Allah
Swt menciptakan manusia di muka bumi ini sesungguhnya bukan tanpa tujuan. Namun
demikian di antara manusia yang hidup di muka bumi ini ada yang mengerti maksud
dan tujuan mereka dihadirkan di muka bumi ini dan banyak pula yang lupa akan
tujuan hidupnya. Mereka memandang akan menjadi orang yang sukses tatkala harta
yang berlimpah ruah, rumah dan kendaraan yang mewah, kedudukan serta jabatan
dimiliki dan diraihnya. Mereka lupa akan tujuan hidup yang hakiki dan
menganggap tatkala telah meraih hal-hal yang bersifat duniawi/materi seperti di
atas telah menjadi orang yang sukses dan akan meraih kebahagian yang hakiki
pula.
Pandangan
hidup seperti di atas nampaknya menjadi fenomena masyarakat di era globalisasi
saat ini. Cara hidup mereka sangat konsumtif, materialistis, pragmatis dan
hidonis. Mereka mungkin telah meraih kesuksesan dan kebahagiaan tetapi semuanya semu. Hal ini seperti yang telah
kita saksikan dan ketahui melalui media cetak dan telivisi, banyak orang-orang
kaya dan pejabat yang pada akhirnya menderita karena dibayang-bayangi meja
hijau yang siap menyeretnya untuk memasuki jeruji besi sebagai tempat
tinggalnya.
Dalam
pandangan Aburdance, mereka yang hidup di abad dan era ini akan menjadi kering
spiritual. Sehingga spiritualitas pada akhirnya akan menjadi menu yang dicari
masyarakat di era globalisasi saat ini dalam rangka memenuhi tuntutan batin
mereka. Hal ini sangat beralasan karena dalam diri manusia terdapat dua dimensi
yakni lahir dan batin yang kedua dimensi ini menuntut untuk dipenuhi
kebutuhannya. Kalau yang dipenuhi hanya salah satu dari keduanya tentu
menjadikan diri seseorang menjadi kehilangan keseimbangan dalam hidupnya dan ia
akan menjadi sulit menemukan kesuksesan dan kebahagian hidup yang hakiki.
Untuk
meraih kesuksesan dan kebahagian hidup yang hakiki sebagai tujuan hidup ini
maka setidaknya ada empat strategi yang hendaknya ditempuh dan dikembangkan.
Pertama, hendaknya pada diri seseorang ditumbuh kembamgkan kecintaan akan ilmu
pengetahuan. Kedua, pendekatan diri dan tawakkal kepada Allah Swt. Ketiga,
tidak meninggalkan ulama. Keempat, melakukan usaha dengan sungguh-sungguh.
Kelima, menumbuhkan optimisme dalam diri.
Mengingat
masyarakat perkotaan yang hidup di era globalisasi ini kering akan spiritual,
maka hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan yang satu ini akan
menjadi sesuatu hal yang dicari. Melihat fenomena seperti ini maka hendaknya
para spiritulis yang tinggal diperkotaan pandai menangkap peluang pasar. Untuk
itu ada beberapa strategi yang perlu dikembangkan guna memenuhi kebutuhan
masyarakat perkotaan yang membutuhkan pemenuhan segi batin mereka.
Pertama,
melakukan promosi tasawuf melalui penulisan buku-buku yang dijual melalui
toko-toko buku. Hal ini sangat beralasan karena jika kita berkunjung ke toko-toko
buku dan mencoba mengamati jenis buku yang paling laris, maka akan kita dapati
buku psikologi, spiritualitas, persoalan innerself
dan masalah hati.
Peluang
pasar ini ternyata telah ditangkap oleh beberapa kelompok pers. Harian Umum
Republika, Majalah Panji memiliki rubric khusus tentang spritualitas. Pers
politik seperti Tabloit Adil memiliki kolom tetap tasawuf, Media cetak semisal
Kompas, Suara Pembaruan, Jakarta Pos, Indonesia Observer, Media Indonesia,
Gamma, Gatra, SWA, Tempo pun acap kali mengulas masalah-masalah mistik
(spritualitas). Bagi media elektronik, spritualitas merupakan daya tarik
tersendiri. Mereka tidak mau kalah semarak dengan media off air dalam menurunkan program yang bertemakan spiritualitas.
