Beberapa tahun yang silam, mantan pengurus PBNU KH.
Dr. Hasyim Muzadi pernah berdialog dan menginformasikan pernah bertemu dengan
pemimpin spiritual di Vatikan Paus Paulus. Pak Paus ini menanyakan kabar umat
Islam di Indonesia. Dengan diplomatis maka Kyai menjawab, oh..baik dan kalau
ingin melihat kondisi umat Islam Indonesia maka Pak Paus silahkan datang dan
melihat pada saat shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Apa yang dikatakan Pak Kyai
ini sesungguhnya ingin menjunjukkan segi kuantitas umat Islam di negeri kita.
Namun bila kita ingin mengetahui kualitasnya jawabannya tentu lain dan kita
bisa melihat gambarannya ketika shalat shubuh berjama’ah.
Sepanjang
yang saya ketahui baik di masjid besar, sedang, kecil, mushalla, langgar, yang
namanya jama’ah shalat shubuh paling banyak hanya dua shaf bahkan terkadang
satu shaf saja tidak penuh. Inilah sesungguhnya gambaran kondisi jumlah
kualitas umat Islam di Indonesia. Untuk itu jangan salahkan kalau umat Islam
selalu dimarginalkan, ditindas, terbelakang, tidak bisa menjadi tuan di negeri
sendiri. Hal ini karena umat ini perlu terus berbenah diri meningkatkan
kualitasnya agar ke depan umat Islam di Indonesia benar-benar memiliki full
power menjadi masyarakat yang mandiri, berdikari, yang memiliki peradaban
tinggi serta menjadi pemimpin di antara negara-negara kecil atau besar di
dunia.
Ada
tiga pilar sedikitnya yang harus ditegakkan agar umat Islam ini bangkit dari
keterpurukan yang ada selama ini yakni dengan mengkualitaskan spiritualitas,
ilmu dan persatuan kesatuan di antara sesama muslim. Bercermin pada negara Cina
dan Jepang sebagai negara tetangga Indonesia, kedua negara tersebut menjadi
negara yang diperhitungkan oleh negara-negara Barat. Kehebatan dan kebesaran
dua negara tersebut di sebut-sebut karena memiliki ajaran spiritual yang
menyebabnya masyarakatnya bangkit dan memiliki etos kerja yang sangat tinggi. Di Cina ada ajaran Taoisme dan di Jepang
ada Budhisme Zen.
Kalau Cina dan Jepang saja dengan
ajaran spiritual yang dimiliki itu mampu mempengaruhi masyarakatnya untuk bangkit
bersaing dan menjadi disegani negara-negara di dunia, seharusnya umat Islam
lebih dari itu. Hal ini karena umat Islam ini mempunyai ajaran spiritual jauh
lebih hebat yang dibawa oleh rasulullah Muhammad Saw. Michail A. Heart dalam
buku yang ditulisnya tentang seratus tokoh hebat di dunia, Nabi Muhammad ternyata
ditetapkan sebagai tokoh yang paling hemat nomor wahid mengungguli Nabi Isa dan
para ilmuan di dunia seperti Plato, Newton, Enstin, dan lainnya. Kehebatan dan
kesuksesan beliau dalam kepemimpinan, berkarya, mewujudkan revolusi, reformasi,
inovasi dan masyarakat madani berperadaban tinggi yang sampai saat ini
pengaruhnya dirasakan seluruh masyarakat dunia, sesungguhnya tidak lepas dari dimensi
spiritual yang ada dalam diri beliau. Muhammad Saw meraih hasil luar biasa itu melalui sebab yang tidak
bisa lepas dari keberadaan dan praktek spiritualitas. (John Clark Archer
B.D: 2007).
Kalaulah umat ini benar-benar
spiritualis sejati, maka ia akan menjadi dekat dengan Tuhannya. Kedekatan dengan Allah ini menyebabkan dalam
dirinya mengalir Nur Allah (energi-Nya). Energi ini akan menggerakkan umat
menjadi bangkit dan beraktivitas positif serta terus berkarya (Ronda Byrne: 2008).
Namun bila umat ini telah melakukan spiritualitas tetapi justru dirinya tetap
menjadi terbelakang tanpa ada perubahan yang berarti maka spiritualitas yang
dilakukannya tentu ada yang salah, masih bersifat ritualitas belaka dan belum
menyentuh esensi dari ibadahnya.
Selanjutnya kalau kita masih
mau bercermin dari dua negaara Cina dan Jepang, ternyata kedua negara tersebut
menjadi hebat dan terung bangkit dari keterpurukan karena keduanya sangat
konsisten terhadap kualitas keilmuan. Hal ini sampai Nabi Saw sendiri berseru
agar umat Islam tak segan-segan menuntut ilmu walaupun sampai ke negeri Cina.
Kita mungkin bisa juga melihat bagaimana dalam hal perhatian Jepang terhadap
keilmuan. Berangkat dari perhatian terhadap kualitas keilmuan ini Jepang hanya
dalam waktu tiga puluh tahun kembali bangkit dari keterpurukan dan
diperhitungkan negara-negara di dunia. Pada tahun 1945 setelah negara ini
dibombardir Sekutu, maka Perdana Menteri Jepang berteriak keras, yang dicari
justru bukan tentaranya yang masih hidup berapa tetapi para gurunya atau orang
yang berilmu. Namu sebaliknya Indonesia yang baru merdeka dari keterpurukan
pada tahun yang sama hingga saat ini ternyata masih sangat jauh tertinggal
dengan Jepang.
Pilar yang ketiga yang harus
ditegakkan umat ini agar bangkit dari keterpurukan, yakni dengan membangun muslim
human relation. Persoalan ini sangat penting sekali karena kalau tidak umat
ini akan terus carut marut, terus berseteru dan tidak bisa menghargai antara
satu dan yang lainnya, merasa paling benar dan hebat sehingga yang terjadi
perpecahan, dan menyebabkan lemah, mudah tertindas, dan termarjinalkan. Untuk
mengakhiri urain ini tidak ada salahnya kalau kita merenungkan dan mengambil
spirit dari firman Allah,
Artinhya:”...Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman (spiritualis) di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
(Qs. al-Mujaadilah (58): 11).
Artinya:”Dan berpeganglah
kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai,
...” (Qs. Ali Imran (3): 103)
Artinya: ”Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat
siksa yang berat’. (Qs. Ali Imran (3): 105)
Bertitik tolak dari keterangan
ini maka sudah saatnya umat Islam untuk saat ini membangun tiga pilar dalam
kehidupannya baik sebagai makhluk individu, sosial, religius ataupun berbangsa
dan bernegara Indonesia. Kita tidak cukup hanya membanggakan kuantitas umat
ini, jauh dari itu dan tak kalah pentingnya umat ini harus terus menjaga dan
meningkatkan kualitasnya baik kualitas akan keimanan (spiritul)-nya,
keilmuannya (pendidikan) dan persatuan kesatuannya. Saat ini, esok dan yang
akan datang umat ini harus terus bangkit menuju masyarakat madani, berperadaban
tinggi, adil makmur, sejahtera, toto tentrem kerto raharjo. Baldatun
thoyyibatun wa robbun ghofur. Amim.
Penulis: Dr. Djoko Hartono, S.Ag, M.Ag, MM
Dosen STAI Al-Khoziny Sidoarjo
0 komentar:
Posting Komentar