Selasa, 22 Januari 2013

Menghapus Stigma Negatif PTAIS


Membicarakan persoalan pendidikan sejatinya tidak pernah ada habisnya. Hal ini dikarenakan dunia pendidikan terus mengalami dinamika perkembangan sesuai dengan tingkat  kebutuhan manusia. Guna memenuhi tingkat kebutuhannya seperti dalam teori motivasi Maslow, pendidikan bagi manusia menjadi memiliki arti yang sangat penting. Hal ini sangat beralasan, karena dengan memiliki pendidikan yang baik dan berkualitas diharapkan manusia menjadi mampu menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang semakin komplek, menjadi lebih bermakna dalam mengisi kehidupan sebagai hamba, yang sekaligus menjalankan amanah sebagai khalifah Allah di muka bumi. Untuk itu sangat jelas arti pendidikan bagi kehidupan manusia saat ini. Selain sebagai sarana dan alat untuk meraih tingkat-tingkat kebutuhan yang dicita-citakan, keberadaannya akan menjadi sarana pula menghantarkan seseorang pada tingkat citra diri dan martabat yang tinggi baik dalam kehidupan saat ini ataupun yang akan datang.  
Pendidikan untuk mengkualitaskan sumber daya manusia ini sesungguhnya bisa dilakukan dengan cara formal, nonformal dan informal.(H. M. Arifin, 1993). Dalam bentuk formal seperti sekolah dan atau madrasah, serta perguruan tinggi. Jenjang pendidikan formal ini terdiri atas pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan ini mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Dalam bentuk nonformal seperti lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majlis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan dalam bentuk informal seperti kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.( UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Ketika pembicaraan diarahkan pada pendidikan formal maka kita mengenal dengan dua jenis yakni negeri dan swasta. Lembaga pendidikan formal baik negeri maupun swasta pada jenjang tertinggi maka kita menyebutnya dengan perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Kalau di zaman penjajahan dulu pendidikan negeri yang dikelola pemerintah Belanda akrab disebut dengan pendidikan (sekolah) pemerintah dan yang dikelola pribumi (swasta) akrab disebut dengan pendidikan (sekolah) partikelir. Pendikotomisasian pendidkan ini dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan dikemudian hari menimbulkan stigma positif dan negatif. Guna menarik simpati dan minat masyarakat maka terjadilah perang dingin dengan pengklaiman kualitas. Pendidikan yang dikelola swasta (partikelir) kemudian pada gilirannya mendapatkan stigma negatif, karena dianggap tidak dikelola (manajemen) dengan baik, acak-acakan, tidak profesional sehingga output dan outcome-nya distigmakan pula menjadi tidak bermutu dan berkualitas. Fenomena dan kondisi ini terus berlangsung hingga pasca kemerdekaan dan sesudahnya. Hingga di masa-masa belakangan timbul strata dan pengkastaaan bahwa PTN merupakan lembaga pendidikan kelas satu. Ini pun dalam masyarakat masih dipilah-pilah lagi bahwa PTN yang berbasis keagamaan seperti IAIN/STAIN dianggap menduduki tingkat kualitas yang ketiga, tiga tingkat di bawah IKIP Negeri dan Universitas/Institut Negeri. Sedang perguruan tinggi keagamaan Islam swasta yang tergabung dalam kopertais menjadi ditempatkan pada posisi keempat setelah IAIN/STAIN bahkan mungkin kelima jika disandingkan dengan Petra dan sejenisnya.
Kondisi perguruan tinggi yang tergabung dalam kopertais ini jika dilihat dari penstrataan seperti di atas dirasakan sangat mengironikan dan akan semakin mengalami keterpurukan kalau komunitas yang ada di dalamnya tidak menyadari dan tetap mempertahankan status quo kemapan yang anti perubahan. Pada pasar bebas yang sudah berjalan saat ini jika mereka tidak mau melakukan perubahan maka diprediksikan dikemudian hari keberadaan perguruan tinggi agama Islam swasta (PTAIS) akan menjadi ditinggalkan masyarakat sebagai stackholder. Masyarakat yang semakin cerdas akan semakin mengetahui dengan cara menanyakan nilai status akriditasi dan keberadaan perguruan tinggi itu, baik negeri atau swasta sebelum menentukan dan menjatuhkan pilihan sebagai tempat menempuh pendidikan untuk dirinya. Apalagi saat ini pada perguruan tinggi negeri umum sebagian telah merencanakan membuka fakultas agama Islam dengan menawarkan output dan outcome yang dihasilkannya akan mampu menjadi sarjana muslim yang memiliki keilmuan integral, menguasai sain dan ilmu keagamaan sekaligus.
