Sejak awalnya manusia disamping sebagai makhluk
sosial, ia merupakan makhluk yang religius. Tak terkecuali di Indonesia khususnya di P. Jawa
seringkali kita menyaksikan dan mendengar perbincangan yang hangat mengenai
kehidupan rohani. Bisa jadi soal kebatinan, kepercayaan, simbolisme slametan,
praktek keagamaan, berbagai kejadian, perhitungan hari, dan hal-hal yang
sejenis sangat kental mewarnai perilaku masyarakat dipulau ini.[1] Perilaku
yang sangat akrab disebut mistik ini sebenarnya tidak hanya tumbuh dan
berkembang dimasyarakat Indonesia
saja, sebab disemua negara manapun hal semacam ini akan dapat kita temukan
walaupun itu didunia Barat yang masyarakatnya identik dengan masyarakat rasional.
Di mata orang Barat, barangkali mistisme sesuatu yang
dekat-dekat dengan serba kerahasiaan. Mistik dipandang
sebagai urusan yang sangat pribadi sifatnya. Ia menyentuh keyakinan dan
religiusitas pribadi dan karena itulah dipandang sebagai persoalan pribadi.
Jadi sungguh tidak mudah untuk mengangkatnya kepermukaan, sehingga upaya untuk
menyelidiki itu umumnya dianggap tidak sopan karena mistik tidak sama sekali
dimaksudkan menjadi konsumsi publik. [2]
Lain halnya dengan
masyarakat Jawa khususnya, tanpa harus mencari-cari kita akan
mudah mendapati hal-hal yang berkenaan dengan mistik. Pembicaran itu
bukan menjadi sesuatu
yang rahasia, sebab diwarung-warung, dipinggir jalan,
dikantor, dan hampir disetiap tempat berkumpul manusia akan mudah kita dapati
banyak orang yang dengan senang mendiskusikan. Tidak hanya rakyat kecil dan
masyarakat pedesaan saja, mereka yang hidup dimetropolis, bisnismen bahkan
pejabat seringkali kita dapati mereka banyak melakukan banyak praktek mistik.
Misalnya ketika pemilihan lurah, bupati/walikota, gubernur, bahkan presiden
hingga ketika memimpin dan menduduki jabatan itu mereka tidak bisa lepas dari
perilaku praktek mistik demi kesuksesan usaha dan pekerjaannya. Hal itu terlihat
mereka senantiasa mendatangi orang yang dianggap pintar/linuweh untuk mendapat
bimbingan sepiritual dan laku mistik atau ketempat yang dianggap keramat demi
tercapainya tujuan yang akan dicapai.[3]
Banyak orang Jawa yang rupanya sangat mencintai peradaban mereka sendiri bahkan
mereka semakin senang dan asyik membicaralannya manakala ada orang asing yang
tertarik untuk mengetahuinya.[4]
Bagi kebanyakan dari mereka mistik merupakan dimensi pusat kehidupan yang
paling menarik karena acap kali mereka melihatnya sebagai inti sari kebudayaan
mereka. Segala sesuatu tidaklah seperti yang terlihat, tetapi memiliki sebuah
hakikat tersembunyi yang mempesonakan mereka sehingga mereka tenggelam dalam
keasyikan mendiskusikannya. Bahkan peradaban ini dimanfaatkan oleh sebagian
Jurnalistik untuk menerbitkan majalah atau koran yang bernuansa mistik. Akan
tetapi bukan berarti dalam masyarakat Jawa diantara mereka semua cukup paham
bahkan sependapat pula. Akibat merebahnya pembicaraan seputar mistik membuat
sebagian kelompok masyarakat menganggap bisa terjerumus pada perilaku musyrik
dan menghambat kemajuan.
Hal ini seperti
apa yang dikatakan
Simuh[5], Bahwa
“pemikiran tasawuf telah menimbulkan kemunduran selama berabad-abad”. Bahkan
Edwin A. Locke[6]
mengatakan bahwa model kepemimpinan yang berhasil bukan atas dasar memiliki
teori abstrak (bersifat mistik/gaib), akan tetapi jika seseorang menginginkan
keberhasilan dalam usaha dan kepemimpinannya maka tidak ada formula yang ajaib
(bersifat gaib) kecuali ia harus memiliki dorongan, inteligensia dan pengalaman
untuk mengembangkan suatu visi dan mengetahui pengetahuan untuk
mengimplementasikan visi tersebut. Pendapat-pendapat ini bisa jadi benar,
apalagi saat ini kita hidup dialam modern. Namun sebaliknya jika manusia hanya
mengandalkan nilai rasio empirik dan progresif semata yang dijadikan nilai
satu-satunya seperti kebudayaan barat dewasa ini yang kering nilai
religiusitas, maka ia akan mengantarkan penganutnya kepada hidup yang
hidonis-sekularistik, yang berujung pada nestapa manusia modern,dimana mereka
akan menghalalkan segala cara.
