Selasa, 22 Januari 2013

Hubungan Motivasi Mistik Terhadap Keberhasilan Kepemimpinan (Studi Kasus di SMP Hang Tuah Surabaya)



 A.    Pendahuluan
Sejak awalnya manusia disamping sebagai makhluk sosial, ia merupakan makhluk yang religius. Tak terkecuali di Indonesia khususnya di P. Jawa seringkali kita menyaksikan dan mendengar perbincangan yang hangat mengenai kehidupan rohani. Bisa jadi soal kebatinan, kepercayaan, simbolisme slametan, praktek keagamaan, berbagai kejadian, perhitungan hari, dan hal-hal yang sejenis sangat kental mewarnai perilaku masyarakat dipulau ini.[1] Perilaku yang sangat akrab disebut mistik ini sebenarnya tidak hanya tumbuh dan berkembang dimasyarakat Indonesia saja, sebab disemua negara manapun hal semacam ini akan dapat kita temukan walaupun itu didunia Barat yang masyarakatnya identik dengan masyarakat rasional.
Di mata orang Barat, barangkali mistisme sesuatu yang dekat-dekat dengan serba kerahasiaan. Mistik dipandang sebagai urusan yang sangat pribadi sifatnya. Ia menyentuh keyakinan dan religiusitas pribadi dan karena itulah dipandang sebagai persoalan pribadi. Jadi sungguh tidak mudah untuk mengangkatnya kepermukaan, sehingga upaya untuk menyelidiki itu umumnya dianggap tidak sopan karena mistik tidak sama sekali dimaksudkan menjadi konsumsi publik. [2]
Lain  halnya  dengan  masyarakat  Jawa  khususnya, tanpa harus mencari-cari kita akan mudah mendapati hal-hal yang berkenaan dengan mistik. Pembicaran  itu  bukan  menjadi  sesuatu  yang  rahasia,  sebab diwarung-warung, dipinggir jalan, dikantor, dan hampir disetiap tempat berkumpul manusia akan mudah kita dapati banyak orang yang dengan senang mendiskusikan. Tidak hanya rakyat kecil dan masyarakat pedesaan saja, mereka yang hidup dimetropolis, bisnismen bahkan pejabat seringkali kita dapati mereka banyak melakukan banyak praktek mistik. Misalnya ketika pemilihan lurah, bupati/walikota, gubernur, bahkan presiden hingga ketika memimpin dan menduduki jabatan itu mereka tidak bisa lepas dari perilaku praktek mistik demi kesuksesan usaha dan pekerjaannya. Hal itu terlihat mereka senantiasa mendatangi orang yang dianggap pintar/linuweh untuk mendapat bimbingan sepiritual dan laku mistik atau ketempat yang dianggap keramat demi tercapainya tujuan yang akan dicapai.[3] Banyak orang Jawa yang rupanya sangat mencintai peradaban mereka sendiri bahkan mereka semakin senang dan asyik membicaralannya manakala ada orang asing yang tertarik untuk mengetahuinya.[4] Bagi kebanyakan dari mereka mistik merupakan dimensi pusat kehidupan yang paling menarik karena acap kali mereka melihatnya sebagai inti sari kebudayaan mereka. Segala sesuatu tidaklah seperti yang terlihat, tetapi memiliki sebuah hakikat tersembunyi yang mempesonakan mereka sehingga mereka tenggelam dalam keasyikan mendiskusikannya. Bahkan peradaban ini dimanfaatkan oleh sebagian Jurnalistik untuk menerbitkan majalah atau koran yang bernuansa mistik. Akan tetapi bukan berarti dalam masyarakat Jawa diantara mereka semua cukup paham bahkan sependapat pula. Akibat merebahnya pembicaraan seputar mistik membuat sebagian kelompok masyarakat menganggap bisa terjerumus pada perilaku musyrik dan menghambat kemajuan.
Hal ini seperti  apa  yang  dikatakan  Simuh[5], Bahwa “pemikiran tasawuf telah menimbulkan kemunduran selama berabad-abad”. Bahkan Edwin A. Locke[6] mengatakan bahwa model kepemimpinan yang berhasil bukan atas dasar memiliki teori abstrak (bersifat mistik/gaib), akan tetapi jika seseorang menginginkan keberhasilan dalam usaha dan kepemimpinannya maka tidak ada formula yang ajaib (bersifat gaib) kecuali ia harus memiliki dorongan, inteligensia dan pengalaman untuk mengembangkan suatu visi dan mengetahui pengetahuan untuk mengimplementasikan visi tersebut. Pendapat-pendapat ini bisa jadi benar, apalagi saat ini kita hidup dialam modern. Namun sebaliknya jika manusia hanya mengandalkan nilai rasio empirik dan progresif semata yang dijadikan nilai satu-satunya seperti kebudayaan barat dewasa ini yang kering nilai religiusitas, maka ia akan mengantarkan penganutnya kepada hidup yang hidonis-sekularistik, yang berujung pada nestapa manusia modern,dimana mereka akan menghalalkan segala cara.
Uraian diatas  sangat menarik untuk dibahas. Hal ini karena bagi masyarakat Indonesia di  Jawa khususnya  perilaku  mistik nampaknya merupakan  bagian  dari  kehidupan  kesehariannya,  namun  disisi lain kehidupan modern yang serba rasional memaksa masy arakat untuk  pada akhirnya harus berperilaku yang seharusnya rasionalistik. Untuk itu dari latar belakang   diatas   bagi  penulis  mengundang  berbagai  pertanyaan  dan masalah.
yakni apakah para pemimpin kita masih menggunakan motivasi mistik dalam kepemimpinannya dialam modern ini? Apakah kepemimpinannya selama ini mengalami keberhasilan? Serta bagaimana hubungannya motivasi mistik itu terhadap kepemimpinannya? untuk itulah perlu kiranya diadakan penelitian tentang perilaku mistik dan kepemimpinan.

