Setiap
tahun kita sebagai umat Islam senantiasa memperingati hari raya Idul Adha yang
sering pula disebut hari raya haji, hari raya besar, dan hari raya qurban.
Namun demikian sudahkah kita sebagai umat Islam mampu mengambil hikmah dibalik
semua itu, atau kita hanya merayakannya sebatas ritual lahiriyah tanpa
menyentuh subtansi dan hikmah dari kejadian besar yang dikenang dan dirayakan
umat Islam sepanjang zaman ini.
Sedikitnya
ada 4 hikmah yang bisa kita ambil pelajaran yang selanjutnya diharapkan mampu
merubah sikap, perilaku dan kompetensi kita sebagai umat Islam dalam kehidupan
ini. Bertitik tolak dari semua ini maka umat Islam akan menjadi manusia ideal,
sempurna yang tidak termarginalkan, bermartabat tinggi yang mampu memberikan
kontribusi serta manfaat besar pada
zamannya. Bukankah sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi
sesamanya.
Adapun 4 hikmah yang bisa kita petik dalam hari raya Qurban
ini yaitu:
Pertama, Pengekangan/pengendalian nafsu
Memperingati
hari raya qurban ini mengingatkan kita kepada peristiwa besar yang terjadi dan
menimpa pada tiga sosok manusia pilihan Allah yang patut dijadikan figure untuk
diteladanani. Hal ini sangat beralasan karena anak turun manusia pilihan Allah
ini, dikemudian hari banyak yang menjadi
Nabi dan Rasul Allah. Selain itu syariat ajarannya banyak pula dilakukan dan
dilanggengkan Nabi Muhammad Saw, salah satu di antaranya yakni ritual ibadah haji
dan penyembelihan hewan qurban seperti pada hari raya kali ini.
Tatkala
penyembelihan hewan qurban ini dilakukan sudahkah kita merenung sambil
bertakbir, bertahlil, bertahmid apa yang bisa kita ambil hikmah darinya. Paling
tidak kita seharusnya merenungkan diri, sesungguhnya kita ini adalah manusia
yang juga memiliki sifat hewaniyah. Hanya yang membedakan kita dari pada hewan
itu adalah manusia diberi akal fikiran oleh Allah. Kalaulah akal kita tidak
kita fungsikan dengan baik tentu kita akan seperti hewan itu juga. Untuk itu
ahli mantiq mengatakan, al-insanu
hayawanun nathiqun. Manusia adalah hewan yang berakal.
Bertitik
tolak dari peristiwa besar ini maka kita hendaknya menyadari sifat hewaniyah
yang ada dalam diri kita hendaknya mampu kita kekang, kendalikan bahkan
disembelih. Karena kalau kita tidak mampu melakukannya, sifat tersebut akan
berubah menjadi hawa nafsu, selanjutnya menggerakkan seseorang menjadi senang
melakukan syahwat dan ghodhob. Dalam kondisi seperti ini maka
menyebabkan diri seseorang menjadi jauh dari Allah. Bukankan Allah telah
mengingatkan kita melalui statement Nabi Yusuf yang diabadikan dalam QS. Yusuf:
53. Artinya, “Dan aku tidak membiarkan
nafsuku. Sesungguhnya nafsu itu akan mengajak berbuat keburukan, kecuali jika
mendapat rahmat dari Tuhanku…” Nafsu inilah kemudian dinamakan nafsu amarah bissu’.
Menyimak
firman Allah di atas, sesungguhnya ada beberapa hal yang bisa kita ambil
pelajaran yakni dalam diri manusia ada dua potensi baik dan buruk; Allah
memberi kebebasan pada manusia untuk memilih baik atau buruk; nafsu harus
dikendalikan; untuk mengendalikan nafsu ini harus ada upaya dari manusia itu
sendiri disertai memohon kekuatan dan pertolongan dari Allah.
