Selasa, 22 Januari 2013

Strategi Sufistik Perkotaan


Allah Swt menciptakan manusia di muka bumi ini sesungguhnya bukan tanpa tujuan. Namun demikian di antara manusia yang hidup di muka bumi ini ada yang mengerti maksud dan tujuan mereka dihadirkan di muka bumi ini dan banyak pula yang lupa akan tujuan hidupnya. Mereka memandang akan menjadi orang yang sukses tatkala harta yang berlimpah ruah, rumah dan kendaraan yang mewah, kedudukan serta jabatan dimiliki dan diraihnya. Mereka lupa akan tujuan hidup yang hakiki dan menganggap tatkala telah meraih hal-hal yang bersifat duniawi/materi seperti di atas telah menjadi orang yang sukses dan akan meraih kebahagian yang hakiki pula.
Pandangan hidup seperti di atas nampaknya menjadi fenomena masyarakat di era globalisasi saat ini. Cara hidup mereka sangat konsumtif, materialistis, pragmatis dan hidonis. Mereka mungkin telah meraih kesuksesan dan kebahagiaan tetapi  semuanya semu. Hal ini seperti yang telah kita saksikan dan ketahui melalui media cetak dan telivisi, banyak orang-orang kaya dan pejabat yang pada akhirnya menderita karena dibayang-bayangi meja hijau yang siap menyeretnya untuk memasuki jeruji besi sebagai tempat tinggalnya.
Dalam pandangan Aburdance, mereka yang hidup di abad dan era ini akan menjadi kering spiritual. Sehingga spiritualitas pada akhirnya akan menjadi menu yang dicari masyarakat di era globalisasi saat ini dalam rangka memenuhi tuntutan batin mereka. Hal ini sangat beralasan karena dalam diri manusia terdapat dua dimensi yakni lahir dan batin yang kedua dimensi ini menuntut untuk dipenuhi kebutuhannya. Kalau yang dipenuhi hanya salah satu dari keduanya tentu menjadikan diri seseorang menjadi kehilangan keseimbangan dalam hidupnya dan ia akan menjadi sulit menemukan kesuksesan dan kebahagian hidup yang hakiki.
Untuk meraih kesuksesan dan kebahagian hidup yang hakiki sebagai tujuan hidup ini maka setidaknya ada empat strategi yang hendaknya ditempuh dan dikembangkan. Pertama, hendaknya pada diri seseorang ditumbuh kembamgkan kecintaan akan ilmu pengetahuan. Kedua, pendekatan diri dan tawakkal kepada Allah Swt. Ketiga, tidak meninggalkan ulama. Keempat, melakukan usaha dengan sungguh-sungguh. Kelima, menumbuhkan optimisme dalam diri.
Mengingat masyarakat perkotaan yang hidup di era globalisasi ini kering akan spiritual, maka hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan yang satu ini akan menjadi sesuatu hal yang dicari. Melihat fenomena seperti ini maka hendaknya para spiritulis yang tinggal diperkotaan pandai menangkap peluang pasar. Untuk itu ada beberapa strategi yang perlu dikembangkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan yang membutuhkan pemenuhan segi batin mereka.
Pertama, melakukan promosi tasawuf melalui penulisan buku-buku yang dijual melalui toko-toko buku. Hal ini sangat beralasan karena jika kita berkunjung ke toko-toko buku dan mencoba mengamati jenis buku yang paling laris, maka akan kita dapati buku psikologi, spiritualitas, persoalan innerself dan masalah hati.
Peluang pasar ini ternyata telah ditangkap oleh beberapa kelompok pers. Harian Umum Republika, Majalah Panji memiliki rubric khusus tentang spritualitas. Pers politik seperti Tabloit Adil memiliki kolom tetap tasawuf, Media cetak semisal Kompas, Suara Pembaruan, Jakarta Pos, Indonesia Observer, Media Indonesia, Gamma, Gatra, SWA, Tempo pun acap kali mengulas masalah-masalah mistik (spritualitas). Bagi media elektronik, spritualitas merupakan daya tarik tersendiri. Mereka tidak mau kalah semarak dengan media off air dalam menurunkan program yang bertemakan spiritualitas.