  1. Pembahasan
  2. Temuan Penelitian
  3. Kesimpulan



[1] Dalam hal ini dapat kita lihat dari hasil penelitian Geertz, secara rinci kualitatif menjabarkan berbagai praktek dan corak kegiatan yang berorientasi pada kehidupan reliji masyarakat Jawa. Penjabaran meliputi praktek-praktek semisal slametan untuk berbagai kepentingan. Lihat Nurdin H.K, Ethics of Religious Relations in Heterogeneous Society, Dalam Ihya Ulum al-Din, Number 1 Vol 1,  International Journal, Published by State Institute for Islamic Studies (Semarang-Indonesia: IAIN Wali Songo, 1999), 98.
[2] Niels Mulder, Mystisism in Java Ideology in Indonesi. (Yogyakarta: Lkis, 2001), viii

[3] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa  (Jakarta: Teraju, 2003), 132. Dalam pandangan Max Weber tradisi-tradisi religius telah membuat beberapa referensi terhadap suatu ide yang telah diterjemahkan sebagai “kepercayaan umum”. Hal ini memang sulit digambarkan, namun demikian hal ini kelihatan sebagai sebuah peletakan untuk semua ide dan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan sistem intelektual tetapi tidak bisa diabaikan dalam kandungan kepercayaan dalam kontek kehidupan dan prilaku budaya masyarakat. Lihat, Damayanthi Niles, “The Study of Popular Religions and our Theological Task”, Dalam The Asia Journal of Theology  (Vol. 18 Number 1, April 2004),  214-215.


[5] Ibid., 136. Bandingkan dengan pandangan William James dan John Dewey sebagai pakar dan tokoh pragmatisme. Keduanya menganggap bahwa agama dan kepercayaan atau pengalaman mistik yang lain walaupun tidak dapat dibuktikan secara demonstrative ternyata dipandang dapat memberi ketenangan dan kedamaian hidup bagi penganut atau yang meyakininya dan pengamalnya. Untuk itu dalam pandangan kaum pragmatis walaupun hal itu menyangkut area  metafisik namun apabila kenyataannya memberi kontribusi dan manfaat secara praktis maka keberadaannya patut diterima. Sebab landasan yang dijadikan pijakan pragmatise adalah manfaat bagi kehidupan praktis, tak terkecuali pengalaman-pengalaman pribadi ataupun kebenaran mistis. Lihat, Wiwik Setiyani. “Refleksi Agama dalam Pragmatisme” (Perbandingan Pemikiran William James dan John Dewey). Dalam Al-AfkarJurnal Dialogis Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Edisi IV, (Surabaya: Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, Juli-Desember 2001), 74-75. Bahkan dalam pandangan kaum filosof seperti Christian Wolff, Arche J. Bahm ataupun Lorens Bagus dan yang lain, persoalan metafisika ditempatkan dalam posisi yang diperhatikan dan diperhitungkan sebagai bidang keilmuan. Apabila metafisika ditolak keberadaannya, maka semua cabang filsafat mesti ditolak, karena setiap cabang filsafat memuat unsure metafisika. Kalau dilihat dari kebutuhan manusia sebagai makhluk rasional, metafisika merupakan jawaban sistematis yang paling luas dan sekaligus paling dalam dari kehausan intelektual manusia. Lihat, Tasmuji. “Metafisika Sebagai Metodologi (Kajian Terhadap Kosmologi Metafisik). Dalam Al-AfkarJurnal Dialogis Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Edisi IV, (Surabaya: Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, Juli-Desember 2001), 94-98.
[6] Edwin A. Locke, The Essence of Leadership: The Four Keys to Leading Successfully, Terj. Aris Ananda (Jakarta: Mitra Utama, 2002), 12. Bandingkan pula dengan pendapat James. Nampaknya Locke terlalu berani mengklaim pendapatnya yang paling terbaik dan benar. Barangkali benar yang dikatakan Locke, namun dalam pandangan James seorang pakar pragmatisme, tidak ada kebenaran mutlak yang berlaku umum ataupun yang bersifat tetap bahkan yang berdiri sendiri. Demikian pula Dewey mengakui bahwa semua agama termasuk kepercayaan merupakan sebuah doktrin kebenaran yang tersirat makna intelektual. Ini disebabkan bahwa kepercayaan merupakan pengakuan yang paling hakiki dan sebagai doktrin kebenaran yang tersirat makna intelektual yang tidak dapat diubah dan merupakan petunjuk yang diyakini setiap individu. Lihat juga; Wiwik, “Refleksi Agama …,”  79, 81.




0 komentar:

Posting Komentar