Untuk
itu dalam kitab “Ajaibul Qulub”
Al-Ghozali menerangkan bahwa tatkala seseorang mampu mengendalikan hawa
nafsunya hingga hatinya bersih dari segala sesuatu selain Allah maka syahwat-nya berubah menjadi daya kemauan
(irodah) dan ghodhob-nya berubah menjadi daya kemampuan (qudroh). Dalam kondisi seperti ini maka seseorang menjadi memiliki
kekuatan dan menjadi termotivasi serta mampu untuk melakukan kebaikan dalam
kehidupan di dunia ini yang semata-mata hanya mengharap keridhoan Allah. Orang-orang
seperti ini merupakan kelompok yang mendapat rahmat dari Allah. Mereka ini
menurut Ibnu Khaldun menjadi mampu mencapai tingkat ketuhanan, dekat dan
makrifat kepada Allah sebab daya-daya yang muncul dalam dirinya tidak berakhir
pada tingkat kemanusian saja. Dengan energy (Nur)-NYa kelompok ini menjadi sholih
social dan ruhaninya melambung hingga bertemu dengan Allah.
Dengan
demikian tidak salah kalau Allah memerintah Ibrahim As agar menyembelih
anaknya. Suatu ujian yang amat berat dan besar tentunya. Hal ini karena Allah
ingin menguji kecintaan Ibrahim As antara cinta kepada anak atau Tuhannya.
Allah tidak ingin hati Ibrahim As Khalilullah
yang semula hanya diperuntukkan Allah, menjadi bergeser kepada anaknya dan
kemudian menjadi melupakan serta jauh dari Allah.
Kedua,
Pendidikan anak dalam keluarga
Nabi
Ibrahim As, putranya Ismail As dan Hajar sebagai istri Nabi Ibrahim As dan Ibu
Ismail As mereka sejatinya sosok figur manusia yang dipilih Allah untuk
dijadikan teladan. Mengapa tidak, Ibrahim As dan Ibu Hajar ternyata telah
sukses melakukan pendidikan dalam keluarga. Mereka berdua mampu menghantarkan
putranya Ismail As menjadi anak sholih dan Nabi serta Rasulullah. Sebuah
derajat yang mulia baik di hadapan Allah maupun manusia.
Keberhasilan
Ibrahim As dan Istrinya dalam mendidik anaknya dapat dilihat dari indikator
yang ditunjukkan Ismail kecil waktu itu yakni ketaatannya kepada orang
tuanya, kedewasaan dalam bersikap dan
memiliki kesabaran yang luar biasa dalam menerima ketentuan Allah. Hal ini bisa
kita lihat dalam firman Allah QS. Ash-Shafat: 102.
Artinya,
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah
apa pendapatmu. Ia (Ismail) menjawab, Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar.”
Apa
sebenarnya yang dilakukan Ibrahim As hingga dikarunia anak yang membanggakan
ini. Kalau kita lihat dalam QS. Ash-Shaffat: 100, ternyata Nabi Ibrahim As
tidak meninggalkan berdoa kepada Allah agar dikarunia anak yang shalih dan itu
dilakukan bertahun-tahun tidak pernah putuh asa. Selanjutnya terwujudnya anak
yang shalih ini karena tidak lepas dari pendidikan yang dikembangkan orang tua.
Seorang ibu sangat besar andilnya dalam pendidikan anak dalam keluarga. Seorang
anak yang lebih dekat dan banyak bersentuhan dengan ibunya, sangat efektif
digunakan seorang ibu menanamkan nilai-nilai yang baik hingga terbentuklah
dalam diri anak sikap dan kepribadian yang luhur serta karakter yang mulia.
Itulah yang dilakukan Ibu Hajar tatkala ditinggal Ibrahim berdakwa dalam waktu
yang lama.
Selain
itu lingkungan sangat berpengaruh terhadap pembentukkan karakter anak agar
menjadi pribadi yang membanggakan. Di tengah padang pasir yang gersang nan
panas Ismail berada, dididik dan dibesarkan. LIngkungan seperti ini tentu akan
menjadi faktor yang turun membentuk karakter anak hingga memiliki kepribadian
yang independen, dewasa dan sabar. Bung Hatta mengatakan bahwa anak yang tumbuh
dalam lingkungan yang sulit akan berpengaruh terhadap kecepatan tingkat
kedewasaannya. Imam Syafi’I juga mengatakan tidak ada yang lebih menandingi
kebahagian seseorang yang berhasil belajar tatkala ia dalam keadaan kesusahan
dan kekurangan.
