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan dan bisa bersifat merusak (destruktif).
Perubahan hendaknya senantiasa mengandung makna beralih dari keadaan sebelumnya
(the befor condition) belum mapan, tidak baik, tidak berkualitas, memiliki
stigma negatif menjadi berubah kepada keadaan setelahnya (the after
condition) yang sebaliknya. (Winardi, 2010:1)
Namun perlu diingat bahwa
melakukan perubahan tidak selalu berlangsung dengan lancar, mengingat bahwa
perubahan sering kali disertai aneka macam pertentangan dan konflik yang
muncul. Munculnya pertentangan dan konflik ini biasanya datang dari kelompok
yang pro akan kemapanan. Hal ini karena mereka terlanjur merasakan enjoy
dengan kebiasaan yang telah dilakukan, sehingga tidak mau repot-repot lagi,
atau takut terhadap hal-hal yang tidak diketahui, malas dan mengisolasi diri
dari mengakses informasi yang terkini, takut bergesernya kemapanan ekonomi yang telah
dinikmati dari segala aspeknya dan yang lainya.
Hal ini seperti yang
jelaskan Robbins (1991: 632-644). Menurutnya ada lima macam alasan mengapa
individu-individu menentang perubahan:
- Perasaan takut terhadap hal-hal yang tidak diketahui
- Faktor-faktor ekonomi
- Kepastian
- Kebiasaan
- Pemrosesan informasi secara selektif
Selanjutnya selain dari
tentangan perilaku individu seperti penjelasan di atas, ternyata penyebab
perubahan tidak selalu berlangsung dengan lancar karena adanya tentangan dari
perilaku keorganisasian yang memiliki sifat konservatif.
Menurut Winardi (2010: 7)
ada enam penyebab timbulnya tentangan-tentangan keorganisasian yakni:
- Ancaman terhadap alokasi sumber-sumber daya yang berlaku
- Ancaman terhadap hubungan-hubungan kekuasaan yang sudah mapan,
- Ancaman bagi ekspertise (keahlian)
- Inertia (kelambanan) struktural
- Inertia kelompok
- Fokus perubahan yang terbatas
Untuk itu pengelola/pengasuh
ponpes dalam hal ini harus berani mengahadapi resiko apapun dan
tentangan-tentangan yang terjadi tatkala melakukan perubahan. Namun demikian
hrus tetap menggunakan metode/teknik serta menerapkan strategi untuk
memperkecil resiko yang tidak diinginkan itu sekecil-kecilnya, tetapi perubahan
besar yang diharapkan segera terwujud.
Melakukan perubahan dalam
keadaan dan situasi yang penuh dinamika seperti saat ini, apalagi jika telah
mengalami kerusakan, kekacauan (turbulence) merupakan sebuah keharusan.
Untuk itu upaya melakukan perubahan sudah saatnya tidak boleh ditunda-tunda
lagi dan jangan sampai menungguh hingga semuanya mengalami kemunduran serta
kehancuran. Jika dalam kondisi semuanya sudah mengalami kemunduran, kehancuran
kemudian baru bergerak, maka percaya
atau tidak kita akan menemui dan merasakan penyesalan. Betapa tidak, hal ini
menyebabkan ponpes yang dulunya menjadi pusat pendidikan pada akhirnya hanya
tinggal bangunannya saja.
Dalam rangka untuk
memperkecil resiko dan mengatasi berbagai tentangan terhadap perubahan tersebut
maka ada enam macam taktik yang disarankan untuk diterapkan oleh agen
perubahan. Adapun taktik yang dimaksud adalah sebagai berikut yakni perlu
diberikan pendidikan dan komunikasi yang baik, partisipasi, fasilitas dan
bantuan, negosiasi, manipulasi (memanfaatkan informasi dan insenstif agar
perubahan bisa diterima) dan kooptasi (mempengaruhi pihak penentang agar
membantu perubahan), paksaan (coercion).
(Robbins, 1991: 643-644).
Demikian uraian tentang mengelola perubahan ponpes. Untuk itu para
pengelola/pengasuh ponpes sudah saatnya perlu memandang kegiatan mereka dalam
hal memanaj perubahan sebagai suatu tanggung jawab yang bersifat integral dan
bukan sekedar sebagai kegiatan yang sambil lalu. Mereka yang mengabaikannya
tentu akan mengalami dampak negative.
* Penulis:
Dosen Fakultas Tarbiyah & Pascasarjana
IAIN Sunan Ampel Surabaya
Direktur Program Pascasarja STAI Al-Khoziny
Buduran Sidoarjo
Direktur
Ponpes Mahasiswa Jagad Alimussirry
0 komentar:
Posting Komentar