Namun demikian kita yang masuk dalam komunitas perguruan tinggi agama Islam swasta (PTAIS), baik mahasiswa, dosen, dan pemegang kekuasaan (leader)-nya tidak perlu berkecil hati. Hal ini karena pemerintah saat ini sejatinya sudah berusaha menghapus dikotomisasi negeri swasta dan stigma negatif  terhadap perguruan tinggi swasta ini dengan memberikan status terakriditasi mulai dari A sampai dengan C. Ini artinya kalau perguruan tinggi swasta mendapatkan nilai akriditasi A keberadaannya akan lebih berkualitas jika dibanding dengan perguruan tinggi negeri yang memiliki akriditasi B atau C. Untuk menghapuskan stigma negatif terhadap PTAIS ini maka semua komponen yang tergabung dalam civitas akademik, baik mahasiswa, dosen, staf pegawai dan leader-nya bersama-sama harus memiliki kometmen untuk mau dan berani melakukan perubahan. Perubahan ini tentu bisa dilakukan dengan cara evolusioner dan atau revolusioner (J. Winardi, 2010). Perubahan yang harus dilakukan tersebut bisa jadi menyangkut segi konsep dan cara berfikirnya (mindset), metode / cara bekerja, mengajar, proses perkuliahan, sikap, tindakan, sarana/peralatan yang digunakan, keputusan-keputusan yang biasa diambil, goal yang mendasari dan yang diharapkan serta sektor lainnya.
Upaya melakukan perubahan dari segala aspeknya seperti di atas tentu harus tetap menimbulkan kondisi yang lebih baik, sebab tidak semua perubahan yang terjadi akan menimbulkan kondisi yang lebih baik. Perubahan yang tidak direncanakan, spontan, acak tentu akan menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan yang bersifat merusak (destruktif). Perubahan hendaknya senantiasa mengandung makna beralih dari keadaan sebelumnya (the befor condition) belum mapan, tidak baik, tidak berkualitas, memiliki stigma negatif menjadi berubah kepada keadaan setelahnya (the after condition) yang sebaliknya. Namun perlu diingat bahwa melakukan perubahan tidak selalu berlangsung dengan lancar, mengingat bahwa perubahan sering kali disertai aneka macam konflik yang muncul. Munculnya konflik ini biasanya datang dari kelompok yang pro akan kemapanan. Hal ini karena mereka terlanjur merasakan enjoy dengan kebiasan yang telah dilakukan, sehingga tidak mau repot-repot lagi, atau takut terhadap hal-hal yang tidak diketahui, takut bergesernya kemapanan yang telah dinikmati dari segala aspeknya dan yang lainya.
Resiko apapun yang terjadi tatkala melakukan perubahan untuk menghapus stigma negatif perguruan tinggi agama Islam (PTAIS) tentu harus berani kita hadapi bersama. Karena setiap perubahan tentu memiliki resiko, baik bagi mahasiswa, dosen, tenaga administrasi ataupun leader yang ada. Namun di sini kita tetap perlu memiliki,  mencanangkan dan menerapkan strategi untuk memperkecil resiko yang tidak diinginkan itu sekecil-kecilnya, tetapi perubahan besar yang diharapkan segera terwujud. Melakukan perubahan dalam keadaan yang penuh dinamika, apalagi telah mengalami kerusakan, kekacauan (turbulence) yang terjadi dewasa ini merupakan sebuah keharusan. Untuk itu upaya melakukan perubahan sudah saatnya tidak boleh ditunda-tunda lagi dan jangan sampai menungguh hingga semuanya mengalami kemunduran serta kehancuran. Jika dalam kondisi semuanya sudah mengalami kemunduran, kehancuran kemudian baru  bergerak, maka percaya atau tidak kita akan menemui dan merasakan penyesalan. Bagaiman menurut anda, apa berani melakukan perubahan...?



0 komentar:

Posting Komentar