Demikian
pula ketika kita cermati QS. Ash-Shafat: 102 ternyata Ibrahim AS dalam mendidik
putranya menempatkan sebagai subjek pendidikan bukan sebaliknya sebagai objek.
Ismail di posisikan sejajar dengan orang tuanya, dimintai pendapat, diajak
dialog dan diskusi serta dirangsang kreativitas berfikirnya. Suatu model
pendekatan pembelajaran dalam keluarga yang patut kita contoh lebih-lebih bagi
kita yang hidup di era keterbukaan ini.
Itulah
sebenarnya yang dilakukan Ibrahim As dan Istrinya dalam mendidik putranya
Ismail hingga kemudian menjadi putra yang shalih. Putra yang tidak menyebabkan
orang tua menjadi lupa mengingat Allah, putra yang tidak menjadi musuh dan
fitnah bagi orang tuanya. Bukankah Allah telah berfirman:
Artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa
yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi”. (Qs.
Munafiqun: 9)
Artinya,
“Hai orang-orang yang beriman
sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan
tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. (Qs. At-Taghobun: 14)
Artinya,
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu
hanyalah cobaan/fitnah (bagimu), di sisi Allah-lah pahala yang besar”. (Qs. At-Taghobun: 15)
Ketiga,
Peningkatan ekonomi untuk ibadah
Nabi
Ibrahim As yang menjadi subjek kajian kali ini cukup menjadi tauladan umat
Islam yang sedang merayakan hari raya qurban. Ibrahim As ternyata merupakan
sosok figure yang kaya tetapi tidak menjadi orang yang hanya menumpuk-numpuk
hartanya. Tatkala ia berqurban tidak hanya cukup dengan seekor kambing. Ibrahim
As dalam menyembelih hewan qurban hingga mencapai 1000 ekor kambing, 300
kerbau/sapi, 100 onta. Harta kekayaannya tidak menghalangi dirinya untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan memang seperti itulah yang diharapkan.
Ibrahim As senantiasa membersihkan hatinya dari segala sesuatu selain Allah. Sebagai
bentuk kecintaannya kepada Allah, sampai-sampai Ibrahim As sempat mengucapkan
sesuatu (nadzar) tatkala melaksanakan penyembelihan hewan qurban. Jangankan
hewan sebanyak itu jika Allah mengarunianya anak dan anak itu diperintahkan
untuk menyembelih maka perintah itu akan ia lakukan. Hingga pada akhirnya apa yang
ia nadzarkan itu menjadi kenyataan, sebagai ujian yang besar dan nyata dalam
kehidupan Ibrahim As seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Dalam
rangka menteladani Ibrahim As, pada hari
raya qurban yang kita rayakan setiap tahun ini cukup menjadi inspirasi sekaligus
menuntut agar umat Islam menata ulang dan memperbaiki diri agar memiliki
tingkat perekonomian yang mapan. Mengapa tidak, hal ini karena untuk bisa
menjadi muslim yang mampu menyembelih hewan qurban maka kita harus menyiapkan
sebagaian harta dari hasil pekerjaan yang kita lakukan selama ini. Merekalah
orang yang memiliki tingkat ekonomi yang baik.
Bukankah
Allah telah mengingatkan agar umat Islam mencari bekal akhirat dengan tidak melupakan
kehidupan di dunia ini. Untuk itu kita dituntut menjadi muslim yang giat
bekerja guna mendapatkan rizki. Selanjutnya harta yang kita miliki itu
hendaknya dapat kita jadikan sebagai
bekal untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan memiliki rizki
yang cukup maka seorang muslim akan mampu membeli hewan qurban yang kemudian
disembelih karena semata-mata menjalankan ketentuan Allah.