Kedua,
mengembangkan pelatihan, seminar, kursus kepribadian, spritualitas serta
hal-hal yang berkaitan dengan kejiwaan dan hati. Strategi yang kedua ini
nampaknya cukup banyak pula diminati masyarakat perkotaan yang membutuhkan
pemenuhan kebutuhan batin mereka. Hal ini terbukti strategi kedua ini masuk
kategori paling diminati oleh komunitas urban. Mereka banyak yang antusias
mendatangi pelatihan, seminar dan kursus-kursus yang menyangkut kepribadian,
tasawuf, meditasi, reiki, yoga dan sejenisnya.
Fenomena
ini bisa kita lihat banyaknya masyarakat yang mendatangi majelis dzikir Ustadz
Hariyono, Ustadz Arifin, pelatihan shalat tahajudnya Prof. Moh. Sholeh,
pelatihan shalat khusyuknya Ust. Abu
Sankan, kajian spiritual yang diselenggarakan oleh Tazkiya Sejati yang
dipandegani Prof. Jalaluddin Rakhmat, pusat pengembangan tasawuf positif yang
dikomandani Haidar Baqir, training meditasi yang diselenggarakan
kelompok-kelompok yoga, reiki dan meditasi lain.
Banyaknya
masyarakat yang berminat membaca buku/bacaan, mendengar dan menontot hal-hal
yang bertemakan spiritual atau tasawuf ini serta mendatangi majelis-majelis
dzikir, cukup menjadi indikasi bahwa pada masyarakat di era globalisasi ini
terjadi kehausan akan spiritual sebagai akibat dari paradigma modernisme yang
materialistis. Ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat yang ada dalam ruang
global ini mebuat mereka pada akhirnya berfikir mengarah dan memutuskan mesti
harus bersandar pada sebuah nilai yang bisa memberikan pencerahan batin atau insight, dan dapat mendamaikan hidup
mereka.
Namun demikian
agar materi-materi spiritual/tasawuf itu muda dan bisa diterima masyarakat
perkotaan yang cara berfikirnya logic dan rasional maka hendaknya disuguhkan
dengan cara merasionalisasikan hal-hal yang terkadang sulit diukur serta secara
kontekstual. Hal ini sangat penting agar stigma negative ajaran
tasawuf/spirtualitas yang dianggap menghambat kemajuan dan pada galibnya
sebagai perilaku kaum pinggiran atau masyarakat pedesaan yang tradisionalis
bisa diterima masyarakat perkotaan yang rasional, progressif dan modernis.
Ajaran-ajaran tasawuf/spiritual yang cenderung teosentris hendaknya dikembangkan
menjadi mengarah dan bersifat antroposentris.
Bertitik
tolak dari sini maka perlu adanya kritik dan rekonstruksi sebagai upaya agar
kehadiran tasawuf mampu memberi solusi riil kemanusian dalam kehidupan
kontemporer saat ini.
Rekonstruksi tasawuf adalah salah satu cara yang mesti ditempuh jika diharapkan
dapat memberikan sumbangan yang kongkrit. Kepentingan rekonstruksi itu
pertama-tama untuk mentrasformasikan ajaran tasawuf/spiritual yang melangit
(teosentris) menuju antropologi, sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik
secara ekstensial, kognitif maupun kesejarahan.. Ini merupakan cara “ilmiah”
untuk mengatasi keterasingan tasawuf itu sendiri sebagai ajaran yang dianggap
kurang memperhatikan nilai-nilai humanis, social kemasyarakatan dan
mengutamakan aktivitas spiritual dengan menjauhkan diri dari aktivitas
keduniawian menurju penyenderian.
Upaya mentransformasikan ajaran
tasawuf menuju antropologi ini
mewujudkan pemahaman yang metafisik dan samar menjadi teraplikasi dalam
kehidupan nyata yakni dari Tuhan ke
bumi, dari keabadian ke waktu, dari takdir kekehendak bebas, dari teori ke
tindakan, dari rohani ke jasmani, dari meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka,
dari organisasi sufi ke gerakan sosio-politik, dari nilai pasif ke nilai aktif,
dari vertikal ke horisontal, dari dunia lain ke dunia ini, dan dari kesatuan
khayal ke penyatuan nyata. Dengan cara dan strategi seperti ini pula ajaran
tasawuf sebaga ajaran spiritual umat Islam akan mendapat tempat dihati
masyarakat perkotaan yang ada di era globalisasi dan kontemporer ini, Bagaiman
menurut Anda
Penulis: Dr. Djoko Hartono, S.Ag,
M.Ag, M.M
Pengasuh dan Pendiri Ponpes
Mahasiswa Jagad Alimussirry Sby, Direktur PPs STAI Al-Khoziny Sidoarjo, Dosen
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Sby
0 komentar:
Posting Komentar