Kedua, mengembangkan pelatihan, seminar, kursus kepribadian, spritualitas serta hal-hal yang berkaitan dengan kejiwaan dan hati. Strategi yang kedua ini nampaknya cukup banyak pula diminati masyarakat perkotaan yang membutuhkan pemenuhan kebutuhan batin mereka. Hal ini terbukti strategi kedua ini masuk kategori paling diminati oleh komunitas urban. Mereka banyak yang antusias mendatangi pelatihan, seminar dan kursus-kursus yang menyangkut kepribadian, tasawuf, meditasi, reiki, yoga dan sejenisnya.
Fenomena ini bisa kita lihat banyaknya masyarakat yang mendatangi majelis dzikir Ustadz Hariyono, Ustadz Arifin, pelatihan shalat tahajudnya Prof. Moh. Sholeh, pelatihan shalat khusyuknya  Ust. Abu Sankan, kajian spiritual yang diselenggarakan oleh Tazkiya Sejati yang dipandegani Prof. Jalaluddin Rakhmat, pusat pengembangan tasawuf positif yang dikomandani Haidar Baqir, training meditasi yang diselenggarakan kelompok-kelompok yoga, reiki dan meditasi lain.
Banyaknya masyarakat yang berminat membaca buku/bacaan, mendengar dan menontot hal-hal yang bertemakan spiritual atau tasawuf ini serta mendatangi majelis-majelis dzikir, cukup menjadi indikasi bahwa pada masyarakat di era globalisasi ini terjadi kehausan akan spiritual sebagai akibat dari paradigma modernisme yang materialistis. Ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat yang ada dalam ruang global ini mebuat mereka pada akhirnya berfikir mengarah dan memutuskan mesti harus bersandar pada sebuah nilai yang bisa memberikan pencerahan batin atau insight, dan dapat mendamaikan hidup mereka.
Namun demikian agar materi-materi spiritual/tasawuf itu muda dan bisa diterima masyarakat perkotaan yang cara berfikirnya logic dan rasional maka hendaknya disuguhkan dengan cara merasionalisasikan hal-hal yang terkadang sulit diukur serta secara kontekstual. Hal ini sangat penting agar stigma negative ajaran tasawuf/spirtualitas yang dianggap menghambat kemajuan dan pada galibnya sebagai perilaku kaum pinggiran atau masyarakat pedesaan yang tradisionalis bisa diterima masyarakat perkotaan yang rasional, progressif dan modernis. Ajaran-ajaran tasawuf/spiritual yang cenderung teosentris hendaknya dikembangkan menjadi mengarah dan bersifat antroposentris.
Bertitik tolak dari sini maka perlu adanya kritik dan rekonstruksi sebagai upaya agar kehadiran tasawuf mampu memberi solusi riil kemanusian dalam kehidupan kontemporer saat ini. Rekonstruksi tasawuf adalah salah satu cara yang mesti ditempuh jika diharapkan dapat memberikan sumbangan yang kongkrit. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-tama untuk mentrasformasikan ajaran tasawuf/spiritual yang melangit (teosentris) menuju antropologi, sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara ekstensial, kognitif maupun kesejarahan.. Ini merupakan cara “ilmiah” untuk mengatasi keterasingan tasawuf itu sendiri sebagai ajaran yang dianggap kurang memperhatikan nilai-nilai humanis, social kemasyarakatan dan mengutamakan aktivitas spiritual dengan menjauhkan diri dari aktivitas keduniawian menurju penyenderian.
Upaya mentransformasikan ajaran tasawuf  menuju antropologi ini mewujudkan pemahaman yang metafisik dan samar menjadi teraplikasi dalam kehidupan  nyata yakni dari Tuhan ke bumi, dari keabadian ke waktu, dari takdir kekehendak bebas, dari teori ke tindakan, dari rohani ke jasmani, dari meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka, dari organisasi sufi ke gerakan sosio-politik, dari nilai pasif ke nilai aktif, dari vertikal ke horisontal, dari dunia lain ke dunia ini, dan dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata. Dengan cara dan strategi seperti ini pula ajaran tasawuf sebaga ajaran spiritual umat Islam akan mendapat tempat dihati masyarakat perkotaan yang ada di era globalisasi dan kontemporer ini, Bagaiman menurut Anda
Penulis: Dr. Djoko Hartono, S.Ag, M.Ag, M.M
Pengasuh dan Pendiri Ponpes Mahasiswa Jagad Alimussirry Sby, Direktur PPs STAI Al-Khoziny Sidoarjo, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Sby



0 komentar:

Posting Komentar