Uraian diatas
sangat menarik untuk dibahas. Hal ini karena bagi masyarakat Indonesia
di Jawa khususnya perilaku
mistik nampaknya merupakan
bagian dari kehidupan
kesehariannya, namun disisi lain kehidupan modern yang serba
rasional memaksa masy arakat untuk pada
akhirnya harus berperilaku yang seharusnya rasionalistik. Untuk itu dari latar
belakang diatas bagi
penulis mengundang berbagai
pertanyaan dan masalah.
yakni apakah para pemimpin kita masih menggunakan
motivasi mistik dalam kepemimpinannya dialam modern ini? Apakah kepemimpinannya
selama ini mengalami keberhasilan? Serta bagaimana hubungannya motivasi mistik
itu terhadap kepemimpinannya? untuk itulah perlu kiranya diadakan penelitian
tentang perilaku mistik dan kepemimpinan.
- Pembahasan
- Temuan Penelitian
- Kesimpulan
[1]
Dalam hal ini dapat kita lihat dari hasil penelitian Geertz, secara rinci
kualitatif menjabarkan berbagai praktek dan corak kegiatan yang berorientasi
pada kehidupan reliji masyarakat Jawa. Penjabaran meliputi praktek-praktek
semisal slametan untuk berbagai
kepentingan. Lihat Nurdin H.K, Ethics of Religious Relations in Heterogeneous
Society, Dalam Ihya Ulum al-Din,
Number 1 Vol 1, International Journal,
Published by State Institute for Islamic Studies (Semarang-Indonesia: IAIN Wali
Songo, 1999), 98.
[2] Niels Mulder, Mystisism
in Java Ideology in Indonesi. (Yogyakarta :
Lkis, 2001), viii
[3] Simuh, Islam
dan Pergumulan Budaya Jawa (Jakarta : Teraju, 2003),
132. Dalam pandangan Max Weber tradisi-tradisi religius telah membuat beberapa
referensi terhadap suatu ide yang telah diterjemahkan sebagai “kepercayaan
umum”. Hal ini memang sulit digambarkan, namun demikian hal ini kelihatan
sebagai sebuah peletakan untuk semua ide dan praktek-praktek yang tidak sesuai
dengan sistem intelektual tetapi tidak bisa diabaikan dalam kandungan
kepercayaan dalam kontek kehidupan dan prilaku budaya masyarakat. Lihat,
Damayanthi Niles, “The Study of Popular Religions and our Theological Task”,
Dalam The Asia
Journal of Theology (Vol. 18 Number
1, April 2004), 214-215.
[5]
Ibid., 136. Bandingkan dengan pandangan William James dan John Dewey sebagai
pakar dan tokoh pragmatisme. Keduanya menganggap bahwa agama dan kepercayaan
atau pengalaman mistik yang lain walaupun tidak dapat dibuktikan secara
demonstrative ternyata dipandang dapat memberi ketenangan dan kedamaian hidup
bagi penganut atau yang meyakininya dan pengamalnya. Untuk itu dalam pandangan
kaum pragmatis walaupun hal itu menyangkut area
metafisik namun apabila kenyataannya memberi kontribusi dan manfaat
secara praktis maka keberadaannya patut diterima. Sebab landasan yang dijadikan
pijakan pragmatise adalah manfaat bagi kehidupan praktis, tak terkecuali
pengalaman-pengalaman pribadi ataupun kebenaran mistis. Lihat, Wiwik Setiyani.
“Refleksi Agama dalam Pragmatisme” (Perbandingan Pemikiran William James dan
John Dewey). Dalam Al-AfkarJurnal
Dialogis Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Edisi IV, (Surabaya : Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel,
Juli-Desember 2001), 74-75. Bahkan dalam pandangan kaum filosof seperti
Christian Wolff, Arche J. Bahm ataupun Lorens Bagus dan yang lain, persoalan
metafisika ditempatkan dalam posisi yang diperhatikan dan diperhitungkan
sebagai bidang keilmuan. Apabila metafisika ditolak keberadaannya, maka semua
cabang filsafat mesti ditolak, karena setiap cabang filsafat memuat unsure
metafisika. Kalau dilihat dari kebutuhan manusia sebagai makhluk rasional,
metafisika merupakan jawaban sistematis yang paling luas dan sekaligus paling
dalam dari kehausan intelektual manusia. Lihat, Tasmuji. “Metafisika Sebagai
Metodologi (Kajian Terhadap Kosmologi Metafisik). Dalam Al-AfkarJurnal Dialogis Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Edisi IV, (Surabaya : Fak. Ushuluddin
IAIN Sunan Ampel, Juli-Desember 2001), 94-98.
[6] Edwin A. Locke, The
Essence of Leadership: The Four Keys to Leading Successfully, Terj. Aris
Ananda (Jakarta :
Mitra Utama, 2002), 12. Bandingkan pula dengan pendapat James. Nampaknya Locke
terlalu berani mengklaim pendapatnya yang paling terbaik dan benar. Barangkali
benar yang dikatakan Locke, namun dalam pandangan James seorang pakar
pragmatisme, tidak ada kebenaran mutlak yang berlaku umum ataupun yang bersifat
tetap bahkan yang berdiri sendiri. Demikian pula Dewey mengakui bahwa semua agama
termasuk kepercayaan merupakan sebuah doktrin kebenaran yang tersirat makna
intelektual. Ini disebabkan bahwa kepercayaan merupakan pengakuan yang paling
hakiki dan sebagai doktrin kebenaran yang tersirat makna intelektual yang tidak
dapat diubah dan merupakan petunjuk yang diyakini setiap individu. Lihat juga;
Wiwik, “Refleksi Agama …,” 79, 81.
0 komentar:
Posting Komentar