|
Pendidikan untuk mengkualitaskan sumber daya
manusia ini sesungguhnya bisa dilakukan dengan cara formal, nonformal dan
informal.(H. M. Arifin, 1993). Dalam bentuk formal seperti sekolah dan atau
madrasah, serta perguruan tinggi. Jenjang pendidikan formal ini terdiri atas
pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan ini mencakup
pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus.
Dalam bentuk nonformal seperti lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok
belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majlis taklim, serta satuan
pendidikan yang sejenis. Sedangkan dalam bentuk informal seperti kegiatan
pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan
belajar secara mandiri.( UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional).
Ketika pembicaraan diarahkan pada pendidikan
formal maka kita mengenal dengan dua jenis yakni negeri dan swasta. Lembaga
pendidikan formal baik negeri maupun swasta pada jenjang tertinggi maka kita
menyebutnya dengan perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta
(PTS). Kalau di zaman penjajahan dulu pendidikan negeri yang dikelola
pemerintah Belanda akrab disebut dengan pendidikan (sekolah) pemerintah dan
yang dikelola pribumi (swasta) akrab disebut dengan pendidikan (sekolah)
partikelir. Pendikotomisasian pendidkan ini dalam sejarah pertumbuhan dan
perkembangan dikemudian hari menimbulkan stigma positif dan negatif. Guna menarik
simpati dan minat masyarakat maka terjadilah perang dingin dengan pengklaiman
kualitas. Pendidikan yang dikelola swasta (partikelir) kemudian pada gilirannya
mendapatkan stigma negatif, karena dianggap tidak dikelola (manajemen) dengan
baik, acak-acakan, tidak profesional sehingga output dan outcome-nya
distigmakan pula menjadi tidak bermutu dan berkualitas. Fenomena dan kondisi
ini terus berlangsung hingga pasca kemerdekaan dan sesudahnya. Hingga di
masa-masa belakangan timbul strata dan pengkastaaan bahwa PTN merupakan lembaga
pendidikan kelas satu. Ini pun dalam masyarakat masih dipilah-pilah lagi bahwa
PTN yang berbasis keagamaan seperti IAIN/STAIN dianggap menduduki tingkat
kualitas yang ketiga, tiga tingkat di bawah IKIP Negeri dan Universitas/Institut
Negeri. Sedang perguruan tinggi keagamaan Islam swasta yang tergabung dalam
kopertais menjadi ditempatkan pada posisi keempat setelah IAIN/STAIN bahkan
mungkin kelima jika disandingkan dengan Petra dan sejenisnya.
Kondisi perguruan tinggi yang tergabung dalam
kopertais ini jika dilihat dari penstrataan seperti di atas dirasakan sangat
mengironikan dan akan semakin mengalami keterpurukan kalau komunitas yang ada
di dalamnya tidak menyadari dan tetap mempertahankan status quo kemapan
yang anti perubahan. Pada pasar bebas yang sudah berjalan saat ini jika mereka
tidak mau melakukan perubahan maka diprediksikan dikemudian hari keberadaan
perguruan tinggi agama Islam swasta (PTAIS) akan menjadi ditinggalkan
masyarakat sebagai stackholder. Masyarakat yang semakin cerdas akan
semakin mengetahui dengan cara menanyakan nilai status akriditasi dan
keberadaan perguruan tinggi itu, baik negeri atau swasta sebelum menentukan dan
menjatuhkan pilihan sebagai tempat menempuh pendidikan untuk dirinya. Apalagi
saat ini pada perguruan tinggi negeri umum sebagian telah merencanakan membuka
fakultas agama Islam dengan menawarkan output dan outcome yang
dihasilkannya akan mampu menjadi sarjana muslim yang memiliki keilmuan integral,
menguasai sain dan ilmu keagamaan sekaligus.