Dalam
hal menyembeli hewan qurban ini Sayyidina Ali karramallah wajhah pernah mengatakan bahwa, tatkala seorang muslim
keluar rumah hendak beli hewan qurban maka ia mendapat 10 pahala dari Allah,
dapat menebus 10 dosa dan tiap langkahnya mengangkat 10 derajat. Saat ia
melakukan tawar menawar maka ucapannya menjadi tasbih. Ketika ia membayar maka setiap
rupiahnya Allah membalas dengan 700 pahala. Tatkala ia meletakkan hewan qurban
untuk disembelih maka beristighfarlah semua makhluk hingga lapisan bumi
ketujuh. Setiap suap daging yang dimakan setelah dibagikan menyebabkan Allah
memberikan pahala bagi orang yang qurban seperti memerdekakan hamba.
Selanjutnya Nabi Saw juga bersabda bahwa setiap darah yang menetes dari hewan
qurban yang disembelih menyebabkan Allah mengampuni dosa orang yang berqurban.
Dalam riwayat yang lain beliau juga menjelaskan bahwa tiap binatang qurban
nantinya akan menjadi kendaraan di sorga. (Azh-zhiimuu
dhohaayaakum fa innahaa alaa ash-shiroothi mathooyaakum).
Keempat,
Kepedulian social
Allah
menciptakan manusia sesungguhnya mempunyai tujuan yakni agar mengabdi
kepada-Nya dan menjadi khalifah di muka bumi ini. Untuk itu selain sebagai
makhluk religious, manusia juga disebut makhluk social. Hal ini karena dalam
hidup di muka bumi ini, manusia tidak bisa hidup tanpa interaksi dengan yang
lain. Tatkala kita melakukan interaksi dengan sesama dalam rangka menjalankan
perintah Allah maka di sini ada nilai ibadah. Sebagai seorang muslim seperti
disinggung dalam uraian di atas, kita dituntut untuk menjadi muslim yang tidak
hanya shalih secara individu. Dalam kehidupan di muka bumi ini Islam
mengajarkan agar kita juga menjadi muslim yang shalih secara social.
Kenyataan
ini bisa kita lihat bahwa Islam mengajarkan agar mereka yang diberi kelebihan
oleh Allah dengan rizki agar mau membeli hewan qurban untuk disembelih dan
selanjutnya dibagi-bagikan kepada sesamanya. Jika di antara kita diberi
kemampuan akan tetapi tidak mau melakukan hal tersebut maka Rasulullah Saw
membencinya. Secara eksplisit beliau membenci kelompok ini agar tidak mendekati
tempat shalatnya.
Untuk
itu hikmah yang bisa kita petik dari hari raya qurban ini sejatinya mengajarkan
umat Islam agar menjadi perduli akan kehidupan social kemasyarakatan, melarang
menjadi umat yang egois dan menumpuk-numpuk harta kekayaan yang hanya untuk
kepentingan pribadi. Bukankah Allah telah mengingatkan dalam firmannya bahwa, semua
akan dipertanyakan oleh Allah untuk apa kenikmatan yang telah diberikan-Nya di
dunia ini. (At-Takatsur: 8). Allah juga mengingatkan bagi mereka yang suka
menumpuk-numpuk harta dan menghitung-hitung harta kekayaannya itu. Pada hal
harta bendanya itu tidak bisa mengekalkannya. Bahkan bisa melemparkan dirinya
ke dalam api neraka. (Qs. Al-Humazah: 1-9).
Semoga
seklumit uraian hikmah idul qurban ini disertai hidayah Allah dan kita dapat
mengambil hikmah dari padanya serta mampu mengamalkan dan mewujudkannya dalam
kehidupan di muka bumi ini. Senjutnya kita menjadi hamba Allah yang mampu
mengekang/mengendalikan hawa nafsu kita, menjadi orang tua yang bijak dalam
mendidik anak-anak dan menjadi anak-anak yang shalih, menjadi umat Islam yang
mampu memperbaiki ekonomi dan tidak menumpuk-numpuk harta kekayaan saja serta
menjadi umat Islam yang tidak hanya shalih secara individual tetapi juga shalih
secara social.
Penulis:
Dr. Djoko
Hartono, S.Ag, M.Ag, MM
Dosen STAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo
0 komentar:
Posting Komentar