Namun demikian kita yang masuk dalam komunitas perguruan
tinggi agama Islam swasta (PTAIS), baik mahasiswa, dosen, dan pemegang
kekuasaan (leader)-nya tidak perlu berkecil hati. Hal ini karena
pemerintah saat ini sejatinya sudah berusaha menghapus dikotomisasi negeri
swasta dan stigma negatif terhadap
perguruan tinggi swasta ini dengan memberikan status terakriditasi mulai dari A
sampai dengan C. Ini artinya kalau perguruan tinggi swasta mendapatkan nilai
akriditasi A keberadaannya akan lebih berkualitas jika dibanding dengan
perguruan tinggi negeri yang memiliki akriditasi B atau C. Untuk menghapuskan
stigma negatif terhadap PTAIS ini maka semua komponen yang tergabung dalam civitas
akademik, baik mahasiswa, dosen, staf pegawai dan leader-nya bersama-sama
harus memiliki kometmen untuk mau dan berani melakukan perubahan. Perubahan ini
tentu bisa dilakukan dengan cara evolusioner dan atau revolusioner (J. Winardi,
2010). Perubahan yang harus dilakukan tersebut bisa jadi menyangkut segi konsep
dan cara berfikirnya (mindset), metode / cara bekerja, mengajar, proses
perkuliahan, sikap, tindakan, sarana/peralatan yang digunakan,
keputusan-keputusan yang biasa diambil, goal yang mendasari dan yang diharapkan
serta sektor lainnya.
Upaya melakukan perubahan dari segala aspeknya
seperti di atas tentu harus tetap menimbulkan kondisi yang lebih baik, sebab
tidak semua perubahan yang terjadi akan menimbulkan kondisi yang lebih baik. Perubahan
yang tidak direncanakan, spontan, acak tentu akan menimbulkan kondisi yang tidak
diinginkan yang bersifat merusak (destruktif). Perubahan hendaknya
senantiasa mengandung makna beralih dari keadaan sebelumnya (the befor
condition) belum mapan, tidak baik, tidak berkualitas, memiliki stigma
negatif menjadi berubah kepada keadaan setelahnya (the after condition)
yang sebaliknya. Namun perlu diingat bahwa melakukan perubahan tidak selalu
berlangsung dengan lancar, mengingat bahwa perubahan sering kali disertai aneka
macam konflik yang muncul. Munculnya konflik ini biasanya datang dari kelompok
yang pro akan kemapanan. Hal ini karena mereka terlanjur merasakan enjoy
dengan kebiasan yang telah dilakukan, sehingga tidak mau repot-repot lagi, atau
takut terhadap hal-hal yang tidak diketahui, takut bergesernya kemapanan yang
telah dinikmati dari segala aspeknya dan yang lainya.
Resiko apapun yang terjadi tatkala melakukan
perubahan untuk menghapus stigma negatif perguruan tinggi agama Islam (PTAIS)
tentu harus berani kita hadapi bersama. Karena setiap perubahan tentu memiliki
resiko, baik bagi mahasiswa, dosen, tenaga administrasi ataupun leader
yang ada. Namun di sini kita tetap perlu memiliki, mencanangkan dan menerapkan strategi untuk
memperkecil resiko yang tidak diinginkan itu sekecil-kecilnya, tetapi perubahan
besar yang diharapkan segera terwujud. Melakukan perubahan dalam keadaan yang
penuh dinamika, apalagi telah mengalami kerusakan, kekacauan (turbulence)
yang terjadi dewasa ini merupakan sebuah keharusan. Untuk itu upaya melakukan
perubahan sudah saatnya tidak boleh ditunda-tunda lagi dan jangan sampai menungguh
hingga semuanya mengalami kemunduran serta kehancuran. Jika dalam kondisi
semuanya sudah mengalami kemunduran, kehancuran kemudian baru bergerak, maka percaya atau tidak kita akan
menemui dan merasakan penyesalan. Bagaiman menurut anda, apa berani melakukan
perubahan...?
0 komentar:
Posting Komentar